Show simple item record

dc.contributor.authorDahrul Syah
dc.contributor.authorRatih Dewanti-Hariyadi
dc.contributor.authorAntung Sima Firlieyanti
dc.contributor.authorSutrisno Koswara
dc.date.accessioned2012-11-26T02:24:22Z
dc.date.available2012-11-26T02:24:22Z
dc.date.issued2009
dc.identifier.isbn978-602-96665-1-9
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/58560
dc.description.abstractSaat ini, ketahanan pangan merupakan salah satu tantangan yang mendesak untuk segera dijawab. Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam, serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat sangatlah penting untuk mencapai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang layak. Selain itu, ketahanan pangan juga penting untuk mencapai kemandirian bangsa, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan pangan tanpa ketergantungan yang berlebihan pada negara lain. Tercapainya ketahanan pangan bagi masyarakat Indonesia, saat ini masih menghadapi beberapa kendala, antara lain ketergantungan terhadap beberapa bahan pangan tertentu, daya beli yang rendah serta kurang meratanya distribusi bahan pangan. Ketergantungan masyarakat pada beberapa jenis bahan pangan, terutama bahan pangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal/nasional, berpotensi menimbulkan masalah. Masalah sangat mungkin timbul apabila pangan tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang cukup atau sulit diakses oleh masyarakat, bajk karena tidak meratanya distribusi, maupun karena harga jual yang terlalu tinggi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah serta mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggali dan mengembangkan sebanyak mungkin bahan pangan berbasis lokallnasional (bahan pangan indigenus), baik bahan pangan bam, maupun bahan pangan yang sudah dikenal tetapi belum cukup banyak dikembangkan. Ketergantungan masyarakat terhadap beberapa jenis bahan pangan, sudah cukup dirasakan, temtama untuk bahan pangan sumber karbohidrat. Saat ini konsumsi beras dan bahan pangan berbahan dasar terigu, seperti mie sudah sangat sulit dilepaskan dari pola konsumsi masyarakat Indonesia. Faktor kebiasaan dan adanya program akulturasi menjadikan beras sebagai makanan pokok di hampir seluruh bagian Indonesia. Untuk saat ini, produksi beras dalam negeri negeri relatif masih dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Meskipun impor beras merupakan suatu keputusan yang rutin diambil oleh pemerintah Indonesia setiap tahunnya, tetapi hal tersebut bukan suatu indikasi yang pasti akan kurangnya ketersediaan beras hasil produksi dalam negeri. Perdebatan yang selalui mewarnai masalah impor beras dikarenakan perbedaan data statistik dari beberapa pihak yang berwenang membuat sulit untuk dipastikan apakah produksi beras dalam negeri memang benar-benar di bawah kebutuhan konsumsi masyarakat. Tetapi, bagaimanapun angka ekspor beras yang terus meningkat hingga mencapai 320.000 ton di tahun 2006 dan belum berhasilnya upaya untuk membudidayakan gandum di Indonesia mengakibatkan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor kedua komoditi tersebut, terutama gandum. Selain itu, peningkatan harga jual berbagai komoditi, termasuk beras, yang tidak dibarengi oleh peningkatan pendapatan membuat masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok mereka. Sebagai i1ustrasi, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002, terjadi penurunan konsumsi beras dalam rumah tangga sebesar 1,0 kglkap/tabun, dari 116,5 kglkap/tahun pada tabun 1999 menjadi 115,5 kglkap/tahun pada tabun 1999. Sedangkan konsumsi beras secara total (dalam dan luar rumab tangga) menurun sebesar 0,44 kglkap/tahun, dari 123,96 kglkap/tabun pada tahun 1999 menjadi 123,52 pada tahun 2002. Hasil penelitian Husaini (2002) juga menyebutkan bahwa selama krisis ekonomi di Indonesia telah terjadi penurunan frekuensi konsumsi beras yang signifikan, juga penurunan konsumsi mie dan terigu. Selain itu, meskipun untuk saat ini kebutuhan akan beras masih relatif dapat terpenuhi, tetapi tingkat produksi padi yang tidak meningkat secara signifikan (hanya 1.24% dalam empat tahun terakhir) tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan beras di tahun-tahun mendatang. Berdasarkan perhitungan BPS laju pertumbuhan penduduk tahun 2005 hingga 2010 mencapai 1,3 persen, sedangkan kebutuhan beras sebesar 32,49 juta ton. Untuk tahun 2011 hingga 2015 pertumbuhan penduduk sebesar 1,18 persen dengan kebutuhan beras sebesar 34,45 juta ton dan pertumbuhan penduduk di tahun 2030 mencapai 0,92 persen atau sebanyak 424,25 juta jiwa dengan tingkat konsumsi tetap 139,15 maka konsumsi yang dibutuhkan sekitar 59 juta ton beras. Untuk mengantisipasi perhitungan BPS tersebut, Dewan Ketahanan Pangan telah menetapkan konsumsi beras sebesar 139,15 kglkapita/tahun yang mencakup konsumsi langsung penggunaan pangan olahan, industri dan pakan. Tingkat konsumsi ini masih dianggap sangat tinggi untuk ukuran intemasional, bila dibandingkan dengan konsumsi negara lain seperti Jepang 45kglkap/tahun, Malaysia 80 kglkap/tahun, dan Thailand 90 kglkap/tahun. Sedangkan F AO memperikrakan konsumsi beras dunia tahun 2006 - 2007 mencapai 56,9 kglkap/tahun. Menurunnya konsumsi beras akibat kriis ekonomi, angka ekspor beras yang terus meningkat, dan terus bertambahnya tingkat konsumsi beras yang tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas produksi beras akan mendorong masyarakat untuk mencari altematif makanan pokok lain yang lebih mudah diperoleh, baik berdasarkan ketersediaan maupun berdasarkan harga jualnya. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan konsumsi jagung dan singkong selama krisis (Husaini, 2002). Peningkatan konsumsi umbi-umbian dan sumber karbohidrat lain sebagai upaya untuk menurunkan konsumsi beras juga dilakukan oleh Dewan Ketahanan Pangan. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan menuju komposisi pola pangan secara ideal sudah dimulai tahun 2007 sehingga diharapkan konsumsi beras turun 1 % per tahun, sedangkan konsumsi umbi umbian naik 1 - 2 % per tahun. Untuk mewujudkan terciptanya diversifikasi konsumsi bahan pangal1 pokok diperlukan upaya-upaya untuk mengembangkan berbagai bah an pangan sumber karbohidrat non beras, terutama bahan pangan indigenus, sehingga dapat diterima sebagai bah an pangan pokok. Meskipun belum maksimal, usaha-usaha untuk menggali potensi bahan pangan indigenus sumber karbohidrat sebenamya sudah cukup banyak dilakukan. Beberapa hasil penelitian berhasil membuktikan bahwa terdapat bahan-bah an pangan indigenus sumber karbohidrat yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi altematif bahan subtitusi atau komplementer dari beras dan terigu. Salah satu bahan pangan indigenus yang diketahui berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber karbohidrat adalah ubijalar. Pengembangan ubijalar didasari oleh beberapa faktor pendukung, yaitu: (1) Budidaya ubijalar memerlukan input rendah, beresiko kecil serta memiliki penyebaran lingkungan tumbuh cukup luas; (2) berumur pendek (3,5 bulan); (3) memiliki produktivitas yang tinggi; (4) memiliki kandungan gizi yang baik bagi kesehatan; (5) harga umbi relatif lebih tinggi; dan (6) potensi pemanfaatannya cukup luas. Upaya untuk mengembangkan potensi ubijalar sebagai bahan pangan indigenus sumber karbohidrat telah dirintis melalui RUSNAS Diversifikasi Pangan. Saat ini telah dikembangkan suatu klaster yang mengembangkan ubijalar dari budi daya hingga pengolahannya menjadi tepung ubijalar. Lebih lanjut dilakukan pula pengembangan produk-produk pangan berbahan dasar ubijalar dan tepung ubijalar. Selain itu, melalui kegiatan RUSNAS ini, dilakukan beberapa riset mengenai khasiat kesehatan dari ubijalar. Dari hasil riset tersebut diketahui ubijalar berpotensi sebagai prebiotik serta memiliki indeks glisemik yang rendah sehingga memberikan efek yang baik bagi kesehatan. Tergalinya potensi ubijalar sebagai pangan fungsional tentu saja akan menjadi nilai tambah yang dapat meningkatkan nilai jual ubijalar. Beberapa permasalahan memang masih dihadapi dalam pengembangan ubijalar, baik dari segi produktivitas maupun pengolahannya. Produksi ubijalar di lahan tanam di Cibungbulang saat ini belum dapat mencapai titik optimal. Hal ini berpengaruh terhadap sulitnya menetapkan harga jual ubijalar yang relatif murah, sehingga prod uk tepung ubijalar yang dihasilkan pun sulit dijual dengan harga yang kompetitif di pasaran. Semua permasalahan tersebut masih dicoba untuk dijawab oleh RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok melalui berbagai riset mengenai ubijalar. Baik riset untuk meningkatkan produktivitas ubijalar, maupun riset untuk mengetahui sifat fungsional dari ubijalar serta riset untuk pengembangan produk-produk berbahan baku ubijalar dan tepung ubijalar .en
dc.publisherSouth East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor
dc.subjectBahan Pangan Lokalen
dc.subjectubi jalaren
dc.subjectDiversifikasi Panganen
dc.titlePotensi Pengembangan Ubijalar dalam Mendukung Diversifikasi Panganen
dc.typeBooken


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record