Spektrum Tuberkulosis: Mekanisme Imun, Persistensi Mycobacterium tuberculosis, dan Tantangan Diagnosis
Abstract
Kemudahan relatif dalam bekerja dengan model kultur jaringan telah menghasilkan banyak data mengenai interaksi M. Tuberculosis dengan makrofag sebagai sel inang utama. Temuan-temuan ini berkontribusi pada pemahaman tahapan awal infeksi di paru-paru. Pada fase awal infeksi, makrofag alveolar yang terinfeksi akan memproduksi berbagai kemokin yang berperan dalam merekrut monosit, limfosit, dan neutrofil yang belum teraktivasi ke lokasi infeksi (van Crevel, 2002). Namun, sel-sel imun yang direkrut tersebut umumnya belum mampu membunuh bakteri secara efisien (Fenton, 1996). Selanjutnya, terbentuk lesi fokal granulomatosa yang tersusun atas makrofag teraktivasi, sel raksasa multinukleus, serta limfosit. Pembentukan granuloma ini pada dasarnya merupakan mekanisme pertahanan inang yang efektif untuk membatasi penyebaran bakteri. Seiring berkembangnya respons imun seluler, sebagian makrofag yang mengandung basil akan mengalami kematian, yang mengarah pada pembentukan pusat granuloma yang bersifat kaseosa (caseous necrosis). Pusat ini dikelilingi oleh zona seluler yang terdiri atas limfosit, monosit yang direkrut dari sirkulasi darah, serta sel imun lainnya (Dannenberg, 1994). Meskipun basil M. tuberculosis dipostulasikan tidak mampu bereplikasi secara aktif di dalam jaringan kaseosa akibat kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan—seperti pH asam, rendahnya ketersediaan oksigen, serta keberadaan asam lemak yang bersifat toksik—sebagian organisme dapat bertahan hidup dalam keadaan dorman selama beberapa dekade. Kekuatan dan efektivitas respons imun seluler inang menjadi faktor penentu apakah infeksi dapat dikendalikan pada tahap ini atau justru berkembang ke fase selanjutnya. Kondisi infeksi yang terkontrol ini dikenal sebagai tuberkulosis laten atau persisten, yang dapat bertahan sepanjang hidup individu tanpa gejala klinis dan tidak bersifat menular. ...
Collections
- Medicine [102]
