Show simple item record

dc.contributor.authorBahruni
dc.date.accessioned2023-12-29T15:35:06Z
dc.date.available2023-12-29T15:35:06Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/133458
dc.description.abstractDi dalam kesepakatan internasional tentang upaya mengatasi persoalan perubahan iklim, pengelolaan hutan lestari (SFM) merupakan salah satu mekanisme di dalam kerangka REDD+. Di Indonesia pengelolaan hutan alam, untuk menghasilkan kayu dilakukan sejak tahun 70an; konsep kelestarian hasil kayu diimplementasikan oleh perusahaan pemegang konsesi. Secara konsepsional pengaturan hasil kayu, diharapkan mencapai kelestarian; namun pada kenyataannya imlementasi di lapangan praktek pengelolaan hutan itu masih menghadapi berbagai kendala. Dari tahun 2002 sampai tahun 2011, hutan bersertifikat hanya 32% dari total hutan yang dikelola 22.710.256 ha. Ada 140 unit manajemen yang memiliki sertifikasi SFM, diantaranya 31 unit memiliki performance SFM kategori baik, 35 unit memiliki kategori sedang, sedangkan 74 unit masa berlaku sertifikasinya habis. Sertifikasi pengelolaan hutan alam secara voluntary, yaitu sebanyak 6 unit, luas 1.102.053 ha. Pada unit manajemen usaha hutan tanaman, sertifikasi secara mandatory dilakukan pada 90 unit, dengan luas 4.914.301 ha, yaitu 49% dari luas total. Dari 90 unit itu, 19 unit dinyatakan memperoleh sertifikat kategori baik, dan sisanya 71 unit sertifikat yang dibuat sudah tidak berlaku. Unit manajemen hutan tanaman industri yang telah memiliki sertifikat voluntary 2 unit mencakup luas 419.829 ha. Kajian “Analisis Kerangka Insentif Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari sebagai Pilihan Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Hutan untuk Mengurangi Emisi dari dan oleh Hutan Tropis”, menganalisis insentif ekonomi yang diperoleh pengelolaan hutan lestari, melalui potensi perdagangan karbon melalui skema REDD+. Secara umum kajian ini akan menjawab dua masalah yaitu: 1) Apakah ada perbedaan reduksi karbon antara unit manajemen (UM) yang SFM dan Non-SFM? 2) Apakah ada potensi insentif karbon yang berbeda antara UM yang SFM dan Non SFM? Dalam studi diambil tiga contoh unit manajemen yang memperoleh sertifikasi pengelolaan hutan lestari (dengan kode SFM-1, SFM-2 dan SFM-3). Sedangkan, unit manajemen contoh yang belum memperoleh sertifikasi pengelolaan hutan lestari diambil empat unit (dengan kode Non SFM-1, Non SFM-2, Non SFM-3, Non SFM-4). Pada kajian ini dilakukan analisis 1) Kelestarian produksi dan kesehatan keuangan perusahaan, 2) Kemampuan reduksi emisi karbon, 3) Potensi supply karbon hutan alam, 4) Manfaat SFM kepada sector private dan public dan kerangka insentif ekonomi. Hasil analisis kelestarian produksi menggunakan kriteria rasio produksi terhadap AAC dan kecenderungannya, menunjukkan perbedaan antara unit SFM dan Non SFM. Unit SFM mampu mempertahankan kelestarian produksi, angka rasio berkisar antara 0,45-0,65 stabil dalam jangka panjang. Pada unit Non SFM memiliki kecenderungan produksi semakin menurun, pada tahun 90an angka rasio ii 0,4-0,85, dan tahun 2011 menurun menjadi 0,1-0,4; ini berarti terjadi penurunan stok tegakan, sehingga produksi tahunan menjadi menurun, yang semakin kecil dibandingkan dengan potensi tegakan pada waktu awal pengelolaan. Dari sisi kemampuan memperoleh profit, unit SFM memperoleh profit dan sebaliknya unit Non SFM cenderung mengalami rugi. Kinerja kesehatan keuangan perusahaan antara unit SFM dan Non SFM bervariasi, namun secara umum unit manajemen SFM dan Non SFM mengalami kesulitan modal kerja (likuiditas).id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcForest Managementid
dc.titleEkonomi Pengelolaan Hutan Lestari Didalam Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Kehutanan Oleh Hutan Tropis Indonesiaid
dc.typeTechnical Reportid
dc.subject.keywordHutan lestariid
dc.subject.keywordMitigasi iklimid
dc.subject.keywordHutan tropisid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record