Optimisasi Kondisi Kultur untuk Produksi Kuinidina oleh Cendawan Endofit Asal Pohon Kina (Cinchona calisaya).
View/ Open
Date
2019Author
Rahmawati, Indriana
Rahayu, Gayuh
Ratnadewi, Diah
Achmadi, Suminar Setiati
Metadata
Show full item recordAbstract
Kuinidina merupakan metabolit sekunder bernilai ekonomi. Beberapa cendawan endofit asal pohon kina Cinchona calisaya koleksi IPBCC, yaitu Aspergillus sydowii, Diaporthe sp., D. lithicola, Fusarium oxysporum, dan F. solani, dilaporkan mampu menghasilkan metabolit sekunder alkaloid kuinolina, yaitu kuinina dan kuinidina. Produksi kuinidina oleh cendawan endofit asal pohon kina masih rendah dibandingkan dengan produksi oleh tanaman dan kultur selnya. Oleh karena itu, produksi kuinidina oleh cendawan endofit kina ini diharapkan dapat ditingkatkan melalui optimisasi kondisi kulturnya.
Seperti metabolit sekunder lainnya pada cendawan, produksi kuinidina diduga dipengaruhi oleh pH dan cahaya. Tingkat kemasaman medium produksi dan pemberian cahaya pada saat inkubasi diharapkan dapat meningkatkan produksi kuinidina dalam kultur in vitro. Oleh sebab itu, pengaruh kedua faktor tersebut terhadap produksi kuinidina cendawan endofit asal kina (C. calisaya) diteliti.
Kuinidina dari cendawan endofit asal pohon kina diproduksi secara in vitro dalam 200 mL medium potato dextrose broth (PDB), diinkubasi selama 21 hari dalam keadaan statis dan dioptimisasi dengan kombinasi perlakuan pH (6.2 dan 6.8) dengan atau tanpa cahaya (gelap). Kondisi terang diberikan secara terus menerus dengan intensitas sekitar 1000 lux. Cendawan endofit yang ditumbuhkan pada medium PDB pH 5.1 ± 0.2 dan diinkubasi pada kondisi yang sama dengan pencahayaan alami dalam ruangan dijadikan kontrol.
Setelah masa inkubasi berakhir, biomassa cendawan dipisahkan dari filtratnya. Biomassa dikering-ovenkan dan bobot keringnya ditimbang. Filtrat diekstraksi dengan kloroform (CHCl3, ≥ 99.8%) (1:1). Kloroform dibebaskan dari ekstrak dengan evaporator putar kemudian ekstrak ditimbang. Kuinidina pada ekstrak dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan alat kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) pada panjang gelombang 210 nm. Secara kualitatif, kuinidina ditentukan berdasarkan waktu retensi (Rt) kuinidina standar. Secara kuantitatif, kuinidina ditentukan berdasarkan kurva kuinidina standar dengan persamaan regresi y = ax + b, dengan x sebagai kadar kuinidina dan y sebagai luas puncak kuinidina pada kromatogram.
Pada penelitian ini, setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 75 satuan percobaan. Analisis sidik ragam dan korelasi Pearson dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS 22.0. Uji lanjut DMRT 5% dikerjakan pada hasil analisis sidik ragam yang signifikan. Korelasi yang signifikan selanjutnya dikelompokkan dalam 5 kategori menurut Fowler et al. (1998).
Hasil analisis KCKT menunjukkan bahwa filtrat mengandung kuinidina yang diindikasikan oleh keberadaan puncak pada kromatogram dengan waktu retensi yang sama dengan kuinidina standar (Rt 9.9412 ± 1.9 menit). Konsentrasi kuinidina standar sangat berkorelasi dengan luas puncak (R2 = 1), sehingga y = 123915x + 1442.8 digunakan untuk menetapkan konsentrasi kuinidina pada filtrat.
Pada kondisi terbaiknya, semua cendawan (A. sydowii, Diaporthe sp., D. lithicola F. oxysporum, dan F. solani), mampu menghasilkan kuinidina dengan kadar tertinggi berturut-turut 29.026, 8.913, 11.148, 23.967, 65.177 μg dalam kapasitas produksi 200 mL PDB. Produksi tertinggi kuinidina pada A. sydowii, F. oxysporum, dan F. solani terjadi pada kondisi inkubasi terang dengan pH medium 6.2, sedangkan Diaporthe sp. dan D. lithicola terjadi pada kondisi inkubasi gelap dengan pH medium 6.8. Apabila dibandingkan dengan kontrol, produksi kuinidina semua cendawan (A. sydowii, Diaporthe sp., D. lithicola, F. oxysporum, dan F. solani) meningkat berturut turut 2.7, 1.6, 1.1, 9.3, dan 6.0 kali lipat.
Produksi kuinidina menunjukkan korelasi yang positif atau negatif dengan produksi biomassa dan bobot ekstraknya. Korelasi positif ditunjukkan oleh A. sydowii dan oleh Diaporthe sp. Korelasi negatif ditunjukkan oleh F. solani, sedangkan hubungan antara produksi kuinidina D. lithicola dan F. oxysporum dengan bobot biomassa dan bobot ekstrak tidak berpola. Korelasi kadar kuinidina D. lithicola dengan bobot biomassanya sedang dan signifikan, sedangkan dengan bobot ekstraknya kuat dan signifikan. Korelasi kadar kuinidina F. oxysporum dengan bobot biomassanya kuat dan signifikan.
Korelasi yang signifikan hanya ditunjukkan antara produksi kuinidina dan biomassa D. lithicola, F. solani dan F. oxysporum, sehingga hanya produksi kuinidina ketiga cendawan tersebut yang dapat diprediksi melalui produksi biomassanya. F. solani merupakan cendawan endofit kina paling potensial karena produksi kuinidinanya tertinggi mencapai 65.18 μg dalam 200 mL PDB pada pH 6.2 dan pencahayaan konstan selama 21 hari inkubasi.