Analisis Kesetimbangan Energi Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy
View/ Open
Date
2014Author
Muslim, Muzilman
Koesmaryono, Yonny
June, Tania
Metadata
Show full item recordAbstract
Perubahan karakter fisik permukaan dan morfologi perkotaan karena urbanisasi memicu perubahan sifat dinamika dan termodinamika lapisan terbawah atmosfer, sehingga kesetimbangan radiasi, energi, aliran udara dan siklus hidrologi terganggu, Material permukaan perkotaan menyerap lebih banyak radiasi matahari dan lebih sedikit air karena beralbedo rendah, bersifat termal yang baik, dan kedap air Ketidakseimbangan proses pertukaran radiasi dan energy menyebabkan perubahan iklim lokal seperti meningkatnya suhu di kawasan padat perkotaan dibanding kawasan pinggiran sekitarnya. Bangunan perkotaan umumnya berkerapatan tinggi dengan ketinggian yang bervariasi, sehinnga cenderung menghambat sirkulasi udara yang menghasilkan aliran turbulens. Pelepasan energy panas dari material infrastruktur perkotaan dalam bentuk fluks gelombang panjang malam hari terhambat. Energy panas lebih lama terperangkap di area padat pusat kota, menyebabkan suhu pusat kota meningkat dibanding perkampungan pinggirannya. Unsur kunci yang mendiskripsikan karakter permukaan perkotaan yang berperan merubah prilaku unsur-unsur iklim skala lokal mencakup: (a) kekasaran permukaan, (b) fraksi permukaan kedap air, (c) faktor sky view, (d) admitansi termal, (e) albedo, dan (f) fluks panas antropogenik. Parameterisasi karakter permukaan dan efek iklim skala lokal yang mempengaruhi area seluas 102-104 m2 dimodelkan menggunakan model Single-Layer Urban Canopy (SLUC). Objek pengamatan adalah unit terkecil sistem perkotaan (urban street canyon) terdiri dari bangunan beratap datar, dan dua sisi dinding saling berhadapan yang terpisahkan oleh jalan beraspal, dan lapisan terbawah atmosfer (lapisan kanopi) di atasnya. Proses pertukaran radiasi dan energi antara permukaan perkotaan dan lapisan kanopi yang diparameterisasi pada model SLUC menggunakan pendekatan prinsip kesetimbangan energy perkotaan. Studi dan pengamatan dilaksanakan di area padat Jakarta dengan pengambilan data dilakukan in situ di kawasan Pinangsia selama satu bulan pada transisi musim panas ke musim hujan menggunakan stasiun cuaca otomatis (AWS). Studi memiliki dua tujuan utama yaitu: (1) menganalisis komponen neraca energy area padat Pinangsia Jakarta, (2) memperkirakan penyebab pemanasan dan pendinginan area padat Jakarta menggunakan model Single-Layer Urban Canopy. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas UHI malam hari maksimum mencapai 2,5 ºC. Hasil model menunjukkan bahwa model mensimulasikan penurunan nokturnal pendinginan kota dengan baik. Variasi pendinginan suhu dinding dan jalan hanya 0,14 ºC, tetapi kurang tepat untuk suhu atap dengan penyimpangan relatif besar (6.41°C). Kecepatan angin dalam canyon pengamatan adalah 0,021 m/det, dan di atas atap 1,058 m/det. Kecepatan angin demikian kurang efektif memindahkan fluks panas yang diemisikan dari kedua permukaan. Model memperkirakan bahwa laju pendinginan rata-rata permukaan canyon (atap, dinding, dan jalan) relatif rendah yaitu 0.31 °C/jam. Laju pendinginan permukaan berhubungan dengan jenis material bangunan dan sifat tutupan permukaan, dan juga kecepatan angin dalam canyon. Secara umum model telah menunjukkan dengan baik pengaruh geometri perkotaan (ditunjukkan oleh nilai parameter canyon aspect ratio: h/w) terhadap variasi fluks radiasi langsung masuk, radiasi gelombang panjang, dan fluks emisi panas sensible yang dilepaskan oleh permukaan perkotaan. Ditunjukkan bahwa makin besar nilai h/w maka radiasi gelombang pendek masuk yang diterima dinding dan jalan semakin rendah. Akibatnya mempengaruhi jumlah fluks panas yang dilepaskan oleh kedua permukaan dan panas yang disimpan pada material permukaan (tidak dihitung). Sebaliknya emisi gelombang panjang lebih banyak terperangkap dalam canyon perkotaan sehingga permukaan canyon tetap hangat hingga menjelang pagi. Fluks radiasi gelombang pendek diterima atap maksimum (412 W.m-2) untuk semua nilai h/w, dan minimum terjadi pada dinding (412 W.m-2). Ini dapat dimengerti karena permukaan atap tidak terhalang apapun untuk menerima radiasi gelombang pendek, tidak seperti permukaan jalan dan dinding yang menerima bayangan dari sisi timur dan barat canyon. Ini menentukan jumlah panas yang disimpan di material dinding dan jalan, yang mempengaruhi kuat lemahnya fluks panas yang diemisikan oleh kedua permukaan. Fluks panas sensibel dominan pada siang hari, tetapi panas laten sangat lemah (sama dengan nol). Nilai positif panas sensibel siang hari berhubungan dengan keberadaan permukaan padat kedap air. Sementara fluks panas laten yang sangat rendah menunjukkan terbatasnya permukaan lembab di area padat perkotaan. Secara umum model dapat menunjukkan kedua sifat ini, meskipun nilai fluks panas sensible pada transisi pagi hari masih dibawah perkiraan dan tidak mampu mempertahankan nilai posistifnya pada malam hari. Disimpulkan bahwa penyebab pemanasan dan pendinginan kota Jakarta adalah kerapatan bangunan (geometri perkotaan), sifat material permukaan kota, dan kecepatan angin dalam canyon.