Pola distribusi dan integrasi pasar kedelai di tiga provinsi sentra kedelai di pulau Jawa
Abstract
Sistem distribusi memiliki peranan penting dalam perekonomian
masyarakat. Sistem distribusi yang berfungsi dengan baik akan mampu
menggerakkan suatu komoditas, khususnya komoditas pangan dari produsen ke
konsumen dengan biaya minimal. Salah satu indikator efisiensi pasar dari suatu
komoditas adalah adanya integrasi pasar yang relatif sempurna. Sehingga
pergerakan harga dapat ditransmisikan secara efisien ke seluruh pasar yang
tersebar secara spasial. Kedelai sebagai salah satu sumber bahan pangan juga
memegang peranan penting dalam perdagangan pangan nasional. Konsumsi
kedelai telah membudaya di masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Permasalahan yang dihadapi oleh sistem distribusi kedelai adalah terjadinya
tingkat disparitas harga yang relatif tinggi dan fluktuasi harga yang belum
terkendali. Kinerja sistem tataniaga yang buruk dan tingkat produksi kedelai yang
terpusat dalam areal tanam yang kecil dengan letak yang saling berjauhan menjadi
penyebab adanya kesulitan pemasaran. Permasalahan tersebut menjadi indikator
terjadinya inefisiensi dalam sistem distribusi kedelai. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis pola distribusi dan integrasi pasar kedelai
di tiga provinsi sentra produksi dan konsumsi di Pulau Jawa yang meliputi
Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada penelitian ini, untuk melihat pola distribusi di tiap provinsi digunakan
analisis deskriptif terhadap data hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2009. Sedangkan untuk menganalisis integrasi pasar digunakan model IMC (Index
of Market Connection) melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag
yang dikembangkan oleh Ravallion dan persamaan dalam model diduga dengan
metode OLS (Ordinary Least Square). Periode waktu yang digunakan untuk
melihat keterpaduan pasar antarprovinsi yaitu dari Januari 2000 sampai Desember
2008.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ketiga provinsi memiliki pola
distribusi kedelai yang belum berjalan secara efisien. Hal tersebut dilihat dari
panjangnya rantai pemasaran, tingkat signifikansi model dan derajat keterpaduan
(integrasi) pasar yang lemah. Panjangnya rantai pemasaran disebabkan lembaga
tataniaga yang terlibat dalam pemasaran kedelai cukup banyak. Hal tersebut
menyebabkan adanya biaya yang tinggi, sehingga margin pemasaran antara
produsen dan konsumen menjadi lebih besar. Selain itu, tingkat signifikansi dan
integrasi pasar yang rendah juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
terjadi inefisiensi pola distribusi kedelai. Jawa Barat memiliki derajat keterpaduan
pasar yang lemah dengan pasar acuan (Jawa Timur) baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal tersebut diduga karena informasi harga akibat
perubahan permintaan atau penawaran dari produsen sampai ke konsumen tidak
akurat, sehingga tidak dapat diakses oleh seluruh pelaku pasar dengan baik.
3
Berbeda dengan Jawa Tengah, antara pasar acuan dengan pasar lokal
terintegrasi lemah dalam jangka pendek tetapi terintegrasi kuat dalam jangka
panjang. Hal ini menunjukkan bahwa antara pasar Jawa Tengah dengan Jawa
Timur terdapat hubungan yang erat dan stabil dalam jangka panjang melalui harga
di kedua tempat, meskipun hubungan tersebut dapat terganggu oleh pengaruh
jangka pendek seperti informasi yang tidak akurat. Jika ditinjau dari sisi
kelayakan model, hipotesis integrasi pasar dapat diterima, namun dari sisi
signifikansi peubah ternyata tidak semua informasi yang mewakili kondisi di
pasar acuan diteruskan ke pasar lokal. Temuan ini mengindikasikan bahwa
integrasi pasar belum terjadi secara optimal, karena perkembangan harga di pasar
acuan tidak sepenuhnya direfleksikan terhadap harga di pasar lokal. Kedua
temuan ini memberikan gambaran bahwa : 1) di satu sisi, kekuatan pasar/ekonomi
secara umum telah menyebabkan perkembangan harga di pasar acuan tetap
tercermin (meskipun belum optimal) pada tingkat harga di pasar lokal. 2) di sisi
lain, tingkat harga di pasar lokal secara dominan masih dipengaruhi oleh
perkembangan harga di pasar yang bersangkutan. Kondisi ini menunjukkan bahwa
pemasaran kedelai di Provinsi Jawa Tengah masih belum efisien, karena informasi
di pasar acuan tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh pelaku pasar di tingkat pasar
lokal dalam proses determinasi harga.