Proyeksi Perubahan Karakteristik Iklim Musiman di Indonesia Berdasarkan Luaran Multi-Model CORDEX-SEA
Date
2023-05-29Author
Syafrianno, Alif Akbar
Faqih, Akhmad
Hidayati, Rini
Supari
Metadata
Show full item recordAbstract
Informasi mengenai distribusi dari curah hujan (CH) musiman penting untuk
berbagai sektor di Indonesia. Pergeseran dari pola CH musiman akan berdampak
pada sosial ekonomi, infrastruktur dan ketahanan pangan. Laporan terkini
menyatakan bahwa pemanasan global telah terjadi dan pengaruh manusia menjadi
penyebab utamanya. Pemanasan global tersebut menyebabkan perubahan iklim,
termasuk perubahan siklus musiman CH pada skala global, regional dan lokal,
termasuk di berbagai wilayah di Indonesia. Pemahaman akan perubahan
karakteristik musim masa depan di Indonesia sangat penting untuk mempersiapkan
adaptasi terhadap perubahan iklim. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melakukan validasi performa individu dan ensemble model CORDEX-SEA dalam
menggambarkan pola musiman CH historis di Indonesia dan mengidentifikasi
adanya perubahan karakteristik (awal, akhir, durasi dan intensitas CH) musim hujan
(MH) dan musim kemarau (MK) di Indonesia di masa depan berdasarkan skenario
RCP4.5 dan RCP8.5.
Multi-Model Ensemble (MME) dilakukan dengan dua metode, yaitu berbobot
(WMME) dan tanpa bobot (SMME). MME dihitung menggunakan delapan model
individu keluaran CORDEX-SEA. Pola musim dikategorikan apakah memiliki satu
atau dua MH dalam satu tahun menggunakan analisis harmonik. Awal dan akhir
musim dihitung menggunakan metode yang objektif, yaitu berdasarkan anomali
kumulatif CH harian dari nilai klimatologisnya. Intensitas CH saat MH atau MK,
dihitung berdasarkan Simple Daily Intensity Index (SDII). Sebelum dilakukan
analisis proyeksi, validasi dari periode historis dilakukan untuk melihat performa
model dalam menggambarkan karakteristik musim dari data observasi.
Data CHIRPS yang telah dikoreksi digunakan sebagai data referensi.
Persentase kesesuaian pola musim antara model dengan observasi, nilai FAR, dan
POD digunakan untuk menilai kemampuan model dalam menyimulasikan pola
musim. WMME memiliki kesesuaian pola musim terbaik dengan observasi
dibandingkan dengan model lainnya, yaitu 67%. Performa model terbaik terlihat
pada pola monsunal, dengan nilai POD 83% oleh WMME. Sebaliknya, seluruh
model tidak mampu menggambarkan pola anti-monsunal, dengan POD kecil (0-
33%) dan FAR tinggi (60-100%). Dalam menyimulasikan MH pada skala
klimatologis, tahunan dan rata-rata tahunan, kedua MME memiliki performa mirip
dan lebih baik dibandingkan model individu, dengan WMME yang terbaik. Dari
proses validasi, WMME menghasilkan performa yang baik dalam menggambarkan
MH di Indonesia, sehingga memberikan dasar yang baik untuk penelitian
selanjutnya dalam melakukan analisis proyeksi iklim.
Perubahan karakteristik MH dan MK umumnya lebih jelas dan kuat pada
akhir abad dibandingkan pertengahan abad, dan di bawah skenario RCP8.5
dibandingkan RCP4.5. Pada wilayah dengan pola musim unimodal, temuan utama
dari proyeksi pada akhir abad dalam skenario RCP8.5 menunjukkan bahwa awal
MH di sebagian besar wilayah Indonesia akan mundur sekitar 10-25 hari, kecuali
di Sulawesi dan Papua bagian selatan yang akan maju sekitar 5-15 hari. Di sebagian
besar Indonesia, akhir MH akan mundur 10-20 hari, kecuali di wilayah lain
(Sumatera bagian utara, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan,
Maluku dan Papua bagian selatan) yang diproyeksikan akan maju 5-20 hari.
Sementara itu, penurunan panjang MH diproyeksikan terjadi di sebagian besar
wilayah Indonesia di atas 10-20 hari, kecuali beberapa daerah di Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua (bertambah 5-15 hari). Dilihat dari proyeksi SDII, MH (MK)
diproyeksikan hingga 15% (30%) lebih kering. Sebaliknya, peningkatan hujan saat
MH dan MK sekitar 5-10% diproyeksikan terjadi di Papua bagian utara, sedangkan
di Jawa bagian selatan, sebagian Bali dan Nusa Tenggara, dan Sulawesi bagian
tengah, MH diproyeksikan lebih basah hingga 20%.
Pada wilayah dengan pola musim bimodal, hasil proyeksi pada akhir abad
(RCP8.5) menunjukkan MH pertama (MH1) yang bergeser mundur (kecuali di
Kalbar) dengan panjang musim yang bertambah (kecuali di Aceh dan Kaltara).
MH2 diproyeksikan akan terjadi lebih lambat (kecuali Aceh), berakhir lebih cepat
(kecuali Riau dan Sumatera Barat), sehingga panjang musim berkurang (kecuali
Aceh dan Riau). Panjang MK1 diproyeksikan lebih pendek di Aceh, Sumut dan
Riau, sedangkan di wilayah lain akan lebih panjang. MK2 diproyeksikan terjadi
lebih pendek di Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat, sedangkan lebih
panjang di wilayah lain. SDII pada kedua MH dan MK diproyeksikan akan
berkurang di seluruh wilayah.