Volatilomik Berbasis SPME-GC/MS dan Karakterisasi Fisikokimia Daging dan Bakso Sapi, Tikus, Celeng
View/ Open
Date
2022Author
Amalia, Lia
Kusnandar, Feri
Yuliana, Nancy Dewi
Purwantiningsih
Metadata
Show full item recordAbstract
Harga daging sapi halal yang cukup mahal di Indonesia memicu potensi terjadinya penyalahgunaan penggunaan daging yang tidak halal yang lebih murah, seperti celeng dan tikus, yang dicampurkan ke dalam produk pangan berbasis daging, misalnya bakso. Pembuktian terjadinya pencampuran daging yang tidak halal tersebut memerlukan metode analisis yang efektif, mudah dan murah untuk autentifikasi jenis daging yang ditambahkan dalam produk pangan tersebut. Di antara metode autentifikasi untuk membedakan daging dari spesies yang berbeda yang sudah dikembangkan adalah metode elektroforesis, spektroskopi, Polymerase Chain Reaction (PCR), Electronic nose, dan ELISA. Namun metode tersebut memerlukan persiapan sampel yang kurang praktis untuk tujuan analisis rutin yang memerlukan waktu analisis yang cepat dan persiapan sampel yang sederhana. Metode analisis dengan GC-MS dapat dijadikan sebagai alternatif untuk autentifi-kasi, karena metode ini memiliki sensitivitas dan resolusi yang tinggi, memberikan keterulangan (reproducibility) yang baik, dan mudah dalam pengoperasian instru-mennya. GC-MS yang dipadukan dengan Solid Phase Microextraction (SPME) lebih mempercepat dalam proses penyiapan sampel sehingga analisis lebih cepat, mudah dan ekonomis.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan membandingkan karakteristik daging dan bakso sapi, tikus, dan celeng (dalam bentuk individual atau campuran-nya), dan autentifikasinya dengan metode SPME-GC/MS yang berbasis metabo-lomik. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu (1) analisis sifat fisikokimia (proksimat, mioglobin, pH, keempukan, warna, dan DIA (daya ikat air)) dan komponen volatil pada daging segar (tahap 1); (2) analisis fisikokimia (proksimat, warna, tekstur, pH, cooking yield, dan DIA) dan komponen volatil dalam model produk olahan (bakso). Data komponen volatil yang diperoleh dari analisis SPME-GC/MS (tahap 1 dan 2) diolah dengan menggunakan Orthogonal Partial Least Square-Discriminant Analysis (OPLS-DA) dan Partial Least Square-Discriminant Analysis (PLS-DA) untuk menghubungkan data senyawa volatil pada setiap kelompok sampel untuk diidentifikasi senyawa dominan sebagai penanda (marker).
Berdasarkan karakteristik fisikokimianya kadar protein daging sapi (23,47%) berbeda nyata dengan daging tikus (17.92%), dan daging celeng (19,90). Begitu juga kadar lemak daging sapi (4,49%) berbeda nyata dengan kadar lemak daging tikus (5,48%) dan daging celeng (11,80%). Kadar air, abu, dan karbohidrat berbeda nyata antara daging sapi, tikus dan celeng. Nilai pH daging tikus dan celeng tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan pH daging sapi. Kandungan mioglobin daging sapi dan tikus tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dibandingkan dengan daging celeng. Daging celeng termasuk katagori empuk dengan nilai daya putus WB 4,42 kg/cm2, sedangkan daging sapi termasuk katagori agak alot 7,65 kg/cm2. DIA daging sapi (31,35%) tidak berbeda nyata dengan daging celeng (32,05%), tetapi berbeda nyata dengan daging tikus (21,71%). Nilai warna daging (pada bagian yang berwarna merah) tidak berbeda nyata untuk parameter L*, a*,
b*, C*, dan h. Nilai warna daging (pada bagian yang berwarna putih) untuk parameter L*, a* dan h tidak berbeda nyata, sedangkan b* dan C berbeda nyata.
Model OPLS-DA menunjukkan bahwa senyawa volatil penanda yang paling kuat pada daging sapi adalah 2-methylthiophene, sedangkan untuk daging tikus adalah benzyl alcohol, dan untuk daging celeng adalah 1,3,5-cycloheptatriene. Senyawa volatil penanda terkuat campuran daging sapi dan tikus adalah 3-ethyl- benzaldehyde, sedangkan campuran daging sapi dan celeng didominasi oleh 2,6-dimethyldecane.
Hasil analisis komposisi kimia bakso yang terdiri dari air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai pH dan DIA menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada setiap jenis bakso, kisaran pH untuk semua jenis bakso adalah 5,38-6,36, sedangkan DIA 21,71%-31,35%. Cooking yield bakso daging sapi berbeda nyata dengan bakso daging celeng, tetapi tidak berbeda nyata dengan bakso lainnya.
Biplot Principal Component Analysis (PCA) data tekstur dan warna bakso menunjukkan bahwa bakso campuran yang dipalsukan dengan rasio daging non-halal (tikus atau celeng) lebih dari 50%, memiliki warna dan tekstur seperti bakso yang presentasi dagingnya lebih tinggi. Analisis statistik tersarang dilakukan secara terpisah antara bakso sapi, tikus, celeng, dan bakso campuran daging sapi dan tikus serta bakso campuran daging sapi dan celeng pada rasio 40% dan 60%. Persentase ini digunakan sesuai dengan pemalsuan yang sering terjadi di Indonesia, yaitu lebih dari 50%. Hasil analisis tektur menunjukkan tidak ada pola yang konsisten pada berbagai jenis bakso, kecuali untuk cohesiveness tidak berbeda nyata untuk semua jenis bakso. Tekstur bakso campuran berbeda nyata dengan bakso sapi murni. Hanya campuran 60% celeng dan 40% daging sapi yang berbeda nyata untuk semua nilai warna dibandingkan dengan bakso sapi. Bakso tikus dan bakso campuran daging tikus dan sapi (60%:40%) berbeda nyata dengan bakso sapi dan celeng pada nilai L*.
Model PLS-DA menunjukkan bahwa komponen senyawa volatil penanda terkuat dengan nilai Variable Influence to the Projection (VIP) tertinggi dalam bakso sapi adalah 2-amino-5-metil benzoic acid. Bakso tikus mengandung lebih banyak, (Z)-2-heptenal, sedangkan bakso celeng didiskriminasi oleh cyclobutanol. Selain itu, nonanal yang mempunyai nilai VIP tertinggi, ditemukan sebagai senyawa volatil penanda dominan pada bakso yang terbuat dari campuran daging tikus dan sapi serta campuran daging celeng dan sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volatilomik menggunakan SPME-GC/MS dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk mendeteksi terjadinya pemalsuan daging. Sebaliknya, hasil analisis sidik ragam dan analisis PCA sifat fisikokimia pada daging dan bakso tidak dapat dijadikan acuan untuk mendeteksi pemalsuan, kecuali warna dan tekstur bakso sapi yang dipalsukan dengan daging non-halal diatas 50%. Tektur dan warna bakso dengan rasio pemalsuan daging non-halal lebih dari 50%, mempunyai karakteristik yang sama dengan bakso daging non-halal murni.