Penentuan Kondisi Pengempaan Lemak Kakao (Cocoa Butter) Secara Mekanik
Abstract
Biji kakao merupakan biji dari buah tanaman kakao (Theobroma cacao LINN) yang telah di fermentasi, dibersihkan, dan dikeringkan. Biji kakao digolongkan dalam jenis mulia dan lindak. Produksi kakao Indonesia saat ini mencapai 435 ribu ton dan diperkirakan akan terus meningkat secara nyata karena program peremajaan tanaman yang teratur dan perluasan kebun baru (ED dan F Man, 2004). Lebih dari 76% kakao yang diproduksi di Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao, terutama ke negara pengolah biji kakao seperti Malaysia, Singapura, dan Belanda (Indranada, 2003). Selain digunakan sebagai minuman penyegar, kakao juga digunakan untuk bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik. Fungsi kakao sebagai minuman penyegar disebabkan kakao memilki kandungan senyawa alkaloid yang terdiri dari Theobromin dan Kaffein. Bahkan karena aroma dan cita rasanya yang khas, kakao banyak digemari dan digunakan sebagai “flavoring agent”. Biji kakao mengandung banyak nilai kalori yang tinggi serta nilai kandungan lemak yang prima. Kakao sering juga diberi nama Theobroma cacao, yang artinya santapan atau minuman para dewa (theos = dewa atau tuhan ; broma = minuman atau santapan). Pada saat sekarang ini pemanfaatan kakao hanya terbatas pada buahnya saja, itu pun terbatas bijinya saja. Biji kakao tersebut dimanfaatkan untuk dihasilkan bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak kakao (cocoa butter). Dari bubuk kakao dapat digunakan sebagai bahan pembuatan minuman cokelat instan, sebagai bahan pencampur susu bubuk dan juga bahan pembuatan kue. Sedangkan dari lemak kakao digunakan untuk bahan pembuat permen coklat dan bahan pembuatan perlengkapan kencantikan seperti sabun serta berbagai alat kosmetik. Faktor-faktor pendukung produk olahan kakao yang mempengaruhi kualitas antara lain adalah cita rasa, sifat fisik dan sifat kimiawinya. Komponen penyusun cita rasa cokelat dibentuk melalui perubahan kimiawi yang terjadi selama pengolahan kakao. Untuk mendapatkan lemak kakao yang memiliki kualitas terbaik maka perlu adanya proses pengolahan sekunder kakao yang baik pula. Dalam mendapatkan lemak kakao tersebut proses utamanya dalam pengolahan sekunder kakao adalah proses pengempaan. Oleh karena itu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah merancang mesin pengempa lemak kakao tipe mekanik untuk sarana penyediaan lemak kakao pada pengembangan industri skala kecil dan menengah. Pengempaan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta kasar yang telah dihasilkan. Banyaknya lemak yang dapat dipisahkan tergantung pada lamanya pengempaan yang dilakukan, tekanan yang digunakan, dan ukuran partikel pasta yang diekstrak. Menurut Mulato dan Widyotomo, (2003), rendemen lemak yang diperoleh dari pengepresan dipengaruhi oleh bebrapa faktor antara lain suhu pasta, kadar air pasta, ukuran partikel pasta, kadar protein pasta, tekanan kempa, dan waktu pengepresan. ii Mesin pengempa lemak kakao secara garis besar terdiri dari unit rangka, unit pengempaan, unit saringan silinder cetakan, unit motor listrik sebagai tenaga penggerak pompa hidrolik, dan unit pompa hidrolik yang disertai dengan tangki oli beserta selang-selang sirkulasi oli dan pressure valve otomatis. Setelah motor listrik dihidupkan dengan menekan tombol on-off, maka pompa berputar menghisap dan mengedarkan oli dari tangki ke selang-selang sirkulasi, menuju silinder-piston pengempa, dan kembali lagi ke tangki oli. Tuas handel yang dapat digerakkan ke atas atau ke bawah secara perlahan atau cepat berhubungan dengan pressure valve otomatis. Bila tuas digerakkan ke atas piston pengempa bergerak turun melakukan pengempaan, sedangkan bila tuas digerakkan ke bawah maka piston pengempa bergerak ke atas tidak melakukan pengempaan. Sistem penerusan daya mesin pengempa lemak kakao tipe hidrolik ini menggunakan oli. Oli tersebut diedarkan dengan menggunakan selang sirkulasi. Oli-oli tersebut terus bersikulasi dengan adanya pompa hidrolik yang digerakkan oleh motor listrik. Penelitian mengenai optimasi ini dilakukan dalam tiga tahap penelitian utama. Tahap pertama mencari kondisi terbaik dari proses pengempaan dengan variasi jenis bahan masukan, nib, pasta kasar, dan pasta halus merupakan variasinya. Tahap kedua yaitu menentukan kondisi paling memungkinkan pada proses pengempaan dengan variasi berat input yang dimasukkan ke dalam kantung. Tahap tiga merupakan tahap terakhir untuk mengetahui kondisi terbaik dalam mengempa yaitu untuk mengetahui pada suhu penyimpanan berapakah bahan masukan paling baik disimpan. Dari percobaan tiga pengempaan dengan jenis masukan yang berbeda, yaitu pengempaan dengan jenis masukan nib, pasta kasar, dan pasta halus maka didapat perolehan lemak terbanyak didapat oleh pengempaan dengan jenis masukan pasta halus yaitu sebesar 37.25 % dari berat masukan. Namun energi yang dibutuhkan untuk melakukan pengempaan dengan bahan masukan pasta halus sangat besar yaitu sebesar 2.227 kWh untuk sekali pengempaan. Dengan demikian dipilih pengempaan dengan bahan masukan berupa pasta kasar sebagai pilihan terbaik untuk dilanjutkan ke tahap penelitian selanjutnya. Hal ini dilihat dari persentase lemak yang dihasilkan memiliki nilai terbaik kedua setelah pengempaan dengan bahan pasta halus yaitu sebesar 33.22 %, memiliki nilai kapasitas pengempaan terbaik yaitu 38.46 g/menit, namun pengempaan pasta kasar memiliki kebutuhan energi yang terkecil nilainya yaitu hanya dibutuhkan 1. 038 kWh untuk sekali pengempaan. Dengan demikian pengempaan dengan bahan baku pasta kasar memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan dan juga memiliki performa pengempaan yang baik pula. Dalam perbandingan hasil pengempaan dengan variasi bobot masukan terlihat perbandingan antara persentase lemak dan kapasitas masing-masing variasi bobot masukan tidak terlihat perbedaan terlalu signifikan. Dengan demikian dipilih pengempaan dengan bobot masukan seberat 200 gram sebagai variasi bobot yang terbaik. Hal ini dilihat bahwa hasil persentase lamak yang dihasilkan sudah baik yaitu sekitar 32.05 % dari bobot masukan, selain itu kapasitas pengempaan yang baik pula yaitu 28.57 g/menit, dan yang paling penting kebutuhan energi yang digunakan untuk sekali pengempaan kecil hanya 0.308 kWh. Pengempaan dengan bobot 100 gram tidak dipilih sebagai yang terbaik dikarenakan kapasitas pengempaannya terlalu kecil yaitu hanya 20.00 iii g/menit. Selain itu faktor ketebalan akhir dari pengempaan menjadi faktor utama pula, untuk jenis pengempaan yang memiliki nilai ketebalan bahan akhir yang besar yaitu diatas 0.5 cm maka bisa dikatakan pengempaan tersebut kurang baik atau maksimal sehinngga dapat menghasilkan bungkil kakao dengan nilai lemak yang masih tinggi. Sehingga dengan demikian pengempaan dengan bobot 200 gram dipilih menjadi variasi bobot masukan terbaik, karena memenuhi nilai performa pengempaan yang baik walaupun bukan yang terbaik, tetapi memiliki nilai keunggulan dalam hal ekonomi dan faktor hasil ketebalan akhir yang didapat karena hal tersebut juga sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak pelaku industri. Pembanding hasil pengempaan variasi suhu penyimpanan bahwa jenis pengempaan dengan suhu penyimpanan 45ºC memperoleh hasil yang terbaik. Untuk nilai persentase lemak yang dihasilkan, pengempaan pada suhu penyimpanan 45ºC memiliki nilai yang terbaik yaitu 32.05%, demikian pula dengan nilai kapasitas pengempaannya memiliki nilai terbaik yaitu sebesar 28.57 g/menit. Dilihat dari konsumsi energinya memiliki konsumsi energi terkecil, sehingga dapat disimpulkan pengempaan suhu penyimpanan 45ºC merupakan proses pengempaan yang terbaik, baik di segi performa pengempaan maupun dari sisi nilai ekonomisnya. Pengempaan biji kakao non fermentasi memiliki keunggulan pada persentase lemak yang didapat yaitu sebesar 36.30 % berbeda selisih sekitar 4.25 % dari pengempaan biji kakao fermentasi. Tetapi apabila melihat dari kapasitas pengempaan maka pengempaan biji kakao fermentasi lebih baik yaitu dengan nilai kapasitas pengempaan 28.57 g/menit memiliki selisih sebesar 6.35 g/menit dengan pengempaan biji kakao non fermentasi. Selain itu konsumsi energi yang digunakan pada pengempaan biji kakao fermentasi lebih rendah sekitar 0.087 kWh untuk sekali pengempaan dibandingkan pengempaan biji kakao non fermentasi. Dari pertimbangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengempaan dengan biji kakao fermentasi lebih baik sekaligus lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengempaan dengan menggunakan biji non fermentasi. Sehingga pengempaan biji kakao fermentasi yang paling optimum adalah pengempaan dengan masukan berupa pasta kasar dengan berat 200 gram yang terlebih dahulu disimpan selama 24 jam di oven dengan suhu 45 °C. Dari perbandingan dengan proses pengempaan non fermentasi, hasil pengempaan fermentasi ternyata lebih baik, tetapi nilai persentase kadar lemak pengempaan non fermentasi lebih unggul dibandingkan dengan pengempaan fermentasi. Dari perhitungan biaya operasional total proses pengempaan, diperoleh biaya sebesar Rp 2198.68 untuk pengempaan satu kilogram biji kakao.