Keanekaragaman Tumbuhan Paku Terestrial di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Batur Bukit Payang Kintamani-Bali
Abstract
Persebaran tumbuhan paku cukup tinggi di Pulau Bali. Keberadaan ekosistem
hutan hujan tropis dan terdapat beberapa gunung sehingga membuat Pulau Bali
memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi. Salah satu gunung yang
terdapat di Pulau Bali adalah Gunung Batur yang mengalami letusan terakhir pada
tahun 2000. Pada saat letusan tersebut, salah satu wilayah yang terkena dampaknya
adalah Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur Bukit Payang Kintamani-Bali.
Kawasan ini memiliki tipe ekosistem yang khas, seperti ekosistem hutan sekunder
dan ekosistem sabana. Ekosistem-ekosistem tersebut memiliki peranan penting di
dalam menyediakan tempat tumbuhnya spesies tumbuhan tertentu. Akan tetapi,
dengan adanya letusan gunung berapi berpotensi mengubah keanekaragaman
spesies, salah satunya adalah tumbuhan paku terestrial. Dengan permasalahan
tersebut, tujuan penelitian ini untuk: (1) menganalisis keanekaragaman tumbuhan
paku terestrial berdasarkan komposisi, kesamaan spesies dan pola penyebaran; (2)
menganalisis keanekaragaman tumbuhan paku terestrial berdasarkan morfologi dan
struktur reproduksi; (3) menganalisis faktor lingkungan yang memengaruhi
komposisi spesies tumbuhan paku terestrial.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2020. Penelitian
dilakukan dengan metode eksplorasi dan analisis vegetasi. Pengambilan sampel
yang dilakukan yaitu metode purposive sampling pada dua jalur transek sepanjang
100 meter dengan petak pengamatan yang berukuran (3 x 3) m2
pada setiap lokasi
ekosistem hutan sekunder dan sabana di Kawasan TWA Gunung Batur Bukit
Payang Kintamani-Bali. Data keanekaragaman tumbuhan paku terestrial dianalisis
dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP), tingkat keanekaragaman spesies
tumbuhan paku ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman (H′)
Shannon-Wiener. Data morfologi dan struktur reproduksi dianalisis dengan analisis
deskriptif-kualitatif yang disusun dalam bentuk kunci identifikasi. Data kesamaan
spesies antar dua tipe ekosistem yang berbeda dihitung dengan rumus Sorenson.
Pola distribusi tumbuhan paku terestrial dihitung dengan menggunakan Indeks
Morisita (Id) dan dikorelasi menggunakan aplikasi QGIS pemetaan versi 3.10.
Parameter iklim mikro yang diamati meliputi indikator suhu, kelembapan, derajat
keasaman, kecepatan angin, naungan dan intensitas cahaya. Selanjutnya, dianalisisi
dengan menggunaan canonical correspondence analysis (CCA). Waktu
pengambilan data lingkungan dilakukan tiga kali sehari pada waktu pagi, siang dan
sore.
Sebanyak 31 spesies tumbuhan paku terestrial yang tergolong dalam 11
famili. Famili Pteridaceae yang paling banyak ditemukan yaitu 10 spesies. Adapun
19 spesies dijumpai pada ekosistem hutan sekunder, 16 spesies pada ekosistem
sabana dan empat spesies yang sama tumbuh di kedua ekosistem. Hasil indeks nilai
penting ditemukan empat spesies dengan nilai lebih dari 20 % di Ekosistem Hutan
Sekunder. Nilai INP dari ke empat spesies tersebut juga berdekatan atau dalam
kisaran yang sama, tidak ada yang mutlak (jauh di atas spesies yang lain). Spesies
tersebut yaitu; M. speluncae memiliki nilai INP sebesar (23,46), Dryopteris sp.
memiliki nilai (22,17), A. pellucidum dengan nilai (21,66) dan D. esculentum
ii
(20,04), sedangkan empat spesies tumbuhan paku terestrial dengan INP tinggi di
Ekosistem Sabana yaitu; A. raddianum memiliki nilai indeks (48,09), P. biaurita
(37,44), A. poiretii memiliki INP (33,78) dan A. capillus-veneris (33,71). Indeks
keanekaragaman dari ekosistem hutan sekunder lebih besar (H’= 2,7) dibandingkan
dengan ekosistem sabana (H’= 2,5). Distribusi populasi tumbuhan paku terestrial
penyebarannya berkelompok. Ekosistem hutan sekunder dan sabana memiliki
perbedaan khas pada: 1) komposisi spesies; 2) topografi; 3) naungan; dan 4) iklim
mikro. Eksistensi tumbuhan paku terestrial tidak terlepas dari faktor lingkungan
yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan paku. Intensitas
cahaya, kelembapan tanah/udara merupakan faktor utama yang memengaruhi
distribusi spesies di Ekosistem Hutan Sekunder, sedangkan kecepatan angin dan
kelembapan tanah/udara menjadi faktor utama keberadaan spesies di Ekosistem
Sabana.