Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/97792
Title: Addressing the challenges Of managing Small-Scale Grouper (Serranidae ) And Snapper (Lutjanidae) Fisheries In Eastern Indonesia
Authors: Wiryawan, Budy
Loneragan, Neil R.
Sondita, Muhammad Fedi A.
Hordyk, Adrian
Halim, Abdul
Issue Date: 2019
Publisher: Bogor Agricultural University (IPB)
Abstract: Perikanan adalah sektor perekonomian yang penting untuk mengatasi ancaman kelaparan dan kemiskinan di dunia, khususnya di Asia Tenggara dan Indonesia yang pada tahun 2014 dilaporkan menduduki urutan ke-dua sebagai negara penghasil ikan tangkap terbesar di dunia. Penelitian terbaru telah menunjukan pentingnya perikanan skala kecil dalam hal banyaknya ikan yang didaratkan dan ketahanan pangan, bahkan diyakini bahwa jumlah hasil tangkapan dari perikanan ini yang dilaporkan jauh dari yang sesungguhnya. Perikanan skala kecil merupakan sub-sektor perikanan yang penting yang menyediakan sumber mata pencaharian dan pemenuhan pangan bagi jutaan nelayan kecil, masyarakat setempat dan penyuka makanan dari laut di Indonesia dan dunia. Hingga tahun 2000, nelayan skala kecil di Asia Tenggara menyumbang lebih banyak ikan konsumsi bagi manusia daripada perikanan skala industri (tidak termasuk ikan yang digunakan sebagai pakan ikan), dan di Indonesia mempekerjakan sekitar 85% dari semua pekerja di sektor perikanan. Disertasi ini meneliti tentang pengelolaan perikanan di bagian Timur Indonesia yang mencakupi tiga topik yaitu: a) menelaah tentang definisi hukum dari nelayan kecil dan perikanan skala kecil dikaitkan dengan mandat perikanan yang berkelanjutan dan penguatan penduduk miskin dan mengajukan sebuah definisi baru nelayan kecil dan perikanan skala kecil di Indonesia, b) meneliti tentang kecenderungan tangkapan kerapu (Serranidae) dan kakap (Lutjanidae) di Indonesia dan mencoba kegunaan dari metoda pendugaan stok ikan, Length-Based Spawning Potential Ratio (LB-SPR), untuk perikanan kerapu dan kakap dengan data terbatas di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur, dan c) menelaah pengelolaan perikanan berbasis hak untuk perikanan skala kecil dan mengajukan sebuah konsep pengelolaan perikanan berbasis hak yang diberi istilah Hak Pengelolaan Perikanan (HPP) sebagai alat pengelolaan perikanan skala kecil di Indonesia. Metoda penelitian deskriptif dan kuantitatif termasuk analisa perundang-undangan dan studi pustaka, yang ditriangulasi melalui diskusi-diskusi kelompok terfokus dan pengumpulan data lapangan diterapkan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini. Perikanan skala kecil di Indonesia saat ini tidak diatur dan dikecualikan dari instrumen pengelolaan perikanan yang ada, menjadikannya penting dalam menentukan keberhasilan seluruh upaya-upaya pengelolaan perikanan jangka panjang di Indonesia (Bab 3). Definisi nelayan kecil yang ada saat ini (sesuai undang-undang tahun 2016) meliputi kapal ikan < 10 GT, lebih besar dari sebelumnya < 5 GT, menimbulkan masalah karena meningkatkan jumlah kapalkapal dan tangkapan dari perikanan yang tidak diatur. Melalui penelitian ini, saya mengusulkan sebuah definisi perikanan skala kecil yang baru sebagai “suatu (satu) unit kegiatan perikanan, dikelola pada skala rumah tangga, tanpa atau dengan menggunakan kapal ikan < 5 GT dan menggunakan alat tangkap yang tidak dioperasikan oleh mesin”. Definisi ini memadukan atribut kapal ikan (GT), atribut alat tangkap (mekanisasi) dan unit usaha dimana pengambilan keputusan terjadi (yakni pada skala rumah tangga), dan bertujuan untuk meminimalisir penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur dan mengarahkan program bantuan pemerintah kepada orang-orang yang benar-benar miskin dan terpinggirkan. Penelitian ini merekomendasikan pemerintah mempertimbangkan dua istilah yang saling terkait, kedalam undang-undang yang berlaku untuk memperbaiki pengelolaan perikanan: “nelayan kecil” dipergunakan dalam undangundang perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan “perikanan skala kecil” kedalam undang-undang perikanan. Keberlanjutan populasi ikan kerapu dan kakap yang menjadi target tangkapan perikanan termasuk oleh perikanan skala kecil telah mengalami ancaman akibat dari perluasan armada penangkapan ikan yang terus menerus, khususnya di bagian timur Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini (Bab 4). Kecenderungan tangkapan dan upaya (catch and effort) di bagian timur Indonesia periode tahun 2000-2014 menunjukkan bahwa tangkapan kerapu (Epinephelus dan Plectropomus) dan kakap (Lutjanus spp.) masing-masing meningkat dua kali lipat pada periode awal tahun 2000-an hingga 2014, dimana kerapu meningkat dari 21,300 menjadi 48,300 ton dan kakap dari 62,300 menjadi 137,300 ton. Total jumlah kapal tanpa atau dengan mesin berukuran < 5 GT juga meningkat drastis, hampir duakali lipat dari 201,800 menjadi 391,500 kapal pada periode tahun 2000-2014, sementara jumlah kapal berukuran lebih besar relatif tetap. Peningkatan hasil tangkapan dan jumlah armada kapal di wilayah dengan populasi yang relatif sedikit di bagian timur Indonesia ini jauh lebih besar daripada di bagian barat Indonesia. Analisa terhadap 10,621 data panjang dari enam spesies ikan (tiga di Teluk Saleh: Plectropomus leopardus, Variola albimarginata dan P. maculatus; dan tiga di Laut Timor: Lutjanus gibbus, L. boutton and Epinephelus areolatus) yang diukur selama waktu 12 bulan menunjukkan bahwa estimasi rasio pemijahannya (spawning potential ratio/SPR), sebuah nilai acuan biologis yang umum digunakan untuk menggambarkan kondisi dari populasi ikan, sangat rendah untuk semua spesies (0.03-0.14) terkecuali untuk E. areolatus (0.58) dan rasio mortalitas penangkapan terhadap mortalitas alami (F/M) sangat tinggi (1.7-15.1). Model Length-Based Spawning Potential Ratio (LB-SPR) menunjukkan bahwa semua spesies terkecuali E. areolatus, telah banyak ditangkap sebelum mencapai usia ikan dewasa. Peningkatan hasil tangkapan, perluasan upaya penangkapan perikanan skala kecil yang terus menerus, dan rendahnya rasio potensi pemijahan ikan di dua lokasi penelitian menggarisbawahi pentingnya dengan segera mencari dan menerapkan tindakan untuk meningkatkan kembali rasio potensi pemijahan dari spesies-spesies ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi ini. Penyebab utama terjadinya penangkapan ikan berlebih adalah tingginya permintaan pasar akan makanan dari laut (seafood) yang memicu peningkatan upaya penangkapan yang berakibat pada tingginya tekanan terhadap populasi ikan, terkadang hingga pada ambang kepunahan. Sebuah alat pengelolaan perikanan berbasis hak, diberi istilah “Hak Pengelolaan Perikanan” (HPP) yang bisa mengatasi akar masalah penangkapan ikan berlebih yakni motivasi manusia yang tidak terbatas untuk menangkap ikan, ditelaah dan dirumuskan untuk pengelolaan perikanan skala kecil di Indonesia (Bab 5). Sebuah hak pengelolaan serupa yang dikenal dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diperkenalkan oleh Undang-Undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011. Analisa terhadap perundang-undangan dan dokumen terkait lainnya yang ditriangulasi melalui diskusi-diskusi kelompok terfokus melibatkan para ahli, pembuat keputusan dan praktisi diterapkan untuk merumuskan HPP. HPP berpotensi sebagai alat pengelolaan untuk memulihkan kembali populasi ikan dan mencegah berlanjutnya penangkapan berlebih. Konsep ini selaras dengan praktekpraktek tradisional di Maluku yang dikenal dengan petuanan laut, dimana kepemilikan secara komunal terhadap sebagian wilayah pesisir dan laut diakui dan dihormati. Atribut utama dari HPP adalah ‘terlindungi dan eksklusif’ yang melegitimasi entitas pemegang HPP untuk mengamankan hak pemanfaatannya dan mencegah orang lain melakukan exploitasi sumberdaya ikan di wilayah tertentu. Pembelajaran dari berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa pendekatan ini, jika dipadukan kedalam rencana pengelolaan perikanan, didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal dan ilmu pengetahuan moderen, berhasil mengatasi permasalahan akses terbuka (open access) perikanan karena mencegah motivasi nelayan dalam perlombaan menangkap ikan. Dalam pengelolaan perikanan, terdapat unsur ketidakpastian dari berbagai aspek sosial, legal dan ekologis perikanan. Memahami dimensi manusia di dalam sistem perikanan adalah penting karena setiap peraturan dan kebijakan yang sekalipun telah disusun dengan kaidah yang baik dan ilmiah, bisa berdampak kurang baik, termasuk tingkah laku dari pengguna sumberdaya (manusia) yang tidak selaras dengan maksud dari peraturan dan kebijakan tersebut. Dengan demikian, pengelolaan perikanan yang adaptif menjadi sangat perlu agar tercipta pilihan-pilihan pengelolaan yang baik untuk keberlanjutan perikanan skala kecil dan mata pencaharian penduduk wilayah pesisir yang sangat tergantung pada sumberdaya perikanan. Ini memerlukan keterkaitan yang erat dalam mengevaluasi kerangka perundang-undangan dan kebijakan dengan pemahaman terhadap populasi dan dinamika sumberdaya ikan, dengan menempatkan dimensi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah ekosistem perikanan.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/97792
Appears in Collections:MT - Fisheries

Files in This Item:
File SizeFormat 
2019aha.pdf
  Restricted Access
45.06 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.