Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/94915
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorAdiwibowo, Soeryo-
dc.contributor.advisorSoetarto, Endriatmo-
dc.contributor.advisorA Kinseng, Rilus-
dc.contributor.advisorFoley, Sean-
dc.contributor.authorAbdulkadir-Sunito, Melani-
dc.date.accessioned2018-11-08T03:55:59Z-
dc.date.available2018-11-08T03:55:59Z-
dc.date.issued2018-
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/94915-
dc.description.abstractDisertasi ini menelaah dinamika politik identitas dalam menegosiasi hak atas sumberdaya tanah, melalui pengamatan selama hampir dua dekade pada satu desa pegunungan di Sulawesi Tengah yang mengalami gelombang-gelombang migrasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana identitas etnis dapat atau tidak dapat dimanfaatkan untuk memperoleh hak akses dan kontrol atas sumberdaya tanah. Pertanyaan tersebut dijawab dengan menelusuri perubahan lanskap agraria desa akibat penetapan kawasan Taman Nasional, serta mencermati perubahan pola pertanian dan pemukiman akibat gelombang-gelombang migrasi dari etnis yang berbeda dalam konteks perubahan sosio-politik lokal dan regional di Indonesia pasca 1998. Disertasi ini mengeksplor tesis konflik lingkungan dan identitas keaslian (indigeneity) dalam pendekatan Ekologi Politik. Sejalan dengan Ekologi politik yang plural secara metodologis, penelitian ini menggunakan kombinasi metoda kualitatif (wawancara, pengamatan langsung) dengan analisa dokumen dan metoda kuantitatif sensus penduduk dan migrasi yang dilakukan secara partisipatif. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa politik identitas etnis dalam akses atas sumberdaya dimungkinkan, namun juga dibatasi, oleh kondisi-kondisi tertentu. Teritorialisasi menjadi elemen kunci dalam mengakses sumberdaya tanah. Pada tahun 2004 upaya mengklaim tanah di dalam kawasan hutan yang diteritorialisasi oleh negara dalam bentuk Taman Nasional dilakukan dengan klaim tanah sebagai warisan (powanuanga) milik ‘orang kampung’, yaitu etnis lokal Napu. Etnisitas sebagai bundle of powers diajukan dengan mengemukakan adanya ketimpangan ekonomi akibat budidaya coklat oleh pendatang serta ketegangan hubungan antara orang kampung (Napu, Kristen) dan pendatang (Bugis, Islam) akibat imbas konflik etno-relijius di Poso (berada pada kabupaten yang sama). Situasi ini diperkuat fakta demografis yang menunjukkan proporsi sebanding antara orang kampung-pendatang dan fakta spasial dalam hal pemukiman yang terpisah antar etnis menunjukkan integrasi sosial yang lemah. Identitas etnis tidak dapat dimanfaatkan (atau dapat ‘diredam’) ketika menegosiasi hak atas sumberdaya tanah pada tahun 2014 karena secara kuantitatif terjadi perubahan struktur demografi akibat gelombang migrasi dimana komposisi penduduk menjadi tigasama- besar antara lokal Napu, pendatang Bugis, dan pendatang Sunda-Jawa; etnis tidak lagi dikotomik. Selain itu terjadi leveling off playing field dalam hal penguasaan atas tanah. Tanah yang lebih merata terdistribusi memungkinkan petani dari berbagai kelompok dan etnis untuk membudidayakan sayuran dataran tinggi (hortikultura), komoditas tinggi input eksternal. Dalam situasi ini tanah menjadi sumberdaya yang perlu diperjuangkan bersama, dan perjuangan itu berhasil pada saat negara memberi legitimasi melalui persetujuan meng-enclave. Etnis sebagai bagian dari identitas askriptif, bagaimanapun, masih berperan di sebagian legitimasi akses: sepanjang klaim dilakukan atas nama powanuanga maka sumberdaya hutan sah untuk diakses. Pada sebagian lain, karena kategori sosial makin beragam, pendatang melepas sekat identitas etnis dan menggantikannya dengan identitas lokal, hal mana ‘menyatukan’ mereka dengan warga setempat. Politik identitas etnis bergeser menjadi politik identitas lokal. Penelitian ini juga menyoroti perubahan konjungtur atau historical contingency dan peran kelembagaan desa. Pada tahun 2004 konjungtur tersusun dari (1) negara melakukan teritorialisasi dalam bentuk penetapan kawasan Taman Nasional; (2) keterbukaan politik dan situasi chaotic’ yang terjadi pada tahun-tahun awal sesudah reformasi 1998; (3) kerusuhan etno-relijius Poso; dan (4) pendudukan Dongi-dongi. Peran kelembagaan desa sebagai penyeimbang dan pengontrol kecil, dan kelembagaan baru justru berperan sebagai pendukung kekuasaan individu Kepala Desa. Pada tahun 2014, perubahan elemen penyusun konjungtur yaitu (1) negara masih melakukan teritorialisasi dalam bentuk Taman Nasional namun telah terjadi teritorialisasi tandingan melalui bentuk Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM); (2) situasi chaotic era reformasi 1998 telah berubah menjadi era konsolidasi demokrasi sesudah tahun 2005; (3) kerusuhan etno-relijius Poso telah mereda; sebagai isu etno-relijius ia sudah kadaluwarsa. Pada tingkat desa terjadi perkembangan kelembagaan yang berperan sebagai penyeimbang sekaligus pengawas atas kekuasaan dan otoritas individu baik yang menyangkut aparat desa, kelembagaan lintas agama, dan kelembagaan ekonomi yang dengan sengaja menyertakan beragam kelompok dalam masyarakat (termasuk pendatang) dalam kepengurusan dan kegiatannya, serta menjalankan peran-peran yang menjembatani perbedaan primordial. Penelitian ini secara khusus menyoroti krusialnya isu agraria di daerah frontier sebagai arena kontestasi vertikal (antara negara dengan masyarakat) dan horisontal (antara lokal dengan pendatang, dan di antara sesama lokal/pendatang) atas peluangpeluang hidup dan sumberdaya produktif. Dimana teritorialisasi belum selesai kekuasaan ekstra-institusi sering berperan tanpa ada kekuatan penyeimbang. Penting pula menyoroti bahwa isu migrasi, tanah, dan tenurial merupakan bibit-bibit keIndonesiaan yang penting dikaji pada tingkat lokal. Migrasi tidak bisa lagi “tidak berwajah etnis” dan proses-proses akulturasi sebagai bagian dari pembentukan civility dalam masyarakat multikultural menjadi penting. Jika identitas tunggal (etnis, adat, first people, indigeneity) dikedepankan, maka hal ini tidak saja gagal menggambarkan realitas sesungguhnya pada masyarakat nyata tetapi juga berkemungkinan mendorong terjadinya ketegangan dan konflik horisontal – hal mana merupakan pembalikan trajectory keIndonesiaan. Jika pemerintah maupun masyarakat sipil tidak melihat ini, maka di masa depan yang dekat permasalahan akan timbul.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcRaegional Sociologyid
dc.subject.ddcEthnic-Identityid
dc.subject.ddc2018id
dc.subject.ddcSulawesi Tengahid
dc.titleBatas Politik Identitas Etnis. Teritorialisasi Tandingan dan Migrasi Frontier di Desa Pegunungan Sulawesi Tengahid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordpolitik identitas etnisid
dc.subject.keywordteritorialisasi tandinganid
dc.subject.keywordmigrasi frontierid
dc.subject.keyworddesa pegununganid
dc.subject.keywordSulawesi Tengahid
Appears in Collections:DT - Human Ecology

Files in This Item:
File SizeFormat 
2018mas.pdf
  Restricted Access
100.28 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.