Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88642
Title: Kelembagaan Model Desa Konservasi di Taman Nasional Gunung Rinjani Provinsi Nusa Tenggara Barat
Authors: Soekmadi, Rinekso
Adiwibowo, Soeryo
Kusmana, Cecep
Ichsan, Andi Chairil
Issue Date: 2017
Publisher: IPB (Bogor Agricultural University)
Abstract: Salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang didorong oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu pengembangan Model Desa Konservasi (MDK), Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi melalui berbagai program pemberdayaan kelompok masyarakat. Secara konseptual model desa konservasi merupakan desa yang dijadikan model dalam upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan konservasi dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, serta aspek lainnya dan akan menjadi contoh dalam pemberdayaan di tempat lain (PERMENHUT No 29 Tahun 2013). Program MDK pada tahap awal dilaksanakan selama periode 2005 sampai dengan 2009. Pada awal tahun 2005, masing-masing unit pelaksana teknis Ditjen PHKA diberikan mandat untuk membangun sebanyak 2 Unit MDK. Hingga tahun 2009 tercatat sebanyak 133 MDK telah dibangun di seluruh UPT Ditjen PHKA termasuk di wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani (Direktorat PJLWA KEMENHUT 2009). Bentuk intervensi yang dilakukan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) dalam kerangka pelaksanaan MDK yaitu dengan memberikan sejumlah bantuan kepada kelompok masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui gerakan pemberdayaan, sehingga dapat mengurangi konflik dan tindakan pelanggaran kehutanan di kawasan taman nasional tersebut. Namun demikian, sampai saat ini program MDK yang dijalankan oleh BTNGR belum berjalan optimal. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat dan laporan pelaksanaan evaluasi MDK tahun 2012 di TNGR menunjukkan bahwa saat ini kondisi pelaksanaan MDK sudah tidak lagi berjalan efektif. Beberapa bantuan peralatan yang diberikan sebagai bentuk upaya pemberdayaan saat ini sudah tidak lagi dapat digunakan karena mengalami kerusakan, dan kelembagaan yang ditunjuk untuk mengawal pelaksanaan MDK juga sudah tidak lagi berfungsi. Secara konseptual, kelembagaan merupakan mekanisme, aturan main, norma, larangan, dan aturan yang mengatur dan mengontrol perilaku individu di masyarakat atau organisasi (Schmid 1987; North 1990; Kasper & Streit 1998; Mackay 1998; Ostrom 2005). Kelembagaan dibangun untuk mengurangi ketidakpastian terhadap kontrol atas sumberdaya dan untuk menekan perilaku oportunistik dan membahayakan sehingga perilaku manusia dalam memaksimalkan kesejahteraannya lebih dapat diprediksi (Kasper dan Streit 1998). Namun demikian, masalah kritis dalam merancang sebuah kelembagaan, termasuk kelembagaan pengelolaan hutan, adalah isu keberlanjutan kelembagaan (Adiwibowo et al. 2013). Rancangan kelembagaan seringkali tidak menjadi aturan yang dijalankan oleh para pihak dalam berinteraksi. Penelitian ini bertujuan untuk v menelaah dan mengevaluasi MDK di TNGR dari perspektif kelembagaan (situasi, struktur dan kinerja) serta peran pemangku kepentingan dalam pelaksanaan MDK di TNGR, dan merumuskan strategi kelembagaan MDK yang berkelanjutan dan adaptif dengan kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini dikembangkan kerangka kerja yang berlandaskan pada teori dampak institusi yang diadopsi dari Schmid (1987;2004) dengan mengacu pada tiga komponen utama yaitu situasi, struktur dan kinerja kelembagaan. Situasi sebagai sumber interdependensi masyarakat terhadap sumberdaya TNGR dianalisis menggunakan analisis preferensi (Sheil & Liswanti 2006) dan karakteristik masyarakat yang meliputi sejarah, hak dan penghidupan masyarakat (Mahmud et al 2015). Analisis struktur kelembagaan meliputi aturan formal yang digunakan dan pilihan tindakan masyarakat di TNGR dengan menggunakan teori multiple levels of rule making (Ostrom 1990; Hess & Ostrom 2007). Kinerja pelaksanaan MDK di TNGR dianalisis menggunakan prinsip kelembagaan yang bertahan lama (Ostrom 1990). Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa secara spesifik masyarakat yang menjadi sasaran program MDK telah lama menempati wilayah yang saat ini diklaim sebagai TNGR, di sisi lain perbedaan intervensi program dengan karakteristik masyarakat mempertegas adanya situasi inkompatibilitas pengelolaan MDK di TNGR. Pengaturan pada level konstitusional tidak menjamin efektifitas pelaksanaan program di lapangan, jika struktur yang dibangun tidak sesuai dengan karakteristik setempat dan tidak berjalan simultan pada semua level pengaturan (konstitusional, kolektif maupun operasional). Hal tersebut berimplikasi pada tidak optimalnya kinerja pelaksanaan prorgram MDK di TNGR. Gagalnya pengembangan MDK di TNGR juga tidak lepas dari lemahnya peran para pihak dalam pelaksanaan program tersebut, selama ini pihak TNGR bertindak sebagai figur sentral dalam pelaksanaan MDK, ruang-ruang kolaborasi yang semestinya tersedia tidak termanfaatkan dengan baik melalui proses komunikasi dan koordinasi yang intensif. Selama ini proses kolaborasi yang dibangun cenderung bersifat eksklusif antara pengelola taman nasional dengan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program. Dibutuhkan penataan struktur kelembagaan dan peran pemangku kepentingan yang mencakup perubahan unsur-unsur kelembagaan (Batas Juridiksi, Property Right dan Aturan Representatif) untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari situasi yang sudah terjadi selama ini dalam pengelolaan TNGR.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88642
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File SizeFormat 
2017aci.pdf
  Restricted Access
42.23 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.