Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82378
Title: Biosistematika Jenis-Jenis Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna
Authors: Chikmawati, Tatik
Rifai, Mien A
Ariyanti, Nunik Sri
Muzzazinah
Keywords: Bogor Agricultural University (IPB)
Issue Date: 2016
Publisher: IPB (Bogor Agricultural University)
Abstract: Marga Indigofera merupakan salah satu sumber pewarna biru alami untuk batik dan tenun. Jumlah jenis marga ini mencapai 750–780 di dunia. Jenis yang sering dimanfaatkan sebagai sumber pewarna biru oleh pembatik dan penenun di Indonesia, yaitu I. tinctoria. Warna biru yang dihasilkan daun Indigofera berasal dari senyawa glukosida yang disebut indikan. Namun, keberadaan indikan dalam daun hingga kini belum dapat dikenali dari ciri morfologi. Ciri Indigofera perlu digali untuk keperluan praktis mengenali Indigofera yang mengandung indikan dalam jumlah tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memutahirkan data keberagaman jenis Indigofera, memetakan persebaran Indigofera pewarna di Indonesia, menganalisis kuantitas dan kualitas indikan dan indigo dari Indigofera penghasil pewarna, dan menganalisis keberagaman berdasar ciri morfologi dan marka molekuler pada I. tinctoria. Indigofera dieksplorasi dari lima pulau yaitu P. Samosir, P Jawa, P. Madura, P. Lombok dan P. Flores. Pengamatan morfologi dilakukan terhadap 216 individu yang dikoleksi dari lima pulau tersebut dan 630 lembar spesimen herbarium koleksi di Herbarium Bogoriense dengan menggunakan ciri morfologi. Keberadaan indikan pada 9 jenis Indigofera diuji dengan percobaan perendaman, kualitas warna diuji dengan ketahanan luntur warna. Plastisitas ciri dianalisis dengan percobaan penanaman di lahan percobaan di Magelang dan Cikabayan IPB. Kuantitas indikan diukur dengan HPLC. Sebaran Indigofera pewarna dipetakan dengan ArcGIS 10.1 Korelasi ciri morfologi dengan kandungan indikan dianalisis dengan SPSS. Keberagaman genetik I. tinctoria dianalisis berdasarkan ciri morfologi dan molekular dengan marka simple sequence repeat (SSR). Berdasarkan revisi terakhir pada tahun 1984 tercatat 39 jenis dan lima anakjenis Indigofera dijumpai di Asia Tenggara, 17 jenis dan satu anakjenis di Indonesia, dan 16 jenis dan satu anakjenis di P. Jawa. Eksplorasi Indigofera Indonesia akhir akhir ini (2015) berhasil menemukan kembali dan mengoleksi 9 jenis, termasuk I. longeracemosa yang tercatat dalam Flora of Java (1963) tetapi tidak tercantum dalam revisi Indigofera Asia Tenggara. Laporan dan koleksi I. longeracemosa dari P. Jawa ini menambahkan satu jenis Indigofera menjadi 17 di P. Jawa, 18 di Indonesia, dan 40 jenis di Asia Tenggara. Analisis kualitatif terhadap sembilan jenis Indigofera dari koleksi lapangan berhasil mengidentifikasi empat jenis penghasil warna biru yaitu I. arrecta, I. longiracemosa, I. suffruticosa, and I. tinctoria. Indikator keberadaan indikan pada daun ditandai dengan berubahnya warna air rendaman daun menjadi hijau tua, permukaan atas rendaman berbuih dan berbau tajam setelah percobaan perendaman. Uji kualitas indigo terhadap empat jenis tersebut menunjukkan keempat jenis menghasilkan warna biru dengan kualitas baik yang memenuhi syarat kualitas warna sesuai SNI ditandai nilai 4–5 pada 4 kualitas yang diuji, yaitu ketahanan luntur warna terhadap pencucian 40 0C, keringat asam dan basa, sinar terang dan penekanan panas. Secara morfologi, empat jenis Indigofera pewarna akan mudah diidentifikasi dari ciri permukaan atas maupun bawah daun kering yang berwarna keabu-abuan sampai abu-abu gelap. Indigofera pewarna tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 0–2400 m dpl dengan kondisi tanah subur sampai tanah kering, pH asam sampai basa 6.24–8.9, suhu udara 18 0C sampai 310C, kelembapan rendah sampai tinggi 64–95%, intensitas cahaya tinggi 125–1371Lux dan curah hujan 0–109.4 mm. Jenis yang mampu dan bertahan pada ketinggian 2400 m dpl adalah I. arrecta, sedangkan tiga jenis lainnya lebih mudah dijumpai pada dataran rendah dan mendekati pantai. Uji penanaman di kebun koleksi di Magelang menunjukkan hasil indikan berbeda nyata antarjenis, dan penanaman pada lahan percobaan di Cikabayan IPB menunjukkan hasil indikan pada I. longeracemosa lebih tinggi dibandingkan ketiga jenis yang lain. Indigofera arrecta memiliki kandungan indikan tertinggi dari hasil eksplorasi lapangan, sedangkan I. longeracemosa memproduksi indikan tertinggi pada hasil tanam di lahan percobaan di Magelang dan Cikabayan. Kandungan indikan tertinggi dicapai ketika tanaman berumur 124 hari. Pada daun muda dan daun tua, kandungan indikan pada I. longeracemosa dan I. suffruticosa lebih tinggi dari I. arrecta dan I. tinctoria. Pada percobaan di Magelang, kandungan indigo tertinggi dihasilkan oleh I. suffruticosa, sedangkan pada hasil tanam di Cikabayan kandungan indigo tertinggi dihasilkan oleh I. longeracemosa. Tanaman berumur 210 hari memproduksi indigo tertinggi dibandingkan tanaman umur 124 dan 144 hari. Dengan demikian, perbedaan kandungan indikan dari lapangan diduga dipengaruhi adanya variasi lingkungan tempat tumbuh Indigofera pewarna, seperti suhu udara, kelembapan, intensitas cahaya, kandungan hara tanah, dan pH tanah. Penanaman empat jenis Indigofera pewarna di lahan Cikabayan IPB menunjukkan I. longeracemosa memiliki ciri agronomi paling baik, dengan jumlah cabang, diameter tajuk, dan berat basah tertinggi dibandingkan dengan tiga jenis lainnya. Jenis I. longeracemosa juga menghasilkan indikan dan indigo tertinggi. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian ini I. longeracemosa memiliki potensi sebagai tanaman pewarna yang lebih baik dibandingkan tiga jenis lainnya, termasuk I. tinctoria yang selama ini sudah digunakan oleh pembatik dan penenun di Indonesia. Analisis morfologi yang dilakukan terhadap I. tinctoria menunjukkan adanya tingkat keserupaan yang rendah (0.31) antara populasi I. tinctoria dari P. Flores, P. Jawa dan P. Madura. Berbeda dengan analisis keberagaman morfologi, tingkat keserupaan genetik berdasar marka SSR jauh lebih tinggi yaitu 0.68, yang berarti I. tinctoria memiliki keberagaman genetik yang rendah (32%) antar populasi. Dengan demikian, perbedaan ciri morfologi yang tampak antara individu I. tinctoria lebih besar disebabkan oleh lokasi tumbuh (lingkungan) yang berbeda. Meskipun topologi dendrogram berbeda, I. tinctoria cenderung mengelompok berdasarkan asal lokasi baik berdasarkan ciri morfologi maupun molekular. Dendrogram berdasarkan marka SSR cenderung kongruen dengan dendrogram berdasarkan ciri morfologi, akan tetapi pembentukan kategori infrajenis dalam I. tinctoria belum bisa dilakukan mengingat plastisitas ciri morfologi jenis ini cukup tinggi. Oleh karena itu, dugaan infrajenis untuk populasi asal P. Flores harus dikuatkan dengan data tambahan.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82378
Appears in Collections:DT - Mathematics and Natural Science

Files in This Item:
File SizeFormat 
2016muz.pdf
  Restricted Access
45.23 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.