Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/78658
Title: Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan Dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat
Authors: Asmarantaka, Ratna Winandi
Baga, Lukman M
Nasution, Amelira Haris
Issue Date: 2015
Publisher: Bogor Agricultural University (IPB)
Abstract: Gambir adalah salah satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi komoditas ekspor Indonesia dan diperdagangkan dalam bentuk getah. Sumatera Barat merupakan sentra gambir terbesar di Indonesia dengan Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar (69.75%). Beberapa kajian menggambarkan bahwa pemasaran gambir tidak efisien akibat tertutupnya informasi harga serta dominasi pedagang perantara akibat ketergantungan petani dalam hal modal untuk pengolahan gambir, sehingga mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani. Untuk meningkatkan posisi tawar petani diperlukannya pendirian kelembagaan ataupun penguatan kelembagaan yang telah ada. Oleh karena itu, perlu dianalisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir agar dapat meningkatkan bargaining power petani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, 2) Menganalisis peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan 3) Merumuskan alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 7. Kelembagaan pemasaran yang bergerak dalam pengolahan dan pemasaran gambir adalah pedagang perantara yang terdiri dari: penyalur, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir. Analisis fungsi pemasaran menunjukkan bahwa pada bidang pemasaran, peran kelembagaan pemasaran relatif lebih dominan dibandingkan peran kelembagaan tingkat petani sehingga petani cenderung berada pada posisi tawar yang lemah. Meskipun 33.33% petani menunjukkan kerjasama dengan kelembagaan pemasaran. Namun kerjasama yang terbentuk adalah kerjasama yang menguntungkan pedagang tetapi kurang menguntungkan petani akibat posisi petani menjadi supplier pedagang dengan ketentuan harga yang cenderung tidak bersaing dan hasil produksi gambir yang harus disesuaikan dengan permintaan pedagang perantara. Disisi lain, petani juga memiliki ketergantungan modal pengolahan kepada pedagang perantara, sehingga pedagang perantara memiliki kekuatan untuk penentuan hasil produksi gambir dalam kegiatan pengolahan gambir. Berdasarkan analisis identifikasi struktur pasar ditemukan bahwa pasar gambir mengarah kepada monopsoni dari sisi pembeli, dengan adanya hambatan untuk keluar masuk pasar gambir. Hal ini diperburuk dengan kondisi kelembagaan tingkat petani yang belum mampu berperan dalam pemasaran gambir. akibatnya dalam pemasaran gambir petani memilih untuk memasarkan gambir melalui saluran yang relatif tidak efisien (54.84% di Kecamatan Kapur IX dan 77.14% di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau) dengan total margin pemasaran gambir yang relatif tinggi dan share harga yang relatif rendah (total margin pemasaran = Rp 13 667.22 dan Rp 11 552.06; farmer’s share = 58.01% dan 69.06%). Analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa tidak terintegrasinya antara pasar acuan dan pasar lokal yang disebabkan oleh tidak tertrasmisikannya informasi harga gambir dari pasar acuan ke pasar lokal, sehingga perubahan harga gambir pada pasar acuan tidak mempengaruhi pasar lokal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IMC yang lebih dari 1 dan nilai b2 yang tidak mendekati 1. Dalam jangka panjang harga gambir ditingkat pedagang besar, memiliki korelasi dengan harga gambir ditingkat eksportir namun informasi harga tidak tertransmisi, sehingga kecenderungan adanya kolusi pada jangka panjang semakin besar. Hal ini diperkuat dengan struktur pasar yang monopsoni dan posisi pedagang pungumpul dan pedagang besar sebagai kaki tangan lembaga pemasaran diatasnya (eksportir). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya market power yang dimiliki kelembagaan pemasaran (dalam hal ini pedagang perantara) dalam pemasaran gambir melalui pembuatan jaringan pemasaran yang kuat. Pada akhirnya, kondisi ini menyebabkan petani tidak memiliki akses dan kesempatan untuk menjual gambir kepada pihak-pihak yang dianggap lebih menguntungkan. Oleh karena itu, untuk menanggulangi hal ini sangat dibutuhkan penguatan dan pembentukan kelembagaan yang berpihak pada petani gambir seperti asosiasi, koperasi ataupun kelompok tani. Hasil penelitian yang menunjukkan belum adanya peran kelembagaan tingkat petani dalam meningatkan bargaining power petani, sehingga menyebabkan peran kelembagaan pemasaran lebih dominan dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dengan memperkuat intelegen pasar gambir melalui perbaikan pusat informasi harga dan ekspor gambir serta melakukan kegiatan promosi untuk mendapatkan pasar baru. Alternatif kebijakan pada kelembagaan tingkat petani dapat dilakukan melalui perbaikan akses permodalan serta mengimbangkan peran anak kampo dan petani melalui upaya peningkatan kemampuan petani dalam pengolahan gambir dengan sistem kerjasama yang saling menguntungkan.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/78658
Appears in Collections:MT - Economic and Management

Files in This Item:
File SizeFormat 
2015ahn.pdf
  Restricted Access
40.9 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.