Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/77400
Title: Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur
Authors: Kartodihardjo, Hariadi
Nugroho, Bramasto
Suharjito, Didik
Purnama, Boen M
Maryani, Retno
Issue Date: 2015
Publisher: IPB (Bogor Agricultural University)
Abstract: Peran institusi dalam menentukan kelestarian sumberdaya alam dipertanyakan dengan meningkatnya laju deforestasi yang berlangsung di saat krisis ekonomi tahun 1996 dan berlanjut dengan reformasi politik di tahun 1999. Laju deforestasi, yang dilaporkan stabil dengan rata-rata 1,86 juta hektar selama 12 tahun dari 1986 hingga 1996, meningkat hingga mendekati tiga juta hektar dengan adanya konversi hutan menjadi non-hutan dalam kurun waktu tiga tahun. Situasi krisis ekonomi yang berlanjut dengan reformasi politik diduga mempengaruhi stabilitas institusi yang mengendalikan kebijakan pengelolaan hutan dan pelaksanaannya di lapangan. Penelitian ini bermaksud melakukan eksploratori faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas institusi dalam mewujudkan kelestarian hutan, melalui empat tahapan analisis sebagai berikut, yaitu: (1) menganalisis perubahan tutupan lahan berhutan menjadi non-hutan, (2) menganalisis faktor penyebab dari terjadinya perubahan tutupan lahan tersebut, (3) menganalisis kebijakan pengelolaan hutan yang mempengaruhi terjadinya perubahan tutupan lahan, (4) Mendiskusikan implikasi dari pembaharuan undang-undang Pemerintahan Daerah terhadap upaya untuk melestarikan hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dengan mempertimbangkan karakteristik sumberdaya hutan yang menghasilkan berbagai macam manfaat guna memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, serta mempertimbangkan karakter pengguna hutan yang memiliki berbagai kepentingan terhadap sumberdaya hutan. Jenis data yang digunakan bersifat kuantitatif dan kualitatif yang bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data kuantitatif dalam bentuk Citra Landsat TM7 bersumber dari Kementerian Kehutanan digunakan untuk menghitung luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan dan dianalisis secara spasial dengan menggunakan prosedur baku SNI 8803:2014 (Anonimus 2014). Penyebab pembukaan hutan ditelusuri dengan menggunakan metode snowballing, untuk mengetahui aktor, kelompok pengguna hutan, yang berdasarkan kepentingannya dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: pemerintah, non-pemerintah atau organisasi sipil masyarakat, pengusaha serta kelompok masyarakat setempat (Grimble dan Wellard 1997). Wawancara mendalam dengan aktor yang dilengkapi dengan pengamatan terlibat dilakukan untuk mengetahui terjadinya perubahan kondisi hutan serta perubahan pengelolaan hutan dari pandangan aktor yang mencerminkan realitas sosial (Suhardjito 2014). Analisis aktor menggunakan teori akses untuk mengetahui sumberdaya aktor dalam bentuk a.l kedudukan sosial, finansial, identitas, pengetahuan, dan teknologi yang digunakan untuk memperoleh, mempertahankan, mengendalikan kontrol terhadap penggunaan dan manfaat dari hutan (Ribot dan Peluso 2003). Realitas sosial yang dipahami oleh aktor divalidasi dengan data sekunder guna menjelaskan efektivitas kebijakan pengelolaan hutan. Sumber data sekunder adalah peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program kehutanan, laporan kegiatan dan evaluasi yang merefleksikan aturan formal tentang pengelolaan hutan. Hubungan antara perkembangan institusi dengan meluasnya pembukaan hutan didiskusikan dengan mengemukakan kenyataan empiris tentang elemen institusi yang menentukan kelestarian hutan. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa lahan berhutan yang menutupi kabupaten Paser berada di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Pembukaan hutan sebelum tahun 2000 berlangsung di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Hutan di kawasan konservasi dibuka menjadi tambak, sedangkan hutan di kawasan hutan produksi dibuka menjadi belukar dan hutan yang diluar kawasan dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan berlanjut setelah tahun 2000, yang mengakibatkan meluasnya tambang di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Penyebab pembukaan hutan di kabupaten Paser ada tiga, yaitu: (1) kawasan hutan digunakan untuk mengembangkan investasi berbasis sumberdaya lahan; (2) hutan ditransaksikan untuk berbagai kepentingan; (3) Situasi kaotik pengelolaan hutan dengan terbukanya jejaring organisasi di masyarakat. Hutan digunakan untuk memenuhi kepentingan yang beragam dan divergent, bersifat short sighted atau borientasi ekonomi jangka pendek, serta beresiko tinggi. Re-formulasi aturan pengelolaan hutan (reformed rules) belum ter-internalisasi ke dalam praktek sehari-hari sedangkan aturan yang lama tidak dipatuhi dan kehilangan legitimasinya. Hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan kepentingan untuk menggunakan hutan yang beragam serta berkembang. Penggunaan hutan yang awalnya untuk produksi kayu dan non-kayu menjadi sarana untuk membuka isolasi pemukiman, membangun infrastruktur, membuka lapangan kerja serta mengembangkan usaha dan juga membangun kekuasaan politik serta memekarkan wilayah administrasi. Pengguna hutan yang awalnya pengusaha besar dengan ijin dari pusat, bertambah dengan pengusaha lokal dan masyarakat adat dengan ijin dari kabupaten. Hak untuk memanfaatkan hasil hutan yang diberikan oleh pemerintah menghadapi persoalan akses yang dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan, teknologi dan kemampuan finansial, ataupun posisi di masyarakat dalam mengelola hutan. Akibatnya, lahan berhutan yang awalnya mendominasi lanskap di Kabupaten Paser menjadi semakin berkurang luasnya, digantikan dengan tutupan lahan non-hutan yang semakin meningkat luasnya. Kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan jejaring kekuasaan yang berkembang untuk menguasai manfaat dari hutan. Ill-defined property rights mempengaruhi berlanjutnya pembukaan hutan di masa desentralisasi, yang ditunjukkan melalui de jure aturan formal tentang pengertian hutan dan penunjukkan serta penetapan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan de facto penggunaan lahan di lapangan (Nugroho 2013). Pembaharuan aturan penyelenggaraan negara melalui UU no 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah membuka peluang (window of opportunity) bagi sektor kehutanan untuk mewujudkan kelestarian hutan sekaligus kemakmuran rakyat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa stabilitas politik dan ekonomi di tingkat nasional mempengaruhi laju kerusakan hutan di tingkat lokal. Hasil penelitian ini merekomendasikan agar kebijakan pengelolaan hutan diarahakan untuk mengakomodasi berkembangnya informasi dan organisasi pengelolaan hutan, serta menggalang aksi kolektif guna melestarikan hutan.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/77400
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File SizeFormat 
2015rma.pdf
  Restricted Access
23.56 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.