Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/77321
Title: Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata Di Taman Nasional Bunaken
Authors: Muntasib, Endang Koestati Sri Harini
Kartodihardjo, Hariadi
Soekmadi, Rinekso
Santoso, Heri
Issue Date: 2015
Publisher: IPB (Bogor Agricultural University)
Abstract: Kegiatan pariwisata alam di Taman Nasional Bunaken (TNB) sudah ada sejak sebelum penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan telah berkembang melalui kegiatan pariwisata alam. Banyak pemangku kepentingan terlibat dalam pengembangan pariwisata alam di TNB, baik pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pihak lainnya. Bahkan para pemangku kepentingan tersebut telah pernah melakukan kegiatan koordinasi dalam suatu lembaga Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB) yang merupakan lembaga yang muncul dari para pemangku kepentingan untuk secara bersama mengelola wisata alam di TNB. Pada tahun 2011 pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata) mengembangkan suatu bentuk manajemen destinasi yang disebut Destination Management Organization Bunaken (DMOB). Mekanisme hubungan para pemangku kepentingan dan implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam serta kinerja kedua lembaga yang ada perlu dilakukan suatu telaah lebih lanjut untuk bisa dikembangkan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Sehubungan dengan itu diperlukan penelitian tentang tata kelola pariwisata yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lokasi studi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB, 2) mengevaluasi proses implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam dalam rangka pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, 3) mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB, dan 4) menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Kajian peranan dan kebutuhan pemangku kepentingan mengidentifikasi 17 pemangku kepentingan yang terdiri dari kelompok pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, akademisi dan kelompok lainnya. Peranan para pemangku kepentingan terbanyak dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB sebagai key players, diikuti subjects, lalu context setters, dan terakhir crowd. Banyaknya para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key players menunjukkan para pemangku kepentingan banyak yang berperan aktif dalam tata kelola pariwisata di TNB. Peranan yang aktif ditunjukkan dalam pelaksanaan tugas pokok, kewenangan, dan fungsi dari para pemangku kepentingan. Hubungan antara pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB berupa hubungan koordinasi, kerjasama dan potensi konflik. Kebutuhan dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, yaitu: pemahaman pemangku kepentingan tentang TNB dan pengelolaannya serta ketentuan peraturan perundangan yang mengatur pengembangan pariwisata di kawasan konservasi, koordinasi dan komunikasi di tingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang pengembangan tata kelola TNB, serta implementasi dan sinkronisasi (keterpaduan) kegiatan dan program pengembangan pariwisata di TNB dari para pemangku kepentingan. Peranan yang aktif dan kebutuhan para pemangku kepentingan dapat dipenuhi melalui koordinasi yang lebih intensif dalam menunjang pengelolaan TNB. Peraturan perundangan pemanfaatan pariwisata alam di kawasan konservasi yang dikaji dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan sebagai pengatur dan pengendali perilaku para pemangku kepentingan secara hierarki. Peraturan pemanfaatan pariwisata alam juga telah memenuhi kecukupan isi yang dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana. Namun dalam implementasinya peraturan pemanfaatan pariwisata alam belum mendapat respon positif dari pelaksana peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Tingkat pemahaman dan pelaksanaan dari peraturan perudangan pemanfaatan pariwisata alam yang masih kurang menjadi hal yang mendasari kurangnya respon positif dari pelaksana peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Situasi ini jika dibiarkan berlangsung terus menerus maka fungsi peraturan perundangan pemanfaatan pariwisata alam sebagai pengatur dan pengendali perilaku para pemangku kepentingan di TNB tidak akan terwujud. DPTNB yang merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan keinginan dari daerah menunjukkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pariwisata yang lebih baik dibanding lembaga DMOB yang merupakan lembaga bentukan pusat. Prinsip-prinsip tata kelola pariwisata meliputi dimensi legitimasi, transparansi, akuntabilitas, inklusifitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan. Hasil penilaian kinerja lembaga DPTNB yang terendah adalah menyangkut daya tahan yang sangat ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi, melihat dan merespons ancaman, dan memiliki kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya kehidupan organisasi. Faktor pengungkit terbesarnya adalah sumber daya manusia, sehingga bagi lembaga DPTNB dapat meningkatkan daya tahannya dengan lebih meningkatkan pula kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya. Hasil penilaian kinerja DMOB yang terendah adalah akuntabilitas. Akuntabilitas menyangkut penerimaan tugas dan tanggung jawab dan kemampuan untuk melaksanakannya. Faktor pengungkit terbesar dari dimensi tersebut adalah tanggung jawab pada atasan, sehingga lembaga DMOB dapat meningkatkan akuntabilitasnya dengan lebih meningkatkan pula tanggung jawab pada atasan. Model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB yang dihasilkan memberikan tiga skenario pengembangan, yaitu pengembangan lembaga DPTNB, penggabungan dua lembaga DPTNB dan DMOB serta pengembangan lembaga KPHK TNB. Skenario pertama merupakan pengembangan lembaga yang sudah ada, yaitu DPTNB. Kelebihan skenario pertama adalah DPTNB bersumber dari keinginan para pihak di daerah (bottom up). Kekurangannya adalah keanggotaannya yang terbatas hanya 15 instansi. Skenario kedua merupakan penggabungan lembaga DPTNB dan DMOB. Kelebihan skenario kedua adalah mengingat kedua lembaga sudah ada sebelumnya dengan keanggotaan masingmasing sehingga relatif lebih sederhana dan lebih banyak jaringan/dukungan. Kekurangannya belum memiliki dasar peraturan perundang-undangan untuk penggabungannya, mengingat status lembaga yang berbeda (pusat dan daerah). Skenario ketiga merupakan pengembangan lembaga KPHK TNB. Kelebihan skenario ketiga adalah secara operasional BTNB dipandang sebagai KPHK TNB sehingga KPHK TNB telah memiliki arahan yang jelas. Kekurangannya adalah KPHK TNB belum dipahami secara konseptual oleh para pemangku kepentingan di daerah Sulawesi Utara.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/77321
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File SizeFormat 
2015hsa.pdf
  Restricted Access
36.93 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.