Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/75170
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorZ. Siregar, Iskandar
dc.contributor.advisorKhumaida, Nurul
dc.contributor.advisorSiregar, Ulfah J.
dc.contributor.advisorMansur, Irdika
dc.contributor.authorSudrajat, Dede Jajat
dc.date.accessioned2015-05-19T07:15:44Z
dc.date.available2015-05-19T07:15:44Z
dc.date.issued2015
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/75170
dc.description.abstractJabon [Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser, sinonim Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq., Anthocephalus chinensis (Lamk.), famili Rubiaceae)] merupakan jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan dapat dikategorikan jenis multiguna. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan kayu lapis, konstruksi, pulp, furnitur, papan serat, dan papan partikel, sedangkan bagian tanaman lainnya dapat digunakan sebagai bahan parfum dan obat-obatan. Jenis ini mempunyai sebaran tumbuh yang luas dan ditemukan hampir di seluruh pulau di Indonesia yang memberi indikasi bahwa jenis ini mempunyai keragaman genetik dan daya adaptasi tinggi. Pada saat ini jabon memegang peran penting dalam sistem budidaya tanaman hutan baik secara komersial maupun tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Tingginya minat masyarakat terhadap budidaya jabon ini belum didukung oleh ketersediaan benih bermutu sehingga inisiasi program pemuliaan untuk menghasilkan benih bermutu melalui eksplorasi materi genetik, kajian keragaman, pembangunan populasi pemuliaan, dan uji adaptasi sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman morfologi, genetik dan daya adaptasi provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 tujuan sebagai berikut: (1) mengkarakterisasi keragaman tapak, buah, benih dan bibit dari beberapa populasi jabon; (2) mengkuantifikasi keragaman morfologi bibit dan genetik berdasarkan penanda Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) beberapa famili jabon; (3) mengidentifikasi parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon di dua lokasi, yaitu Limbangan, Garut dan Parungpanjang, Bogor; dan (4) mengkaji kemampuan adaptasi bibit jabon dari beberapa provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Hasil sub penelitian 1 yang menggunakan 11 populasi jabon yang tersebar di Sumatera (3 populasi), Jawa (3 populasi), Kalimantan (2 populasi), Sulawesi (2 populasi) dan Sumbawa (1 populasi) menunjukkan bahwa jabon mempunyai karagaman karakteristik tempat tumbuh yang sangat luas. Jenis ini mampu tumbuh baik pada kisaran ketinggian tempat 23 m dpl sampai 628 m dpl, tipe iklim A hingga E (Schmidt dan Ferguson) dengan kisaran pH tanah 4.4 hingga 6.7 dan tingkat kesuburan tanah rendah hingga tinggi. Secara evolusi perbedaan karakteristik iklim dan tapak ini mempengaruhi keragaman genetik jabon, termasuk karakteristik morfofisiologi benih dan bibit yang menunjukkan perbedaan nyata antar populasi. Sebagian besar karakter benih dan bibit yang diamati tidak berkorelasi dengan faktor-faktor geoklimat. Koefisien keragaman genetik untuk semua parameter buah, benih, dan bibit ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman lingkungan. Begitu juga dengan nilai heritabilitas dalam arti luas yang tinggi yang memberi indikasi tingginya kontribusi komponen genetik terhadap total keragaman untuk karakter-karakter morfofisiologi benih dan bibit. Karakter berat buah, daya berkecambah, kecepatan berkecambah, tinggi dan indeks kekokohan bibit memiliki nilai heritabilitas dan kemajuan genetik tinggi sehingga dapat digunakan sebagai indikator untuk seleksi populasi terbaik. Analisis komponen utama atau principal component analysis (PCA) dan klaster hirarki pada berbagai karakter buah, benih dan bibit membentuk 4 kelompok populasi. Konsep provenansi dapat digunakan dalam menjelaskan pengelompokan populasi dalam studi ini. Grup 1 (Kapuas dan Batu Licin), grup 2 (Gowa dan Pomalaa) dan grup 4 (Rimbo Panti) diduga merupakan provenansi yang asli (true provenance) seperti yang dikelompokan berdasarkan asal geografisnya. Sementara, grup 3 (Kampar, Ogan Komering Ilir (OKI), Garut, Nusa Kambangan, Alas Purwo dan Batu Hijau) berisi campuran dari beberapa provenansi, yang memberi indikasi keberadaan populasi tersebut telah tercampur sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan reforestasi di pulau Jawa, Sumatera dan Sumbawa. Pada tingkat famili, keragaman dianalisis dengan menggunakan 31 famili dari 4 populasi yang mewakili 4 pulau berbeda, yaitu populasi Kampar (Sumatera), Nusa Kambangan (Jawa), Kapuas (Kalimantan) dan Pomalaa (Sulawesi). Hasil penelitin ini menunjukkan bahwa karakter-karakter morfologi bibit jabon mempunyai perbedaan yang nyata. Koefisien keragaman genetik aditif morfologi bibit berkisar antara 16.16% (jumlah daun) dan 32.39% (indeks kekokohan). Nilai heritabilitas berkisar 0.44 untuk tinggi bibit dan 0.95 untuk diameter bibit. Tingkat keragaman genetik berdasarkan morfologi bibit dan analisis AFLP memberi indikasi populasi Kampar memiliki keragaman yang lebih rendah dibandingkan 3 populasi lainnya. Analisis AFLP menunjukkan keragaman genetik tertinggi dideteksi pada populasi Kapuas (He = 0.3339, I = 0.4894) yang diikuti oleh populasi Pomalaa (He = 0.2270, I = 0.3394) dan Nusa Kambangan (He = 0.1940, I = 0.2904). Keragaman genetik antar populasi berdasarkan enam karakter morfologi bibit dapat dikategorikan sedang sampai tinggi (Qst = 0.14 - 0.45). Kecenderungan yang sama diamati dengan analisis AFLP yang menunjukkan nilai keragaman yang relatif tinggi (Gst = 0.2707). Klaster berdasarkan karakter morfologi dan dendrogram unweighted pair group method using aritmetic average (UPGMA) berdasarkan AFLP menunjukkan pola yang mirip. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa keragaman genetik jabon terstruktur berdasarkan asalnya dan jumlah populasi yang lebih banyak sebaiknya disampling untuk meningkatkan keragaman genetik. Hasil analisis keragaman ini digunakan sebagai dasar untuk pemilihan famili dan pembuatan desain penanaman pada uji provenansi keturunan. Uji provenansi-keturunan yang dibangun dari 105 famili dari 12 populasi (tambahan 1 populasi dari Papua) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar provenansi dan antar famili di dalam provenansi pada kedua tapak (Limbangan dan Garut), kecuali untuk parameter diameter pada tapak Parungpanjang. Evaluasi komponen ragam menunjukkan bahwa provenansi memberi kontribusi lebih besar (0.5% sampai 1.7%) terhadap total keragaman dari pada pengaruh famili di dalam provenansi (0.4% sampai 0.6%). Korelasi genetik antara tinggi dan diameter tanaman menunjukkan nilai yang rendah sampai sedang. Heritabilitas famili relatif lebih besar dibandingkan dengan heritabilitas individu sehingga seleksi famili akan menyumbang perolehan genetik lebih tinggi. Namun, bagaimana pun juga, nilai kedua heritabilitas masih dikategorikan rendah sampai sedang sehingga kombinasi seleksi akan lebih efektif untuk memperbaiki pertumbuhan jenis ini. Seleksi juga harus menunggu nilai heritabilitas yang relatif stabil sehingga didapatkan nilai perolehan genetik yang optimum. Umumnya untuk jenis cepat tumbuh, nilai heritabilitas tersebut dicapai pada umur tanaman 2-3 tahun. Uji daya adaptasi bibit jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air yang menggunakan provenansi yang sama dengan sub penelitian 3 menunjukkan bahwa respon adaptif bibit jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air dipengaruhi oleh provenansi. Cekaman kekeringan dan genangan air secara nyata menghambat pertumbuhan bibit, mempengaruhi akumulasi dan alokasi berat kering, menurunkan luas daun dan kandungan klorofil, meningkatkan kandungan karoten, dan mengakumulasi prolina. Kadar air relatif dan luas daun spesifik cenderung lebih tinggi pada cekaman genangan air dan menurun pada cekaman kekeringan. Hasil ini secara jelas memberi indikasi bahwa bibit jabon lebih adaptif terhadap cekaman genangan air dari pada terhadap cekaman kekeringan. Provenansi Kampar, OKI, Gowa dan Kuala Kencanamenunjukkan pertumbuhan yang lebih baik terhadap cekaman genangan air, yang memberi indikasi provenansi-provenansi tersebut cocok untuk disebarkan ke tapak-tapak yang sering mengalami banjir atau genangan air. Sementara, provenansi Gowa, Pomalaa, Kampar dan Batu Hijau memberikan pertumbuhan yang lebih baik, yang memberi indikasi provenansi tersebut mempunyai potensi yang lebih baik ketika ditransfer ke daerah-daerah yang agak kering.en
dc.language.isoid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)
dc.subject.ddcForestryen
dc.subject.ddcSilvikultureen
dc.subject.ddc2014en
dc.subject.ddcGarut-Jawa Baraten
dc.titleKeragaman Populasi, Uji Provenansi dan Adaptasi Jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser).en
dc.subject.keywordNeolamarckia cadambaen
dc.subject.keywordadaptasien
dc.subject.keywordAFLPen
dc.subject.keywordbenihen
dc.subject.keywordbibiten
dc.subject.keywordgenanganen
dc.subject.keywordkekeringanen
dc.subject.keywordkeragaman genetiken
dc.subject.keywordmorfologien
dc.subject.keyworduji provenansi-keturunanen
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
2015djs.pdf
  Restricted Access
Fulltext4.17 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.