Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/74536
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorNugroho, Bramasto
dc.contributor.advisorKartodihardjo, Hariadi
dc.contributor.advisorNurrochmat, Dodik Ridho
dc.contributor.authorJulijanti
dc.date.accessioned2015-03-26T02:57:46Z
dc.date.available2015-03-26T02:57:46Z
dc.date.issued2015
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/74536
dc.description.abstractPenelitian ini mengambil tema tentang komunikasi kebijakan di tingkat pemerintahan. Kasus yang dipilih adalah kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang menurut pengamatan peneliti terdapat hambatan dalam proses komunikasinya. Proses pengambilan keputusan kebijakan kerap kali mengabaikan masalah komunikasi, padahal salah satu sebab kegagalan kebijakan menurut beberapa ahli terkait masalah komunikasi. Kebijakan pembangunan KPH merupakan mandat UU No. 41/1999 yang digulirkan sebagai upaya preventif dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang sebelumnya berorientasi pada pengusahaan hutan. Perjalanan panjang pemahaman konsep/kebijakan KPH yaitu perubahan paradigma pengusahaan hutan ke paradigma pengelolaan hutan, telah mendapatkan bentuknya dengan lahirnya PP No. 6/2007. Namun dalam proses mengkomunikasikan kebijakan KPH ke daerah banyak mengalami kendala terutama terkait dengan adanya kesenjangan pengetahuan konsep (kebijakan) KPH. Hal ini berimplikasi pada lambatnya proses adopsi kebijakan KPH. Lambatnya adopsi kebijakan KPH mengindikasikan adanya hambatan dalam (1) proses komunikasinya, sehingga perlu ditelusuri guna mengetahui (2) faktor-faktor yang memengaruhinya (tujuan antara: internalisasi dan operasionalisasi), sehingga diperlukan (3) strategi-strategi komunikasi guna akselerasi adopsi kebijakan KPH (tujuan utama). Penelitian didekati secara kualitatif dengan pilihan lokasi di KPH Provinsi Lampung (KPHL Batutegi, KPHL Kotaagung Utara, dan KPHP Reg 47 Way Terusan) dan dilaksanakan sejak Oktober 2012-Oktober 2013. Data dan informasi secara keseluruhan dianalisis secara kualitatif. Analisis isi kualitatif digunakan untuk menganalisis proses komunikasi kebijakan KPH dan proses pengambilan keputusan kebijakan KPH oleh Daerah. Proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH dianalisis dengan menggunakan analisis interaksi yang dikembangkan oleh International Development Studies (IDS) melalui tiga kerangka pendekatan yaitu discourse/narrative, actors/networks, dan politics/interest. Analisis interaksi melalui analisis jaringan (logical diffusion) digunakan untuk menganalisis proses internalisasi kebijakan KPH. Strategi komunikasi kebijakan KPH menggunakan analisis situasi selama proses kebijakan berlangsung. Temuan terkait proses komunikasi KPH yaitu (1) masih ada ketidaksepahaman konsep/kebijakan KPH pada tahap internalisasi di Pusat (birokrat, profesional, akademisi), (2) pola komunikasi kebijakan KPH menggunakan model satu arah, (3) sistem komunikasi kebijakan KPH merupakan kombinasi antara sistem difusi terpusat dan terdesentralisasi. Temuan terkait proses internalisasi kebijakan KPH meliputi (1) pola adopsi kebijakan KPH memiliki struktur jaringan komunikasi linier, (2) elit politik daerah (DPRD) berperan besar dalam akselerasi adopsi kebijakan KPH, (3) faktor-faktor yang memengaruhi proses internalisasi kebijakan KPH adalah network, peran agen perubahan yaitu pemimpin opini (KPHL/P, DPRD dan Dinas) dan v profesional, kemauan mengenal dan memahami konsep KPH. Temuan terkait proses operasionalisasi kebijakan KPH yaitu (1) kewenangan yang kurang jelas dan tidak cukup berimplikasi pada legitimasi kebijakan KPH, (2) legitimasi kebijakan KPH terjadi sebagai akibat belum optimalnya proses operasionalisasi KPH, (3) kondisi pemungkin operasionalisasi KPH terkait dengan kapasitas SDM dan efektifitas sistem pengawasan, kelembagaan KPH, sistem informasi dan pengawasan, serta pembiayaan dan sistem penghargaan, (4) proses operasionalisasi kebijakan pembangunan KPH dipengaruhi oleh kejelasan dan ketercukupan kewenangan KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak, legitimasi kebijakan KPH dan hak kelolanya, dukungan stakeholders terkait legalitas dan tindakan, dan adanya hambatan psikologis dan trust. Temuan-temuan penting tersebut mengerucut pada akar masalah komunikasi kebijakan KPH dan akar masalah struktural kebijakan KPH yaitu (1) adanya kesenjangan pengetahuan antara pemerintah, elit politik daerah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap konsep/kebijakan KPH, dan (2) kewenangan KPH yang dapat berimplikasi pada legitimasi kebijakan KPH. Strategi-strategi komunikasi guna mengatasi kedua akar masalah tersebut adalah (1) strategi terkait kognisi stakeholders, (2) strategi promosi kebijakan KPH, (3) memperjelas kewenangan KPH dengan menyusun suatu tata hubungan kerja yang clear, dan (4) strategi mengurangi in-efisiensi dan in-efektifitas institusi. Perlu adanya perubahan orientasi komunikasi kebijakan yang sebelumnya bersifat konvensional menjadi lintas institusi karena kesamaan ideologi politik ternyata telah berimplikasi pada akselerasi proses internalisasi kebijakan KPH (KPHL Kotaagung Utara). Sistem komunikasi kebijakan KPH sebaiknya menggunakan kombinasi sistem difusi terpusat dan terdesentralisasi, karena dalam perkembangannya sistem ini dapat mempercepat proses adopsi kebijakan KPH. Percepatan operasionalisasi KPH dapat terjadi jika ada dukungan yang kuat dari Pemprov/Pemkab beserta jajarannya, sehingga kewenangan KPH dan kejelasan hak kelolanya dapat diterjemahkan dan dipahami dengan baik oleh KPHL/P. Percepatan proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH perlu dipelihara dan diperkuat melalui mobilisasi seluruh potensi sumber daya melalui Sekretariat Bersama baik berupa SDM, dana, pengetahuan, informasi, teknologi, network, dan kelembagaan yang ada untuk berpartisipasi aktif dalam proses tersebut. Kondisi pemungkin operasionalisasi KPH perlu diikuti dengan sistem pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap semua aspek pengelolaan hutan, baik fisik maupun non fisik dengan akuntabilitas publik sebagai tolok ukurnya. Sistem pengawasan ini diberlakukan terhadap ijin-ijin yang sudah ada, lalu lintas alokasi anggaran dan penggunaannya. Konsep pemberdayaan institusi dengan mekanisme reward system dapat dilakukan terhadap (1) alokasi anggaran Bappenas melalui pemberian insentif bertahap berdasarkan kesiapan KPH, (2) dalam konteks kelembagaan secara keseluruhan yaitu melalui penyesuaian-penyesuaian aturan yang terindikasi menghambat operasionalisasi KPH dan hak kelola stakeholders yang berkepentingan dengan sektor kehutanan.en
dc.language.isoid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)
dc.subject.ddcSociologyen
dc.subject.ddcCommunicationen
dc.titleFormulasi Strategi Komunikasi Kebijakan Kehutanan: Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutanen
dc.subject.keywordstrategi komunikasien
dc.subject.keywordproses pengambilan keputusanen
dc.subject.keyworddifusi pengetahuanen
dc.subject.keywordKesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)en
dc.subject.keywordinternalisasien
dc.subject.keywordoperasionalisasien
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
2015jul.pdf
  Restricted Access
Fulltext45.04 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.