Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/71900
Title: Model pengembangan lahan rawa lebak Berbasis sumberdaya lokal untuk peningkatan Produktivitas lahan dan pendapatan petani
Other Titles: Prosiding Seminar Hasil - Hasil Penelitian IPB 2010
Authors: Rois
Sabiham, Supiandi
Las, Irsal
Machfud
Issue Date: 2010
Publisher: bogor agricultural university
Abstract: Pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazemi et al., (2006) menemukan beberapa faktor penyebab lainnya sehingga pengusahaan lahan rawa lebak belum memberikan hasil yang maksimal diantaranya 1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah menghasilkan pendapatan yang tinggi, 2) kurangnya modal, 3) akses teknologi yang rendah, 4) sifat subsisten petani dan 5) berusahatani karena kebiasaan. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan model pengembangan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya, dan Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Hasil analisis usahatani masing-masing tanaman yang diusahakan baik di desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang berturut turut adalah sebagai berikut: [1] tanaman padi nilai R/C ratio 3,30 dan 4.8; [2] tanaman karet nilai B/C ratio 1,03 dan 22,49, dan nilai NPV adalah Rp 18 276 218,10 dan Rp 29 505 242,42; dan [3] tanaman kelapa sawit diperoleh nilai B/C ratio, NPV, dan IRR untuk kedua desa berturut-turut adalah 0,31, Rp 17 664 067,22 dan IRR 30,10%. %. Hasil analisis tersebut, apabila dihubungkan dengan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Luas lahan minimal (Lm) yang harus dipenuhi, maka petani di desa Sungai Ambangah hanya dapat memenuhi sebesar 29,92 persen KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) sekitar 7,15 hektar. Sedangkan untuk petani di desa Pasak Piang dapat memenuhi sebesar 35,70 persen KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) sekitar 6,58 hektar. Selanjutnya, status keberlanjutan untuk lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting di desa Sungai Ambangah diperoleh nilai indeks sebesar 55,15 persen atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00 persen atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Untuk desa Pasak Piang diperoleh nilai indeks sebesar 51,41 persen atau pada kategori cukup berkelanjutan juga untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00 persen atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Dari tiga skenario yang disusun sebagai alternatif pilihan dalam penerapan pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan, dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya lokal di lokasi penelitian, maka skenario yang direkomendasikan dari penelitian ini adalah skenario III baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang dengan berbagai faktor yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Faktor faktor tersebut adalah (1) pertanian terpadu, (2) penggunaan bahan organik, (3) penggunaan pestisida organik, (4) ketersediaan modal usahatani, (5) keberadaan lembaga keuangan mikro, (6) petani dan kelompok tani, (7) transfer informasi antar kelompok tani, (8) dukungan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, (9) pengelolaan pasca panen dan pemasaran hasil.
The exploitation of swamp land is sill left behind compared to the cultivation of dry land or irrigated land. The research by Nazemi at al. (2006) found that there were some factors that make the exploitation of swamp area far from expectation and its yields not maximum, for example 1) the wrong perception of farmers that the farming they are doing now has given high income, 2) a lack of capital, 3) low technological access, 4) characteristics of farmer’s subsistence, 5) tradition-based farming, and 6) plant intensity. This study was aimed to formulate a resources-based swamp land development model to increase land productivity and farmer Income. This research was conducted in the Sub- District of Sungai Ambangah in the District of Sungai Raya, and the Sub-District of Pasak Piang in the District of Sungai Ambawang, in the Regency of Kubu Raya, West Kalimantan Province. The analysis of each crop cultivated in both Sungai Ambangah and Pasak Piang gave the following results respectively for both areas; (1) rice with the R/C ratio of 3.30 and 4.80; (2) rubber with B/C ratio of 1.03 and 22.49 and the NPV values of Rp 18 276 218,10 and Rp 29 505 242,42; and (3) palm with the B/C ratio of 0.31, NPV of Rp 17 664 067,22, and IRR of 30.10% for both regions. These results, if linked to the value of Appropriate Living Needs (ALN) and the minimum land area (ML) that must be fulfilled, indicate that the farmers in Sungai Ambangah could reach only 29.92% of ALN and require a minimum land of about 7.15 hectares; whereas the farmers of Pasak Piang could meet 35.70% of ALN and need a minimum land of approximately 6.58 hectares. Further, the sustainability status for the five dimensions in the existing condition of Sungai Ambangah obtained the index value of 55.15% or the category of sustainable enough for the institutional dimension, while the other four dimensions got the value of less than 50,00%, or categorized as less sustainable. As for the village of Pasak Piang, it got the index value of 51.41% or the category of sustainable enough also for the institutional dimension, whereas the other four dimensions obtained the value of less than 50,00% or considered less sustainable. With the three scenarios as the alternative options in the formulation of models of sustainable swamp land management, and considering the available local resources in the research site, such as costs and benefits, welfare and stability of socio-cultural conditions of local farmers and sustainability of the swamp land ecology, therefore the recommended scenario from this study is Scenario III in both Subdistricts of Ambangah and Pasak Piang with some factors needing improvement and attention, namely (1) integrated agriculture, (2) use of organic matter, (3) use of organic pesticide, (4) the availability of farm capital, (5) the existence of micro finance institutions, (6) active role of agricultural extension agencies, (7) information transfer among farmer groups, (8) support of research institutions and PT, and (9) post-harvest management and marketing of yields.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/71900
Appears in Collections:Research Proceeding

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Rois_dkk_252-253.pdfAbstract62.09 kBAdobe PDFThumbnail
View/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.