Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/55080
Title: Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku
Spatial Distribution, Autecology, and Biodiversity of Sagoo (Metroxylon spp.) in Seram Island, Maluku
Authors: Setiadi, Dede
Guhardja, Edi
Qayim, Ibnul
Prasetyo, Lilik B.
Botanri, Samin
Keywords: distribusi spasial
tipe habitat
komponen abiotik
Metroxylon spp.
P. Seram
Issue Date: 2010
Publisher: IPB (Bogor Agricultural University)
Abstract: Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan palem wilayah tropika basah. Luas potensinya di Indonesia adalah yang terbesar di dunia sekitar 50-60%, memiliki multifungsi bagi masyarakat tetapi pemanfatannya masih kurang. Secara ekologi tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Kisaran habitat tumbuhnya cukup lebar, mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, di dataran rendah, dan pesisir pantai. Pada habitat beragam itu tumbuh berbagai spesies sagu. Di Maluku terdapat lima spesies, yaitu : Metroxylon rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart., dan M. sagu Rottb. Data potensi komoditas ini di berbagai daerah sangat variatif, antara sumber satu dengan yang lain. Berapa besar potensi sagu di P. Seram tidak diketahui secara pasti, kemudian studi mengenai ekologi sagu selama ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk memahami preferensi ekologi dan mengetahui luas potensi sebarannya. Disisi lain masih terdapat perbedaan persepsi mengenai jumlah spesies sagu, sehingga perlu dilakukan klarifikasi. Hasil klasifikasi terbimbing data citra Landsat-5TM tahun 2007 menunjukkan bahwa potensi luas areal sagu di P. Seram Maluku sebesar 18.239,8 ha. Potensi tersebut tersebar di dataran rendah ketinggian ≤250 m dpl, kemiringan lereng datar-curam, dekat pinggir kiri-kanan sungai, dekat pesisir pantai sering berbatasan dengan nipah, pada tanah-tanah aluvium (Entisols dan Inceptisols). Secara umum struktur populasi sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti pola pertumbuhan muda yaitu populasi dengan jumlah individu paling banyak pada fase semai, berkurang secara drastis pada fase berikutnya. Jumlah individu fase semai yang berhasil tumbuh ke fase berikutnya hanya 23,18 %, atau mengalami kematian sekitar 76,82 %. Tinginya tingkat kematian dapat disebabkan karena : 1) sifat pertumbuhan anakan sagu, 2) terjadi persainggan di antara masing-masing individu dalam rumpunnya, 3) rentan terhadap pH rendah, dan 4) mengalami toxic karena konsentrasi Fe dan Al sangat tinggi. Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa spesies sagu menguasai sebagian besar areal lahan habitat dalam komunitas alaminya. Dengan bertambahnya fase pertumbuhan, dominasi spesies sagu ikut meningkat. Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada tipe vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Berdasarkan jumlah individu masing-masing spesies sagu, ditemukan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu paling banyak (99,93 ind/ha) dan INP paling tinggi (129,35 %). Data ini memberikan petunjuk bahwa M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki kerapatan, dominasi, dan frekwensi yang melampaui spesies lain. Secara ekologi merupakan spesies dominan dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %. Tipe habitat sagu yang ditemukan di P. Seram terdiri atas dua kategori yaitu 1) tipe habitat lahan kering, dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa rawa-rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat yang kedua dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi tiga tipe yaitu : 1) habitat tergenang air payau yaitu habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan dengan vegetasi nipah (mangrove), 2) habitat tergenang temporer oleh air hujan yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan, dan 3) habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat yang mengalami genangan pada periode waktu relatif lama, biasanya lebih dari satu bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram, tidak semuanya dapat tumbuh pada setiap habitat. Spesies sagu yang dapat tumbuh dan berkembang pada semua tipe habitat adalah M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., dan M. sylvestre Mart. Dua spesies sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. tumbuh pada habitat terbatas. M. microcanthum Mart. hanya ditemukan tumbuh pada habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies M. sagu Rottb. ditemukan tumbuh di dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Dari tiga spesies sagu yang disebutkan pada bagian awal, M. rumphii Mart. memiliki kemampuan berinteraksi yang sangat kuat. Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasinya, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. memiliki kemampuan adaptasi yang luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga spesies sagu yang lain daya adaptasinya sedang (meso tolerance). Tiga dari empat tipe habitat sagu termasuk kategori tergenang. Habitat tergenang identik dengan kondisi tereduksi, artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen. Pada sisi lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan oksigen untuk respirasi. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, sistem perakaran sagu mengalami modifikasi arah pergerakan. Biasanya muncul akar berukuran kecil dalam jumlah banyak dengan arah gerakan menuju permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas (oxytropisme). Hasil analisis Varians Ratio (VR) menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan) terjadi asosiasi spesies dalam komunitas sagu dengan nilai VR sebesar 0,83. Nilai VR < 1 mengandung makna bahwa asosiasi antara spesies bersifat negatif. Hasil analisis chi-square spesies berpasangan menunjukkan bahwa terdapat asosiasi interspesifik dengan nilai chi-square berkisar antara 4,35–21,03, dan indeks Jaccard rataan 0,14. Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lain. Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh komponen abiotis yang terdiri dari faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap jumlah populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu menunjukkan bahwa variabel iklim, tanah, dan kualitas air rawa berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu, baik bersifat positif atau negatif. Hal ini memberi petunjuk bahwa terdapat sifat-sifat iklim, tanah, dan air yang memberikan pengaruh menguntungkan, sebaliknya ada pula yang bersifat menghambat. Pengaruh suatu parameter yang bersifat menguntungkan (positif) bagi pertumbuhan, tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif bagi produksi, demikian pula sebaliknya. Komponen abiotis yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah faktor kualitas air rawa (10,0 %). Sedangkan faktor tanah merupakan komponen abiotis yang paling bepengaruh terhadap produksi pati sagu, sebesar 60,9 %. Parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing adalah temperatur mikro dan kelembaban mikro. Parameter tanah yang paling berpengruh adalah bulk density dan kemasaman tanah (pH KCl). Dilain fihak salinitas merupakan parameter kualitas air rawa yang paling berpengaruh, baik terhadap pertumbuhan maupun produksi pati sagu. Di P. Seram Maluku terdapat potensi rumpun sagu sebanyak 3,22 juta rumpun sagu dengan jumlah fase pohon sebanyak 1,47 juta batang. Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu diperoleh bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki potensi produksi paling tinggi. Potensi produksi pati sagu M. rumphii Mart. rata-rata mencapai 566,04 kg/batang dan M. sylvestre Mart. 560,68 kg/batang. Sedangkan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb. rata-rata hanya mencapai 245,21 dan 237,22 kg/batang. Hasil analisis isozim menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram Maluku mengelompok membentuk dua pola pita enzim (zimogram). Kelompok pertama M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. microcanthum Mart., menyatu kedalam spesies M. rumphii Mart., sedangkan kelompok kedua spesies M. sagu Rottb.
Sago palm (Metroxylon spp.) is a tropical plant. Its area distribution in Indonesia is the largest in the world, covering 50-60 % of world’s Sago area. It is multifunction plant, however, it is still under utilized. Ecologicaly, sago palm well adapted on fresh water or peat swamp, riverine zone, surrounding water or swamp forests. Unfortunately, there is no any valid information on its area distribution. Moreover, regarding species diversity of Sago is also unclear. Based on the above facts, it is an urgent need to know its ecological aspect, spatial distribution and species diversity. The research was conducted in March to November 2009 at the Seram Island, Maluku. Spatial distribution was developed by Supervised classification of Landsat TM coupled with ground survey to collect Ground Control Points (GCPs) for accuracy assessment. Further field survey was done to collect autecological data. Isozyme analysis was also conducted to identify species diversity. Output supervised classification of Landsat-5TM image in 2007, showed that potential area of sago palm at the Seram Island was 18.239,8 ha. Characteristic of the habitat was distributed in the lowland (elevation less than 250 m asl), flat area, around river, near from beach, and on alluvium soil (sediment). Population structure of sago palm in the nature community follows young growth pattern, in wich rate seedling mortality was about 76,82 %. Regarding the species, M. rumphii Mart. species is the most dominant vegetation which cover 43,3 % of habitat. As adaptation strategy in swampy condition, sago palm form roots which was vertically directed to reach water surface. In sago palm community there was negative interspecific association indicated by Jaccard index less than 0,2. Abiotic component significant effected growth and sago fluor production. The variable that most have significantly effect to growth and sago flour production were micro temperature, micro relative humidity, bulk density, soil acidity, and salinity. The potential clump population at the Seram Island was about 3,2 million clump or approximately of about 1,5 million trunk of trees. M. rumphii Mart. and M. sylvestre Mart. species were the most potential with production capacity of about 566,04 kg starch/trunk and 560,68 kg starch/trunk, respectively. Genetic analysis by isozyme proved that initially known five species of Sago in the Seram Island was actualy only two species, namely Metroxylon rumphii Mart. (concist of M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart, and M. microcanthum Mart.), and Metroxylon sagu Rottb.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/55080
Appears in Collections:DT - Mathematics and Natural Science

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
2010sbo.pdf
  Restricted Access
full text6.39 MBAdobe PDFView/Open
Cover.pdf
  Restricted Access
Cover283.02 kBAdobe PDFView/Open
Abstract.pdf
  Restricted Access
Abstract351.04 kBAdobe PDFView/Open
BAB I Pendahuluan.pdf
  Restricted Access
BAB I330.8 kBAdobe PDFView/Open
BAB II Tinjauan Pustaka.pdf
  Restricted Access
BAB II395.32 kBAdobe PDFView/Open
BAB III Bahan dan Metode.pdf
  Restricted Access
BAB III1.02 MBAdobe PDFView/Open
BAB IV Hasil dan Pembahasan.pdf
  Restricted Access
BAB IV2.9 MBAdobe PDFView/Open
BAB V Kesimpulan dan Saran.pdf
  Restricted Access
BAB V315.42 kBAdobe PDFView/Open
Daftar Pustaka.pdf
  Restricted Access
Daftar Pustaka345.71 kBAdobe PDFView/Open
Lampiran.pdf
  Restricted Access
Lampiran2.46 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.