Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/171488
Title: Rancang Bangun Pengembangan Agroindustri di Pesisir Berkelanjutan Berbasis Komoditas Akuakultur Unggulan dengan Pendekatan Spasial
Other Titles: Designing Sustainable Coastal Agro-industry Development Based on Superior Aquaculture Commodities Using a Spatial Approach
Authors: Bantacut, Tajuddin
Muslich
Syamsu, Khaswar
Kaidah, Sri
Issue Date: 2025
Publisher: IPB University
Abstract: Akuakultur kian menjadi tulang punggung pasokan protein akuatik seiring menurunnya hasil tangkap laut. Terutama pada skala wilayah, subsektor ini strategis karena mencipta nilai tambah, menyerap tenaga kerja, dan menguatkan keterkaitan hulu–hilir. Wilayah pesisir Jawa Barat, pengembangan masih tersendat oleh rantai nilai yang timpang, mutu kontinuitas pascapanen yang belum stabil, konflik ruang, tekanan lingkungan, dan koordinasi kelembagaan yang terfragmentasi. Kesenjangan tersebut menurunkan efisiensi dan daya saing sehingga diperlukan desain agroindustri terintegrasi akuakultur–ekowisata berbasis pendekatan spasial dan keberlanjutan. Desain perencanaan dikembangkan melalui tahapan bertaut penetapan komoditas unggulan, pemetaan lokasi strategis berbasis SIG, penilaian keberlanjutan, hingga penguatan kelembagaan yang terintegrasi secara iteratif guna menghasilkan perencanaan wilayah yang matang, konsisten antar-sektor, dan responsif terhadap dinamika biofisik sosial pesisir. Penelitian ini menetapkan tujuan terhubung dari hulu ke hilir: (i) mengidentifikasi komoditas akuakultur unggulan sebagai basis bahan baku agroindustri; (ii) memposisikan ekowisata sebagai sektor pendukung yang memperkuat nilai tambah hilir dan diversifikasi pendapatan; (iii) memilih lokasi strategis melalui analisis spasial/GIS; (iv) mengevaluasi dan memprediksi tingkat keberlanjutan kawasan terintegrasi; (v) merumuskan penguatan kelembagaan lintas-sektor untuk implementasi kebijakan yang konsisten. Metodologi disusun berlapis dan saling mengikat: penetapan komoditas menggunakan integrasi LQ, DLQ, SSA, MRP, IKS menjadi indeks komposit; seleksi lokasi menggabungkan AHP–SIG serta ADO–ODTWA (Dirjen PHKA, 2003) untuk menilai daya tarik ekowisata; penilaian keberlanjutan memakai RAP-INTAE berbasis MDS; dan desain kelembagaan dikaji melalui SSM, ISM, SAST. Rangkaian ini memastikan konsistensi antara basis bahan baku, kompatibilitas spasial, kinerja keberlanjutan, dan kesiapan kelembagaan. Hasil penetapan komoditas menunjukkan udang sebagai unggulan di Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, sedangkan rumput laut unggul di Bekasi; sejumlah komoditas budidaya air tawar bertindak sebagai pendukung. Analisis lokasi terpadu ADO-ODTWA–AHP–SIG memprioritaskan Pantai Tanjung Pakis (skor tertinggi), diikuti Jembatan Cinta dan Sunge Jingkem. Overlay dengan rencana tata ruang menghasilkan areal potensial ±9.627 ha: kelas S1 (sangat sesuai) ±1.951 ha di Pakis Jaya–Karawang, S2 (sesuai) ±1.743 ha di Tarumajaya–Bekasi, serta ketidakcocokan N1 dominan di Muara Gembong. Fokus investasi diarahkan ke Pakis Jaya dan Tarumajaya untuk mengaitkan budidaya, pengolahan, dan ekowisata. Akses infrastruktur, khususnya kondisi dan kualitas jalan, merupakan faktor strategis dalam pengembangan agroindustri terintegrasi berbasis akuakultur dan ekowisata. Keterbatasan akses di wilayah seperti Muara Gembong dan Muara Beting menjadi hambatan utama dibandingkan Tarumajaya dan Pakis Jaya yang memiliki jaringan jalan lebih memadai. Infrastruktur jalan yang baik tidak hanya menunjang kelancaran logistik dan mobilitas wisatawan, tetapi juga menjadi prasyarat keberhasilan integrasi antarsektor. Jaringan jalan industri berperan vital dalam mendukung distribusi bahan baku, pergerakan tenaga kerja, serta pemasaran hasil produksi. Kekuatan dan kematangan dalam perencanaan infrastruktur harus mempertimbangkan kapasitas dan volume kendaraan guna mengantisipasi kerusakan jalan dan kemacetan. Tingkat aksesibilitas jalan juga berdampak signifikan terhadap efisiensi ekonomi, termasuk penghematan waktu perjalanan, biaya operasional, serta peningkatan efisiensi energi dalam kegiatan industri. Penilaian RAP-INTAE menunjukkan baseline belum optimal: akuakultur 36,85 (kurang berlanjut), agroindustri 53,61 (cukup berlanjut), ekowisata 44,59 (kurang berlanjut), dengan kelayakan model stress < 0,25; R² ˜ 0,86. Skenario bertahap menaikkan indeks ke 50,79–57,73 (akuakultur), 69,12–73,83 (agroindustri), 57,48–63,91 (ekowisata). Penguatan kelembagaan yang menjadi pengungkit utama meliputi koordinasi lintas-pemangku kepentingan (KL4), lembaga pendidikan/pelatihan (KL2), serta regulasi dan dukungan pemerintah (KB3, KB4) yang menjadi prioritas intervensi melalui penguatan koordinasi, pembangunan kapasitas SDM, dan penegasan regulasi. Kebaruan ilmiah (novelty) terletak pada empat aspek: (1) integrasi lima alat (LQ, DLQ, SSA, MRP, IKS) untuk identifikasi komoditas unggulan yang lebih akurat bagi perencanaan agroindustri pesisir; (2) pendekatan spasial berbasis wilayah untuk pemetaan lokasi strategis agroindustri terintegrasi akuakultur–ekowisata yang memasukkan dimensi SDM, aksesibilitas, dan infrastruktur; (3) pengembangan instrumen RAP-INTAE sebagai penilaian/prediksi keberlanjutan spesifik integrasi disertai skenario perbaikan; (4) perumusan strategi penguatan kelembagaan kolaboratif lintas-sektor guna memastikan implementasi kebijakan yang efektif. Implikasinya, pemerintah daerah dan pelaku usaha diarahkan memfokuskan investasi pada zona S1–S2 prioritas, memperkuat pelatihan dan inovasi proses, membentuk forum koordinasi lintas-sektor, dan menyiapkan instrumen kebijakan yang meningkatkan efisiensi sekaligus ketahanan lingkungan–sosial di Bekasi, Karawang, dan pesisir Jawa Barat.
Aquaculture is increasingly the backbone of aquatic-protein supply as marine capture fisheries decline. At the regional scale, the subsector is strategic for value creation, employment, and upstream–downstream linkages. In West Java’s coastal zone, however, development is hindered by value-chain imbalances, unstable post-harvest quality and continuity, spatial-use conflicts, environmental pressures, and fragmented institutional coordination. Addressing these gaps requires an integrated aquaculture–ecotourism agro-industrial design grounded in spatial analysis and sustainability principles. The planning design follows interlinked stages—selection of flagship commodities, GIS-based spatial siting, sustainability assessment/prediction, and institutional strengthening—iteratively integrated to produce mature, cross-sector-consistent, and bio-physical–socially responsive regional planning. The study pursues connected, end-to-end objectives: (i) identify flagship aquaculture commodities as the raw-material base for agro-industry; (ii) position ecotourism as a supporting sector that enhances downstream value and diversifies incomes; (iii) determine strategic locations via spatial/GIS analysis; (iv) evaluate and predict the sustainability level of the integrated zones; and (v) formulate cross-sector institutional strengthening for consistent policy implementation. Methods are layered and mutually reinforcing: commodity determination integrates LQ, DLQ, SSA, MRP, and IKS into a composite index; site selection combines AHP–GIS with ADO–ODTWA (Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, 2003) to assess ecotourism attractiveness; sustainability is assessed using RAP-INTAE based on MDS; and institutional design is examined through SSM, ISM, and SAST. This ensures coherence among raw-material bases, spatial compatibility, sustainability performance, and institutional readiness. Commodity results highlight shrimp as the flagship in Cirebon, Indramayu, Subang, and Karawang, and seaweed in Bekasi, with select freshwater species as supporting commodities. The integrated ADO-ODTWA–AHP–GIS analysis prioritizes Tanjung Pakis Beach (highest score), followed by Jembatan Cinta and Sunge Jingkem. Overlay with spatial plans yields ˜9,627 ha of potential area: S1 (highly suitable) ˜1,951 ha in Pakis Jaya–Karawang, S2 (suitable) ˜1,743 ha in Tarumajaya–Bekasi, and N1 (not suitable) concentrated in Muara Gembong. Investment should focus on Pakis Jaya and Tarumajaya to link farming, processing, and ecotourism. Access to infrastructure, particularly the condition and quality of roads, is a strategic factor in the development of integrated agro-industrial systems based on aquaculture and ecotourism. Limited accessibility in areas such as Muara Gembong and Muara Beting constitutes a major constraint compared to Tarumajaya and Pakis Jaya, which are supported by more adequate road networks. Well-developed road infrastructure not only facilitates the smooth flow of logistics and tourist mobility but also serves as a prerequisite for successful cross-sectoral integration. Industrial road networks play a vital role in supporting the distribution of raw materials, labor mobility, and the marketing of production outputs. Therefore, infrastructure planning must take into account road capacity and traffic volume to anticipate potential damage and congestion. Moreover, road accessibility has a significant economic impact, contributing to travel time efficiency, reduced operational costs, and improved energy efficiency within industrial activities. RAP-INTAE indicates a suboptimal baseline: aquaculture 36.85 (less sustainable), agro-industry 53.61 (fairly sustainable), ecotourism 44.59 (less sustainable); model adequacy stress < 0.25, R² ˜ 0.86. Stepwise scenarios raise indices to 50.79–57.73 (aquaculture), 69.12–73.83 (agro-industry), and 57.48–63.91 (ecotourism). Key levers include multi-stakeholder coordination (KL4), education/training institutions (KL2), and regulation and government support (KB3, KB4) prioritized via coordination strengthening, human-capital development, and regulatory clarification. Novelty is fourfold: (1) a systematic integration of five tools (LQ, DLQ, SSA, MRP, IKS) for more accurate flagship-commodity identification; (2) a territory-based spatial approach for strategic siting of an integrated aquaculture–ecotourism agro-industry that explicitly incorporates human resources, accessibility, and infrastructure; (3) the development of RAP-INTAE as an integration-specific sustainability assessment/prediction instrument with improvement scenarios; and (4) a cross-sector institutional-strengthening strategy to ensure effective policy implementation. Implications point local governments and firms toward prioritizing S1–S2 zones, investing in training and process innovation, establishing cross-sector coordination forums, and deploying policy instruments that enhance efficiency and environmental–social resilience in Bekasi, Karawang, and West Java’s coast.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/171488
Appears in Collections:DT - Agriculture Technology

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
cover_F3601201005_2c1af815d29a46b4826e47fa5802baec.pdfCover3.03 MBAdobe PDFView/Open
fulltext_F3601201005_5a60808d3d384e60ba926710cc412221.pdf
  Restricted Access
Fulltext7.08 MBAdobe PDFView/Open
lampiran_F3601201005_5716ae36043e4dedaea276fa64b079fd.pdf
  Restricted Access
Lampiran2.44 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.