Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/171338
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorSantoso, Nyoto-
dc.contributor.advisorMardiastuti, Ani-
dc.contributor.advisorMulyani, Yeni Aryati-
dc.contributor.authorSutopo-
dc.date.accessioned2025-10-20T23:24:33Z-
dc.date.available2025-10-20T23:24:33Z-
dc.date.issued2025-
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/171338-
dc.description.abstractRINGKASAN SUTOPO. Ekologi Lutung Sentarum (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger Thomas 1892) di Taman Nasional Danau Sentarum. Dibimbing oleh NYOTO SANTOSO, ANI MARIDASTUTI, dan YENI ARYATI MULYANI. Lutung Sentarum (Presbytis chrysomelas ssp cruciger Thomas, 1892) merupakan primata endemik Pulau Borneo dan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Nijman et al. (2020) menunjukan bahwa sebaran jenis ini masih terbatas di beberapa wilayah Kalimantan bagian utara yaitu Malaysia mencakup wilayah Serawak di Taman Nasional Maludam dan distrik Baram, serta wilayah Melalap di Sabah. Di Pulau Kalimantan yang masuk wilayah administrasi Indonesia Lutung Sentarum diketahui hanya di wilayah Danau Sentarum dan sekitarnya. Jenis ini berada pada level Critically Endangered (kritis) berdasarkan IUCN Red List dan belum ditetapkan sebagai primata yang dilindungi yang secara tidak langsung berdampak pada lemahnya upaya konservasi dan penegakan hukum di lapang. Studi tentang ekologi menjadi sangat penting dilakukan untuk mengetahui ukuran populasi dan struktur metapopulasi lutung sentarum di wilayah studi, mengetahui bagaimana karakteristik habitat yang digunakan oleh lutung, sejauh mana tingkat kesesuaian habitat dan pemanfaatannya di wilayah Danau Sentarum, serta menduga viabilitas populasi di masa depan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika populasi di wilayah studi. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ekologi primata, khususnya terkait populasi dan persebaran, karaktersitik dan preferensi habitat dan faktor apa saja yang mendorong jenis ini lebih memilih habitat tertentu di Danau Sentarum. Selain itu penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi upaya pengelolaan habitat dan konservasi populasi lutung di wilayah Danau Sentarum oleh pemangku kepentingan terkait, dan menghasilkan model habitat dan prediksi viabilitas populasi yang dapat digunakan dalam pengelolaan habitat dan spesies. Penelitian ini dilaksanakan dari Juli 2021 – Juni 2023 di wilayah Taman Nasional Danau Sentarum yang secara administrasi pengelolaan masuk dalam kawasan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Hasil studi diketahui bahwa populasi lutung teramati sejumlah 254 individu yang terbagi dalam 35 kelompok, dan tersebar di empat wilayah persebaran yaitu Bukit Semujan (Pop.1), Sungai Pelaik (Pop.2), Sepandan (Pop.3), dan Pulau Majang (Pop.4). Struktur sosial lutung menunjukkan pola one-male multi-female dalam hampir seluruh kelompok, dengan rasio jantan:betina antara 1:3 hingga 1:4. Populasi ini diklasifikasikan ke dalam tiga struktur metapopulasi: classic, patchy, dan non-equilibrium. Populasi dengan struktur classic memiliki potensi recolonization tinggi selama tidak ada tekanan besar (misalnya perburuan). Sebaliknya, populasi non-equilibrium (Pop.4) sangat terisolasi dan rentan terhadap kepunahan. Model prediktif selama 100 tahun ke depan menunjukkan bahwa hanya Populasi 3 (Sepandan) yang memiliki tren pertumbuhan positif (+87,8%), sementara tiga lainnya menunjukkan trend penurunan. Populasi 4, yang hanya terdiri dari dua kelompok kecil dan terpisah secara geografis, diprediksi punah dalam waktu <40 tahun, bahkan bisa lebih cepat jika terjadi kebakaran atau perburuan secara masive dan periodik. Tiga skenario yang disimulasikan yaitu: 1). Baseline (tanpa gangguan): PE (probabilitas kepunahan) masih signifikan, terutama pada Pop.4.; 2). Kondisi terjadi kebakaran tahunan/periodik: PE naik drastis, dan seluruh populasi bisa punah dalam waktu <75 tahun; 3). Perburuan: PE meningkat, dan prediksi Pop.4 punah terjadi dalam waktu 23 tahun. Implikasinya adalah perlunya intervensi konservasi berbasis kawasan dan populasi, seperti penyambungan koridor habitat, perlindungan dari kebakaran, dan penegakan hukum terhadap perburuan. Kondisi struktur metapopulasi terhadap probabilitas transisi atau struktur distribusi individu antar populasi pada ketiga skenario menunjukkan bahwa pada skenario baseline untuk pop.1 (bukit semujan) 22,93% individunya berasal dari atau memiliki afiliasi dengan Pop.1 (sendiri) dan 21,21% dengan Pop.2 (Sungai Pelaik). Karakteristik habitat pada empat wilayah persebaran populasi menunjukkan karakter yang unik dan berbeda dalam hal komposisi tumbuhan penyusunnya. Pada habitat pop.1 komposisi tipe habitat penyusun terdiri dari tipe habitat hutan sekunder perbukitan, hutan rawa, tegakan campuran dan danau. Pop.2 dan pop.3 terdiri dari hutan rawa dan tegakan campuran, sedangkan pop.4 terdiri dari habitat hutan sekunder perbukitan. Dari total 238.329 ha wilayah studi (dengan buffer 6 km dari batas Taman Nasional), hanya sekitar 4,06% areal yang tergolong sesuai hingga sangat sesuai untuk habitat lutung. Lutung memiliki preferensi tinggi terhadap hutan sekunder dataran rendah, hutan rawa, belukar kering dan hutan riparian, dengan probabilitas kesesuaian mencapai >0,8. Sebaliknya, mereka menghindari area terbuka, lahan terfragmentasi, dan area sangat dekat dengan danau atau permukiman dan menghindari daerah yang sering terjadi kebakaran lahan terutama pada areal ladang masyarakat. Pemodelan MaxEnt menunjukkan akurasi sangat tinggi, dengan nilai AUC sebesar 0,951 dan standar deviasi 0,012. Ini menunjukkan bahwa model memiliki kemampuan klasifikasi yang kuat, stabil, dan mampu membedakan area yang sesuai dan tidak sesuai. Variabel yang paling berkontribusi adalah jenis tutupan lahan (33,5%), diikuti jarak ke rawa (16,5%), jarak ke hotspot kebakaran (12%), serta faktor suhu dan kemiringan lahan. Analisis terhadap kesamaan jenis tumbuhan pakan berdasarkan analisis Indeks Jaccard menunjukkan bahwa wilayah Populasi 1, 3, dan 4 memiliki kesamaan tinggi (>0,5), sedangkan Populasi 2 memiliki kesamaan jenis yang rendah (<0,24). Kondisi tersebut mengindikasikan perbedaan signifikan dalam komposisi vegetasi pakan antar wilayah. Lutung Sentarum memiliki wilayah jelajah harian dan musiman yang cukup luas dan dinamis, namun tetap dipengaruhi oleh topografi, musim, dan ketersediaan pakan. Hasil observasi menggunakan metode MCP dan KDE menunjukkan luas wilayah jelajah berkisar antara 34 hingga 118 hektar, dengan area inti (core area) antara 16–56 ha. Jarak jelajah harian maksimum tercatat 3,5 km, dengan rata-rata berkisar 1,4–3,5 km tergantung bulan dan kondisi lapangan. Wilayah jelajah cenderung lebih luas saat musim kering dan lebih terbatas saat wilayah tergenang atau kondisi air sangat rendah. Pengamatan menunjukkan bahwa lutung akan menyesuaikan pergerakannya dengan aksesibilitas vegetasi pakan, menghindari area terbuka, dan tetap menjaga jarak dari danau dan sungai besar. Data pergerakan dalam studi menjadi dasar penting untuk memahami bagaimana fragmentasi habitat dan perubahan iklim (seperti perubahan tinggi air dan musim kering ekstrem) bisa berdampak pada energi harian, strategi eksplorasi pakan, dan akhirnya reproduksi dan kelangsungan hidup lutung. Bagian tumbuhan yang dimakan oleh lutung teramati berupa buah, biji, bunga, daun dan getah. Ketersediaan tumbuhan pakan berupa buah, biji dan bunga sangat bergantung dengan kondisi musim dan berpengaruh terhadap durasi atau lamanya tumbuhan pakan tersedia secara alami. Produktivitas pakan untuk sampel wilayah yang menjadi persebaran di Bukit Semujan, diperoleh nilai rata-rata produktivitas harian untuk 14 jenis tumbuhan pakan dalam waktu satu tahun adalah 65,02 kg/hari (1 tahun = 365 hari). Jika nilai konsumsi pakan harian lutung/individu adalah 10% atau nilai paling kecil dari rentang persentase kebutuhan pakan satwa liar (10 – 15%) yaitu 0,45 gram dari bobot tubuh, maka nilai produksi tersebut dalam sehari mampu memenuhi kebutuhan sejumlah 130 individu lutung. Kebutuhan perkelompok dengan menghitung jumlah minimal individu kelompok adalah 5 individu, maka total nilai produktivitas pakan tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan pakan untuk 13 kelompok pada areal sampel seluas 220 hektar. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa populasi lutung di Danau Sentarum berada pada kategori populasi menengah. Persebaran populasi ini terbagi dalam empat wilayah utama, yaitu Bukit Semujan, Sungai Pelaik, Sepandan, dan Pulau Majang. Struktur metapopulasi yang terbentuk bersifat heterogen, mencakup tipe patchy, classic, dan non-equilibrium, yang menunjukkan bahwa keberlangsungan populasi sangat bergantung pada tingkat konektivitas antar patch dan peluang terjadinya rescue effect. Lutung memperlihatkan preferensi habitat yang jelas, dengan tingkat kehadiran tertinggi pada hutan rawa, tegakan campuran, dan hutan sekunder perbukitan. Habitat-habitat tersebut menyediakan kombinasi optimal berupa sumber pakan yang beragam, tutupan tajuk yang rapat, dan konektivitas lanskap yang masih terjaga, serta relatif minim gangguan langsung dari aktivitas manusia. Hal ini menegaskan bahwa kelimpahan sumber daya pakan dan kualitas habitat menjadi faktor kunci dalam mendukung keberlangsungan populasi. Hasil pemodelan viabilitas populasi menunjukkan bahwa populasi lutung di kawasan studi memiliki peluang bertahan jangka panjang (>100 tahun) dengan probabilitas =95% apabila kondisi habitat tetap terjaga dan ancaman seperti perburuan serta kebakaran dapat diminimalkan. Namun, pada skenario tekanan tinggi akibat perburuan intensif dan kebakaran masif, populasi diperkirakan hanya mampu bertahan selama 85–88 tahun, sehingga menegaskan perlunya upaya konservasi aktif, pengelolaan habitat, dan mitigasi ancaman untuk menjamin keberlangsungan populasi di masa depan. Kata kunci: Lutung Sentarum, Presbytis cruciger, Taman Nasional Danau Sentarum-
dc.description.abstractSUMMARY SUTOPO. Ecology of tricolor langur (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger Thomas 1892) in Danau Sentarum National Park. Supervised by NYOTO SANTOSO, ANI MARIDASTUTI, and YENI ARYATI MULYANI The Sentarum langur (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger Thomas, 1892) is an endemic primate of Borneo. According to Nijman et al. (2020), its distribution remains highly restricted, occurring only in several regions of northern Borneo, including Sarawak (Maludam National Park and Baram District) and Melalap in Sabah, Malaysia. Within Indonesian territory, this taxon has been recorded exclusively in the Danau Sentarum region and its surrounding areas (Pusparini 2019, Musyafa and Santoso 2019). The species is currently listed as Critically Endangered on the IUCN Red List but has yet to be legally designated as a protected primate in Indonesia, a circumstance that indirectly weakens conservation efforts and law enforcement in the field. Ecological studies are therefore crucial, particularly to estimate population size and assess the metapopulation structure of the Sentarum langur within the study area, to examine habitat characteristics and preferences, to evaluate habitat suitability and utilization across the Danau Sentarum landscape, and to predict population viability under different ecological and anthropogenic scenarios. This research contributes to advancing scientific knowledge in primate ecology, especially regarding population status, distribution, habitat characteristics, and the ecological factors influencing habitat preference. Furthermore, the findings are valuable for habitat management and conservation planning of the species in Danau Sentarum by relevant stakeholders, providing both a habitat model and population viability projections that can inform evidence-based management strategies. The study was conducted between July 2021 and June 2023 within Danau Sentarum National Park, administratively managed under the Betung Kerihun and Danau Sentarum National Park Authority. Data on population status, habitat conditions, and other ecological parameters were collected through extensive field surveys. A total of 254 individuals of triclolor langur were recorded across 35 social groups distributed within four principal regions: Bukit Semujan (Pop.1), Sungai Pelaik (Pop.2), Sepandan (Pop.3), and Pulau Majang (Pop.4). The social organization predominantly follows a one-male multi-female structure, with male-to-female ratios ranging from 1:3 to 1:4. These populations are categorized into three metapopulation structures: classic, patchy, and non-equilibrium. Populations exhibiting a classic structure demonstrate high recolonization potential, provided that major anthropogenic disturbances such as hunting are absent. Conversely, the non-equilibrium population (Pop.4) is highly isolated and exhibits a high risk of local extinction. Predictive modelling over a 100-year period indicates that only Population 3 is projected to experience positive population growth (+87.8%), while the remaining populations are expected to decline. Population 4, consisting of only two small and geographically fragmented groups, is predicted to go extinct within 40 years—potentially sooner under scenarios of frequent fire events or sustained hunting pressure. Three simulation scenarios were evaluated: 1). Baseline (no disturbance): The extinction probability (PE) remains significant, particularly for Pop.4. 2). Annual or periodic fire disturbance: PE increases markedly, with all populations at risk of extinction within 75 years. 3). Hunting scenario: PE further escalates, with Pop.4 predicted to become extinct within 23 years. These findings underscore the critical need for spatially explicit and population-based conservation strategies, including habitat corridor restoration, fire prevention, and strict enforcement against illegal hunting. Under the baseline scenario, the metapopulation structure indicates that in Pop.1, approximately 22.93% of individuals are resident or affiliated with Pop.1 itself, while 21.21% are associated with Pop.2, suggesting some level of inter-population connectivity. Habitat characteristics across the four regions exhibit distinct vegetation compositions. The habitat of Pop.1 comprises a heterogeneous landscape of secondary hill forest, swamp forest, mixed stands, and lacustrine margins. Populations 2 and 3 inhabit primarily swamp forests and mixed stands, while Pop.4 is confined to secondary hill forest. Of the total 238,329 ha study area (including a 6 km buffer surrounding the national park), only approximately 4.06% is categorized as suitable to highly suitable habitat for tricolor langur. Tricolor langur exhibits strong preference for lowland secondary forests, swamp forests, dry scrub, and riparian forest, with habitat suitability probabilities exceeding 0.8. In contrast, they tend to avoid open areas, fragmented landscapes, and zones in close proximity to lakes or human settlements. They also avoid areas frequently affected by wildfires, particularly those in community farming zones. The MaxEnt habitat suitability model yielded a high degree of predictive accuracy, with an AUC of 0.951 (SD = 0.012), indicating strong model performance and robustness in distinguishing between suitable and unsuitable areas. The most influential predictors of habitat suitability included land cover type (33.5%), distance to swamp (16.5%), proximity to fire hotspots (12%), along with temperature and slope. Analysis of feeding plant composition using Jaccard’s similarity index revealed high similarity (index > 0.5) among Populations 1, 3, and 4, while Pop.2 exhibited a much lower similarity index (< 0.24), indicating significant variation in the composition of food vegetation across sites. Langur in the Sentarum landscape maintain broad and dynamic home ranges influenced by topography, seasonal variation, and food availability. Observations using Minimum Convex Polygon (MCP) and Kernel Density Estimation (KDE) methods indicate that home range sizes vary from 34 to 118 hectares, with core areas ranging between 16 and 56 ha. Maximum daily travel distances reached 3.5 km, with averages ranging from 1.4 to 3.5 km depending on seasonal conditions. Home ranges tend to expand during dry seasons and contract during periods of flooding or extremely low water levels. Movement patterns suggest that langur adapt their mobility to optimize access to food vegetation, avoid open areas, and maintain safe distances from large rivers and lakes. These spatial data offer valuable insights into how habitat fragmentation and climate variability (e.g., fluctuating water levels and extreme drought) may influence daily energy expenditure, foraging strategies, and ultimately, reproduction and survival. Langur dietary consist of fruits, seeds, flowers, young leaves, and sap. The availability of reproductive plant parts (i.e., fruit, seed, flower) is seasonally dependent and significantly affects the temporal abundance of food resources. In the Bukit Semujan sample area, the estimated annual mean productivity of 14 key food plant species was 65.02 kg/day. Assuming an individual’s daily food intake requirement is 10% of body weight—or 0.45 kg using the lower bound of the 10–15% dietary intake range for wild primates—this level of productivity could support approximately 130 individuals per day. Based on a minimum group size of five individuals, the total productivity in the 220-hectare sample area could sustain up to 13 groups. Observational data recorded nine groups in the Bukit Semujan region. Habitat availability analysis indicated that in Bukit Semujan and surrounding areas, the total area categorized as marginally suitable to highly suitable habitat amounted to 5,394 ha. Given the maximum recorded home range of 103 ha, this area could theoretically accommodate up to 53 langur groups. Across the entire study region, the total extent of low to highly suitable habitat is 9,671 ha, with a projected carrying capacity of up to 94 groups. The findings of this study indicate that the Sentarum langur population in Danau Sentarum falls within the medium-sized population category. The population is distributed across four primary areas: Bukit Semujan, Sungai Pelaik, Sepandan, and Pulau Majang. The resulting metapopulation structure is heterogeneous, encompassing patchy, classic, and non-equilibrium types, suggesting that population persistence is highly dependent on patch connectivity and the potential occurrence of rescue effects. The species exhibits clear habitat preferences, with the highest occurrence recorded in swamp forest, mixed stands, and secondary hill forest. These habitats provide an optimal combination of diverse food resources, dense canopy cover, and well-maintained landscape connectivity, while remaining relatively undisturbed by direct human activities. This underscores that resource abundance and habitat quality are key factors supporting population persistence. Population viability modeling further revealed that the Sentarum langur population has a high probability (=95%) of long-term survival (>100 years) if habitat conditions remain intact and major threats, such as hunting and large-scale fires, are effectively minimized. Conversely, under high-pressure scenarios involving intensive hunting and severe fires, the population is projected to persist only for approximately 85–88 years, thereby highlighting the urgent need for active conservation measures, habitat management, and threat mitigation to ensure the long-term survival of the species. Keywords: Danau Sentarum National Park, Presbytis cruciger, Tricolor langur-
dc.description.sponsorshipYayasa KEHATI-
dc.language.isoid-
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleEkologi Lutung Sentarum (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger Thomas 1892) di Taman Nasional Danau Sentarumid
dc.title.alternativeEcology of tricolor langur (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger Thomas 1892) in Danau Sentarum National Park-
dc.typeDisertasi-
dc.subject.keywordDanau Sentarumid
dc.subject.keywordPresbytis crucigerid
dc.subject.keywordLutung Sentarumid
Appears in Collections:DT - Forestry

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
cover_E3601202002_b312e835eb9049198ecc4356e6339adb.pdfCover659.72 kBAdobe PDFView/Open
fulltext_E3601202002_60cdae47062146f8bb0f47def8985113.pdf
  Restricted Access
Fulltext7.37 MBAdobe PDFView/Open
lampiran_E3601202002_d34e4fdb684d47fb93efe388e7a5397c.pdf
  Restricted Access
Lampiran2.63 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.