Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/170809
Title: Kekuatan Dialog dalam Komunikasi Gerakan Sosial Komunitas Nelayan Kecil Praja Gumiwang Indramayu
Other Titles: The Power of Dialogue in the Social Movement Communication of the Small-Scale Fishermen Community Praja Gumiwang, Indramayu
Authors: Sumardjo
Sarwoprasodjo, Sarwititi
Amanah, Siti
Anisti
Issue Date: 2025
Publisher: IPB University
Abstract: Kemiskinan nelayan kecil merupakan persoalan struktural kompleks mencakup tantangan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan komunikasi. Nelayan kecil di Indramayu mengalami ketimpangan akses sumber daya, teknologi, pasar, dan kebijakan pemerintah yang memperparah keterpinggirannya. Gerakan sosial menjadi medium penting untuk memperjuangkan hak dan keadilan, tetapi seringkali terhambat lemahnya daya tawar serta distorsi ruang publik yang tidak setara. Seperti yang terjadi pada Komunitas Nelayan Kecil Praja Gumiwang dengan memanfaatkan modal sosial dan komunikasi dialogis, untuk membentuk kesadaran, mengartikulasikan kepentingan kolektif, dan menegosiasikan posisinya dalam kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, perlunya untuk mengisi kekosongan kajian komunikasi gerakan sosial dengan fokus pada kekuatan dialog dalam membentuk ruang publik yang transformatif bagi komunitas marjinal. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis tindakan komunikatif mewujudkan konsensus di ruang publik. (2) menganalisis pola dialogis dalam pembentukan reflektifitas kritis komunitas nelayan kecil. (3) merumuskan peran para pihak dalam komunikasi gerakan sosial menuju perubaha sosial nelayan kecil. (4) membuat model komunikasi yang terbangun di ruang publik mendorong perubahan sosial nelayan kecil. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis dan metode etnografi komunikasi. Pendekatan ini dipilih untuk menggali praktik komunikasi dalam konteks budaya komunitas nelayan dan untuk mengungkap dinamika kekuasaan dalam proses komunikasi tersebut. Teknik pengumpulan data meliputi observasi partisipatif, wawancara mendalam, focus group discussion (FGD), dan dokumentasi. Penelitian dilakukan selama 8 bulan, dengan lokasi utama di Desa Pabean Udik, Kabupaten Indramayu sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kemiskinan pesisir tertinggi di Jawa Barat. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan kelompok yang terlibat aktif dalam proses komunikasi publik, seperti ketua komunitas, anggota nelayan, LSM, pemerintah desa, dan dinas kelautan setempat. Analisis data dilakukan melalui proses kondensasi, kategorisasi, dan penarikan tema menggunakan bantuan perangkat lunak Nvivo 12, peneliti juga menerapkan model SPEAKING (Setting, Participants, Ends, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, Genre) sebagai kerangka untuk menganalisis dinamika komunikasi dalam ruang publik Komunitas Nelayan Kecil Praja Gumiwang. Penelitian ini menemukan data demografis yang menunjukkan anggota komunitas termasuk dalam usia produktif, berpendidikan rendah (terutama lulusan SD), berpenghasilan rendah (2-3 juta/bulan), dan berstatus sebagai Anak Buah Kapal (ABK) menunjukkan ketimpangan struktural. Melalui Komunitas Nelayan Kecil Praja Gumiwang, nelayan kecil bertransformasi dari objek kebijakan menjadi subjek politik yang aktif memperjuangkan hak dan keadilan sosial-ekologis di sektor kelautan. Penelitian ini mengungkapkan nelayan kecil Praja Gumiwang menghadapi berbagai ketidakadilan struktural yang bersumber dari kebijakan negara, seperti PP No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan membatasi akses wilayah tangkap maupun memperkuat dominasi korporasi. Selain itu, nelayan kecil juga merasa menjadi objek kebijakan tanpa ruang partisipasi bermakna, mengalami keterbatasan perizinan, akses bantuan, dan dukungan kelembagaan. Komunitas nelayan membentuk ruang publik alternatif melalui forum- forum diskusi sebagai strategi menanggapi dominasi struktural. Forum ini menjadi wadah artikulasi kepentingan bersama sekaligus ekspresi kegelisahan terhadap ketimpangan. Praktik komunikasi dalam komunitas dijalankan dengan menggabungkan model tatap muka, media digital (WhatsApp), dan simbol-simbol budaya. Ruang dialog membantu komunitas menyusun petisi, mengadakan musyawarah, dan menyalurkan aspirasi kepada pemangku kebijakan dengan pendekatan yang menekankan tindakan komunikatif dan resistensi simbolik. Proses dialog berlangsung tidak hanya pertukaran informasi, juga menjadi medium pembentukan reflektifitas kritis tentang ketidakadilan yang dialami. Diskusi komunitas mencerminkan praktik komunikasi emansipatoris menguatkan posisi tawar nelayan sebagai aktor yang menyadari hak-haknya. Kesadaran tidak hanya muncul secara cepat, tetapi juga dibangun melalui pengalaman kolektif terhadap kebijakan yang merugikan, interaksi dengan LSM, dan partisipasi aktif dalam aksi sosial yang memperkuat solidaritas eksternal. Penelitian ini juga menemukan keterlibatan perempuan dalam komunitas mempunyai peran penting, terutama dalam penguatan ekonomi alternatif keluarga nelayan. Pada forum-forum diskusi, suara perempuan mulai mendapatkan tempat meskipun belum sepenuhnya setara. Perempuan aktif dalam program pemberdayaan ekonomi, pengolahan hasil laut, dan advokasi kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif dan komunikasi gerakan sosial di tingkat komunitas mulai membuka ruang partisipasi lintas gender, meskipun masih dalam proses negosiasi nilai-nilai patriarkal. Meskipun ruang publik telah terbentuk tetapi hambatan komunikasi tetap masih terjadi. Ketimpangan kekuasaan antara nelayan dan aktor negara seperti Kepala Desa dan Dinas Kelautan membuat aspirasi seringkali terhenti di tingkat lokal. Relasi patron-klien, manipulasi data, dan ketakutan akan kriminalisasi membuat beberapa nelayan enggan berbicara terbuka. Pola komunikasi yang terjadi pun menunjukkan adanya ketidakseimbangan representasi, dimana aktor elite lebih dominan dalam pengambilan keputusan, sementara suara komunitas marjinal kurang terdengar. Pada proses perjuangannya, komunitas membangun narasi-narasi simbolik yang mengikat solidaritas dan identitas kolektif. Simbol-simbol seperti “laut sebagai ibu” dan “tamu” untuk menyebut penjabat negara menggambarkan relasi kuasa sekaligus kritik tersirat terhadap ketimpangan. Melalui komunikasi sehari- sehari komunitas membangun makna bersama menjadi dasar pembentukan solidaritas sekaligus arah perjuangan. Transformasi dari objek kebijakan menjadi subjek politik berjalan seiring dengan semakin terbukanya ruang dialog, meningkatnya kesadaran, dan terbentuknya identitas kolektif kuat.
The poverty of small-scale fishermen is a complex structural issue encompassing economic, social, political, cultural, and communication challenges. Small-scale fishermen in Indramayu experience disparities in access to resources, technology, markets, and government policies that exacerbate their marginalization. Social movements become an important medium for fighting for rights and justice, but are often hindered by weak bargaining power and unequal distortion of public sphere. As seen in the Small Fishermen Community of Praja Gumiwang, by utilizing social capital and dialogic communication to raise awareness, articulate collective interests, and negotiate their position in development policies. Therefore, there is a need to fill the gap in the study of social movement communication by focusing on the power of dialogue in creating a transformative public sphere for marginalized communities. Based on the description, the objectives of this research are (1) to analyze communicative actions in realizing consensus in the public sphere. (2) to analyze dialogical patterns in the formation of critical reflectivity within small fishing communities. (3) to formulate the roles of various parties in the communication of social movements towards social change for small fishermen. (4) to create a communication model built in the public sphere that encourages social change for small fishermen. This research uses a qualitative approach with a critical paradigm and communication ethnography method. This approach was chosen to explore communication practices within the cultural context of the fishing community and to uncover the power dynamics in the communication process. Data collection techniques include participatory observation, in-depth interviews, focus group discussions (FGD), and documentation. The research was conducted over 8 months, with the main location in Pabean Udik Village, Indramayu Regency, as one of the areas with the highest coastal poverty rates in West Java. The unit of analysis in this study is individuals and groups actively involved in the public communication process, such as community leaders, fishermen members, NGOs, village government, and local maritime affairs office. Data analysis was conducted through the processes of condensation, categorization, and theme extraction using the Nvivo 12 software. The researchers also applied the SPEAKING model (Setting, Participants, Ends, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, Genre) as a framework to analyze the dynamics of communication in the public sphere of the Small Fishermen Community of Praja Gumiwang. This research found demographic data indicating that community members fall within the productive age group, have low education levels (primarily elementary school graduates), low incomes (2-3 million/month), and are classified as Crew Members (ABK), which highlights structural inequalities. Through the Praja Gumiwang Small Fishermen Community, small fishermen have transformed from policy objects into political subjects actively fighting for rights and socio- ecological justice in the maritime sector. This research reveals that small fishermen in Praja Gumiwang face various structural injustices stemming from state policies, such as Government Regulation No. 11 of 2023 on Measured Fishing. The policy restricts access to fishing areas and strengthens corporate dominance. In addition, small fishermen also feel like objects of policy without meaningful participation, experiencing limitations in permits, access to assistance, and institutional support. The fishing community forms an alternative public sphere through discussion forums as a strategy to respond to structural dominance. This forum serves as a platform for articulating shared interests as well as expressing concerns about inequalities. Communication practices within the community are carried out by combining face-to-face models, digital media (WhatsApp), and cultural symbols. The dialogue space helps the community to draft petitions, hold discussions, and convey aspirations to policymakers with an approach that emphasizes communicative action and symbolic resistance. The process of dialogue not only involves the exchange of information but also serves as a medium for forming critical awareness about the injustices experienced. Community discussions reflect emancipatory communication practices that strengthen the bargaining position of fishermen as actors who are aware of their rights. Awareness does not emerge quickly, but is also built through collective experiences of detrimental policies, interactions with NGOs, and active participation in social actions that strengthen external solidarity. This research also found that women's involvement in the community plays an important role, especially in strengthening the alternative economy of fishing families. In discussion forums, women's voices are starting to gain recognition, although not yet fully equal. Women are actively involved in economic empowerment programs, seafood processing, and policy advocacy. This shows that collective awareness and social movement communication at the community level are beginning to open spaces for cross-gender participation, although still in the process of negotiating patriarchal values. Although the public sphere has been formed, communication barriers still persist. The power imbalance between fishermen and state actors such as village heads and the Marine Affairs Department often causes aspirations to be halted at the local level. Patron-client relations, data manipulation, and fear of criminalization make some fishermen reluctant to speak openly. The communication patterns that occur also indicate an imbalance of representation, where elite actors are more dominant in decision-making, while the voices of marginalized communities are less heard. In the process of their struggle, the community builds symbolic narratives that bind solidarity and collective identity. Symbols such as "the sea as mother" and "guest" to refer to state officials illustrate power relations while also implicitly critiquing inequality. Through daily communication, the community builds shared meaning as the foundation for forming solidarity and the direction of their struggle. The transformation from being objects of policy to subjects of politics goes hand in hand with the increasing openness of dialogue spaces, rising awareness, and the formation of a strong collective identity.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/170809
Appears in Collections:DT - Human Ecology

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
cover_I362190241_e485af1022d64c2888c6b7ea83eaef5f.pdfCover1.39 MBAdobe PDFView/Open
fulltext_I362190241_cd9a17c22eea4a41af3d6d3b3ba3b281.PDF
  Restricted Access
Fulltext3.49 MBAdobe PDFView/Open
lampiran_I362190241_f4336c76df1748f1adf4e93d8b40be34.PDF
  Restricted Access
Lampiran578.58 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.