Penerapan Metode CART dan C5.0 dalam Klasifikasi Tuberkulosis Intestinal: Studi Kasus di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

Abstract

Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyebab utama kematian secara global, dengan Indonesia menempati peringkat kedua dan menyumbang sekitar 10% dari total kasus dunia. Salah satu bentuk tuberkulosis yang sering sulit didiagnosis adalah tuberkulosis intestinal (TBI) karena gejalanya menyerupai penyakit Crohn. Kemiripan pada gejala klinis, temuan endoskopi, dan hasil radiologi sering kali menyebabkan kesalahan diagnosis, sehingga diperlukan metode deteksi dini yang akurat dan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kinerja dua model klasifikasi, yaitu CART dan C5.0, dalam mengidentifikasi kasus tuberkulosis intestinal berdasarkan data klinis dan biomarker dari 143 pasien terduga TBI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model CART memiliki rata - rata sensitivitas yang lebih tinggi yaitu sebesar 64% dibandingkan model C5.0 yang sebesar 52%, yang berarti model CART lebih baik dalam mendeteksi kasus TBI. Sebaliknya, model C5.0 memiliki rata-rata spesifisitas yang lebih tinggi yaitu 81%, dibandingkan CART yang sebesar 78%, sehingga model C5.0 lebih baik dalam mengenali kasus non-TBI. Dari segi balanced accuracy, model CART lebih unggul dengan nilai 71%, sementara C5.0 dengan nilai 67%. Struktur pohon keputusan pada model CART juga lebih sederhana, dengan jumlah cabang dan variabel pemisah yang lebih sedikit. Peubah yang digunakan dalam model CART meliputi laju endap darah dan kadar Interferon Gamma dalam feses. Peubah yang digunakan C5.0 adalah laju endap darah, kadar human beta-defensin 2 dalam feses, gejala berkeringat di malam hari, basofil, kadar Interferon-Gamma dalam feses, batuk, riwayat kontak dengan pasien TB, positif IGRA, gejala penurunan berat badan, kadar ADA dalam darah, eosinofil, demam, dan darah dalam feses.

Tuberculosis remains one of the leading causes of death globally, with Indonesia ranking second and contributing approximately 10% of global cases. One form of tuberculosis that is often challenging to diagnose is intestinal tuberculosis (ITB), due to its clinical resemblance to Crohn’s disease. The similarity in clinical symptoms, endoscopic findings, and radiological results frequently leads to misdiagnosis, emphasizing the need for accurate and effective early detection methods. This study aims to compare the performance of two classification models, namely CART and C5.0, in identifying ITB cases using clinical data and biomarkers from 143 suspected ITB patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. The results show that the CART model achieved a higher average sensitivity of 64% compared to 52% in the C5.0 model, indicating better performance in detecting ITB. In contrast, the C5.0 model demonstrated a higher average specificity of 81% compared to 78% in CART, suggesting better recognition of non-ITB cases. In terms of balanced accuracy, CART slightly outperformed C5.0 with a score of 71% versus 67%. Furthermore, the decision tree structure of the CART model was simpler, with fewer branches and splitting variables. The predictor variables used in the CART model included erythrocyte sedimentation rate and fecal Interferon-Gamma levels, while the C5.0 model utilized a broader range of predictors, including erythrocyte sedimentation rate, fecal human beta-defensin 2 levels, night sweats, basophils, fecal Interferon- Gamma levels, cough, history of contact with TB patients, positive IGRA, weight loss, blood ADA levels, eosinophils, fever, and blood in the stool.