Proses Produksi Tepung Glukomanan, Pati, dan Serat Bubuk Berbasis Umbi Porang

Abstract

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan umbi porang (Amorphophallus muelleri Blume) dengan kandungan glukomanan, pati, dan serat. Saat ini, Indonesia masih melakukan ekspor serpih porang dan mengimpor kembali tepung glukomanan. Proses produksi tepung glukomanan umumnya hanya memanfaatkan fraksi glukomanan dan membuang fraksi lainnya, seperti pati dan serat. Penelitian ini bertujuan melakukan pengembangan proses produksi untuk memisahkan fraksi glukomanan, pati, dan serat dalam satu lini produksi. Metode yang dikembangkan menggunakan prinsip pemotongan, perendaman dengan natrium metabisulfit 200 ppm, milling, filtrasi bertingkat, pengeringan. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70%. Tiga perlakuan perbandinga umbi porang terhadap pelarut diuji (1:2, 1:3, dan 1:4). Hasil menunjukkan perlakuan 1:4 menghasilkan produk akhir terbaik dengan rendemen pati bubuk 4,72±0,14%, glukomanan sebesar 10,05±0,73%, dan serat bubuk 1,12±0,50%. Kemurnian glukomanan mencapai 90,35±0,12% dimana memenuhi kriteria desain >90%. Validasi dengan peningkatan skala menghasilkan rendemen pati bubuk 4,37±0,017%, glukomanan 8,55±0,09%, dan serat bubuk 0,60±0,01%. Penelitian ini membuktikan bahwa pengembangan proses terintegrasi dapat meningkatkan pemanfaatan seluruh fraksi umbi porang

Indonesia possesses significant potential in the development of porang tubers (Amorphophallus muelleri Blume), which are rich in glucomannan, starch, and fiber. Currently, Indonesia exports porang chips and subsequently imports glucomannan flour. The conventional production of glucomannan flour primarily utilizes the glucomannan fraction while discarding other valuable components such as starch and fiber. This study aims to develop an integrated production process to separate the glucomannan, starch, and fiber fractions within a single processing line. The principles method developed includes slicing, soaking in 200 ppm sodium metabisulfite, milling, multistage filtration, drying. The solvent used in the extraction process was 70% ethanol. Three treatment ratios of porang tuber to solvent were evaluated (1:2, 1:3, and 1:4). The results showed that the 1:4 treatment yielded the best final product, with a starch powder yield of 4.72±0.14%, glucomannan of 10.05±0.73%, and fiber powder of 1.12±0.50%. The glucomannan purity reached 90.35±0.12%, meeting the design criteria of >90%. Validation through scale-up resulted in yields of 4.37±0.017% starch powder, 8.55±0.09% glucomannan, and 0.60±0.01% fiber powder. This study demonstrates that the development of a process can enhance the utilization of all porang tuber fractions.