Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/168744
Title: Strategi Pelestarian Lanskap Budaya Penglukatan untuk Mewujudkan Pengembangan Wisata Berkelanjutan di DAS Tukad Penet, Bali
Other Titles: Strategies for Preserving the Cultural Landscape of Penglukatan toward Sustainable Tourism Development in the Tukad Penet Watershed, Bali
Authors: Nurhayati
Kaswanto
Radinasuari, Ni Luh Putu Ari
Issue Date: 2025
Publisher: IPB University
Abstract: Pada perkembangannya saat ini pemahaman akan ritual melukat sebagai kegiatan religi dengan unsur agama dan budaya sudah bergeser menjadi kegiatan wisata. Mengetahui akan potensi tersebut, pemerintah daerah mengusulkan pengembangan daerah tujuan wisata dengan memanfaatkan wisata spiritual seperti ritual melukat. Terjadi penurunan nilai sakral dalam ritual melukat, masyarakat beranggapan melukat sebagai kegiatan refreshing dengan wisata air kemudian dilanjutkan persembahyangan. Perhatian dari berbagai pihak seperti pemerintah daerah, dinas pariwisata, desa adat, dan masyarakat sebagai pelaku wisata sangat diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang dapat merusak kelestarian lanskap budaya penglukatan. Mengacu pada permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persebaran lokasi lanskap budaya penglukatan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Penet. Mengidentifikasi karakter lanskap budaya penglukatan dan menganalisis kaitan peningkatan lokasi penglukatan dari aspek biofisik, sosial budaya, ekonomi, dan legal. Rekomendasi strategi pengembangan wisata berkelanjutan dapat disusun dengan menggunakan Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman) (SWOT). Penelitian ini dilakukan di sepanjang DAS Tukad Penet. Secara administrasi DAS Tukad Penet melalui 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Buleleng, Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung. Identifikasi menggunakan 11 elemen lanskap. Analisis tingkat pengetahuan masyarakat menggunakan metode Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat dalam mengenal lanskap budaya penglukatan. Setelah melakukan analisis data selanjutnya dilakukan penyusunan rekomendasi strategi pengembangan menggunakan metode SWOT. Terdapat 9 lokasi lanskap budaya penglukatan di sepanjang DAS Tukad Penet. Kabupaten Badung memiliki 5 lokasi lanskap budaya penglukatan. Kabupaten Tabanan memiliki 4 lokasi lanskap budaya penglukatan. Pengelolaan terbagi menjadi 2 yaitu desa adat dan perseorangan. Pengelolaan oleh desa adat merupakan pengelolaan yang banyak dilakukan pada wilayah DAS Tukad Penet. Secara fasilitas, pengelolaan yang dilakukan perseorangan memiliki akses dan fasilitas serta aktivitas yang lebih menunjang dibandingkan dengan pengelolaan desa adat. Hulu sebagai kepala sehingga pada daerah ini mengutamakan fungsi lanskap budaya penglukatan sebagai ritual sakral dan suci. Mengacu pada konsep tersebut, pengelolaannya tidak berfokus pada pengembangan wisata. Berbeda dengan lanskap budaya penglukatan pada kawasan hilir yang didominasi oleh Kabupaten Badung, pengelolaannya berfokus pada pengembangan wisata sebagai daerah tujuan wisata milik Desa adat. Daerah pada kelompok hilir memiliki potensi yang tinggi sebagai wisata dengan jumlah kunjungan yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah hulu, hal terebut didukung dengan akses jalan yang lebih memadai. Berdasarkan proses pembentuk lanskapnya ditemukan bahwa seluruh lokasi lanskap budaya penglukatan menggunakan pola ruang dengan konsep Tri Mandala. Konsep tersebut merupakan kearifan lokal masyarakat Bali. Terdiri dari Utama Mandala sebagai bagian tersuci yang di dalamnya terdapat area persembahyangan. Madya Mandala bagian tengah sebagai tempat berkumpul. Nista Mandala pada bagian terkotor dan terluar, area ini digunakan untuk melakukan ritual melukat sebelum memasuki area yang lebih suci. Bentuk respon terhadap lingkungan secara keseluruhan masih mempertahankan keaslian lanskap dan memanfaatkan fitur lanskap alami seperti goa, sungai, dan sumber mata air tanah. Karakteristik lanskap budaya penglukatan berdasarkan pada komponen fisik menunjukkan seluruh lokasi lanskap budaya penglukatan menggunakan batas wilayah berupa pagar tembok yang disebut dengan penyengker dan aliran sungai sebagai pembatas kawasan. Lanskap budaya penglukatan memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan berkelanjutan. Pemanfaatan sebagai tempat suci tetap dapat dijalankan dan pengembangan sebagai wisata juga dapat dilakukan. Dukungan dari seluruh aspek menjadi dorongan dalam pengembangan lanskap budaya penglukatan. Aspek pendukung tersebut adalah aspek biofisik, sosial budaya, ekonomi, dan legal. Aspek yang paling dominan adalah aspek sosial budaya, hingga saat ini masyarakat sebagai pelaku wisata dan pengelola masih mempertahankan kearifan lokal. Pada pengembangan lanskap budaya penglukatan, aspek sosial budaya menjadi penting untuk diperhatikan dan didukung pelestariannya. Berdasarkan pada seluruh aspek pendukung tersebut sehingga, tidak menutup kemungkinan untuk terbangunnya lokasi lanskap budaya penglukatan yang baru di DAS Tukad Penet. Merujuk pada pendekatan strategi Hold and Maintain, pengelolaan lanskap budaya penglukatan diarahkan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya, ekologis, dan spiritual yang telah ada, sambil memperkuat kualitas pengelolaan secara berkelanjutan. Dari 7 rekomendasi yang dianalisis, 3 strategi utama dipilih karena dinilai paling krusial dan aplikatif, yaitu: peningkatan ruang dan infrastruktur wisata, pengembangan berbasis data dan analisis, serta penegakan aturan adat dengan sanksi yang ketat. Ketiga strategi tersebut diintegrasikan dengan empat rekomendasi pendukung lainnya, sehingga menghasilkan pendekatan yang lebih komprehensif dan sinergis. Strategi ini tidak hanya memperkuat aspek fisik dan sosial budaya kawasan, tetapi juga mendorong keterlibatan masyarakat, peningkatan kapasitas petugas, serta keberlangsungan fungsi sakral dan ekologis kawasan penglukatan.
In its current development, the understanding of the melukat ritual as a religious activity with spiritual and cultural elements has shifted into a tourismoriented practice. Recognizing this potential, local governments have proposed the development of tourist destinations by promoting spiritual tourism, such as the melukat ritual. However, this shift has led to a decrease in the ritual’s sacred value, as it is now often perceived by the public as a form of recreation involving water activities, followed by prayer. Therefore, attention from multiple stakeholders, including local governments, tourism departments, traditional villages (Desa adat), and the tourism community, is needed to prevent negative impacts that could threaten the sustainability of penglukatan cultural landscapes. This study aims to identify the spatial distribution of penglukatan cultural landscapes along the Tukad Penet watershed, to characterize the cultural landscape of penglukatan sites, and to analyze the growth of penglukatan locations through biophysical, socio-cultural, economic, and legal aspects. The goal is to develop strategic recommendations for sustainable tourism using a Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) approach. The research was conducted along the Tukad Penet watershed, which administratively spans three regencies: Buleleng, Tabanan, and Badung. Identification was based on eleven landscape elements. To assess public knowledge of penglukatan cultural landscapes, the Kruskal-Wallis test was applied. After data analysis, development strategies were formulated using the SWOT method. There are 9 penglukatan cultural landscape sites identified along the Tukad Penet watershed. Badung Regency has five sites, while Tabanan Regency has four. Management of these sites is categorized into traditional village governance and private ownership. Most locations are managed by traditional villages. In terms of facilities, privately managed sites tend to offer better access, facilities, and supporting activities compared to those under traditional village management. In upstream areas, considered the head of the watershed, the primary focus is on preserving the sacred and religious aspects of the penglukatan landscape, and tourism is not the main objective. This differs from downstream areas, particularly in Badung Regency, where the focus is on tourism development by traditional villages aiming to establish tourist destinations. Downstream locations have higher tourism potential due to better infrastructure and greater visitor numbers. All penglukatan cultural landscapes utilize spatial arrangements based on the Tri Mandala concept, which reflects the local wisdom of the Balinese community. This concept includes Utama Mandala, the holiest inner zone used for prayer; Madya Mandala, the central area for gatherings; and Nista Mandala, the outermost and least sacred area used for melukat rituals before entering the holier spaces. The landscape’s overall response to the environment still maintains its authenticity and makes use of natural landscape features such as caves, rivers, and springs. The physical characteristics of the penglukatan sites show that all locations are enclosed by boundary walls called penyengker, and river streams often serve as natural borders. The penglukatan cultural landscape holds great potential for further development and sustainability. Its function as a sacred site can still be preserved, while its tourism potential can also be explored. Therefore, support from all aspects biophysical, socio-cultural, economic, and legal is essential. The most dominant factor is the socio-cultural aspect, as the local community and tourism stakeholders continue to uphold traditional values. This aspect plays a crucial role in developing penglukatan cultural landscapes and should be prioritized for preservation. Given these supporting factors, the possibility of establishing new penglukatan sites along the Tukad Penet watershed remains open. Referring to the Hold and Maintain strategy approach, the management of cultural landscapes for penglukatan is directed toward preserving existing cultural, ecological, and spiritual values, while enhancing the quality of management in a sustainable manner. From the seven analyzed recommendations, three core strategies were identified as the most crucial and applicable: improving tourism spaces and infrastructure, development based on data and analysis, and the enforcement of customary rules with firm sanctions. These three main strategies are integrated with four supporting recommendations to form a more comprehensive and synergistic approach. This strategy not only strengthens the physical and sociocultural aspects of the area but also encourages community involvement, improves the capacity of local personnel, and ensures the continuity of the sacred and ecological functions of the penglukatan landscape.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/168744
Appears in Collections:MT - Agriculture

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
cover_A4501211024_ea543f5969b44c8c8e41a501c9d93337.pdfCover1.5 MBAdobe PDFView/Open
fulltext_A4501211024_e0d2f92eb14e4423a41c1ff376b4cd28.pdf
  Restricted Access
Fulltext6.56 MBAdobe PDFView/Open
lampiran_A4501211024_690aab658f7941d98ee1eef1e81ecd8d.pdf
  Restricted Access
Lampiran402.15 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.