Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/168542Full metadata record
| DC Field | Value | Language |
|---|---|---|
| dc.contributor.advisor | Ichwandi, Iin | - |
| dc.contributor.advisor | Nugroho, Bramasto | - |
| dc.contributor.author | S, Rizki Sukarman | - |
| dc.date.accessioned | 2025-08-10T06:12:06Z | - |
| dc.date.available | 2025-08-10T06:12:06Z | - |
| dc.date.issued | 2025 | - |
| dc.identifier.uri | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/168542 | - |
| dc.description.abstract | Kawasan KPH Rinjani Timur di NTB tengah menghadapi kerusakan dan degradasi hutan yang serius, terutama disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi area pertanian serta aktivitas penebangan liar (illegal logging). Pemerintah melaksanakan RHL guna memulihkan fungsi dan kondisi ekosistem hutan. Namun, implementasinya dihadapkan berbagai hambatan kelembagaan. Kelembagaan memainkan peran sebagai kerangka yang mengatur hubungan antaraktor, pembagian peran, serta mekanisme pengambilan keputusan di tingkat tapak. Konsep kelembagaan tidak hanya mencakup struktur formal seperti instansi pemerintah, tetapi juga mencakup aturan main, norma sosial, dan praktik-praktik lokal. Keberhasilan RHL sangat bergantung pada koordinasi antarlembaga yang efektif, baik secara vertikal (antara pusat dan daerah) maupun horizontal (antarlembaga di tingkat lokal), serta partisipasi aktif masyarakat sebagai pelaksana kegiatan dan penerima manfaat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik fisik; (2) menganalisis struktur kelembagaan; (3) mengkaji perilaku aktor; dan (4) mengevaluasi kinerja kelembagaan RHL. Penelitian ini difokuskan pada dua desa pelaksana RHL tahun 2021, yakni Desa Gunung Malang dan Desa Padak Guar. Pelaksanaan RHL dilakukan melalui dua skema yaitu swakelola seluas 25 ha di Desa Gunung Malang dan kontraktual oleh CV. SZ mencakup masing-masing 50 ha di Desa Gunung Malang dan Desa Padak Guar. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis SSPK (Struktur Kelembagaan, Karakteristik Sumber Daya, Perilaku Aktor, dan Kinerja Kelembagaan) sebagaimana dikembangkan oleh Nugroho (2016). Dalam kerangka ini, kinerja kelembagaan ditentukan oleh tiga komponen utama yang saling memengaruhi, yaitu struktur kelembagaan, karakteristik sumber daya, dan perilaku aktor. Ketiganya membentuk dinamika kelembagaan yang pada akhirnya memengaruhi keberhasilan pelaksanaan program RHL. Temuan pertama berkaitan dengan karakteristik sumber daya. Area RHL memiliki karakteristik lahan kering, berbatu, dengan akses air yang terbatas. Kawasan ini terdapat aktivitas masyarakat dan dikelola dengan pendekatan agroforestri. Sementara dari sisi karakteristik penyediaan dan konsumsinya, area RHL dikategorikan sebagai common pool resources (CPRs) atau sumber daya bersama. CPRs memiliki dua ciri utama, yakni non-excludable (sulit untuk mengecualikan pihak lain dalam mengakses sumber daya) dan subtractable (pemanfaatan oleh satu pihak mengurangi ketersediaan bagi pihak lain). Karakteristik ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam pengelolaan, karena memerlukan mekanisme kelembagaan yang mampu mengatur akses, penggunaan, dan pemeliharaan sumber daya secara kolektif dan berkelanjutan. Kedua, struktur kelembagaan terdiri atas dua bentuk utama: kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Kelembagaan formal mencakup regulasi, prosedur operasional standar (SOP). Sementara itu, kelembagaan informal merujuk pada norma-norma sosial, nilai, dan praktik lokal yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini menemukan adanya perbedaan efektivitas antara dua skema pelaksanaan RHL. Skema swakelola yang dilaksanakan oleh KPH Rinjani Timur menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan skema kontraktual yang dilaksanakan oleh CV. SZ. Perbedaan ini terutama tampak dalam aspek pengawasan lapangan dan tingkat pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi. Sintesis dari temuan terkait struktur kelembagaan menunjukkan beberapa hal penting: (1) Terdapat ketidakjelasan beberapa posisi dan kewenangan yang mengakibatkan tumpang tindih peran yang perlu didefinisikan; (2) Nilai-nilai integritas seperti kejujuran perlu ditanamkan dan ditegakkan berdasarkan aturan main; (3) Target capaian minimal 75% tidak seharusnya hanya dijadikan indikator administratif, tetapi harus mencerminkan kualitas capaian secara substantif; (4) Minimnya keterbukaan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan RHL menjadi kendala serius dalam mendorong partisipasi dan akuntabilitas; dan (5) Diperlukan komitmen bersama dan aturan main yang jelas untuk pengelolaan pasca serah terima RHL, termasuk dukungan kebijakan anggaran jangka panjang yang berkelanjutan. Ketiga, dimensi perilaku aktor dalam pelaksanaan RHL melibatkan berbagai pihak, antara lain DLHK NTB, BPDASHL Dodokan Moyosari, KPH Rinjani Timur, pihak swasta yaitu CV. SZ sebagai kontraktor pelaksana, akademisi, serta masyarakat. Masing-masing aktor memiliki peran yang dijalankan sesuai dengan aturan main yang berlaku dan menunjukkan perilaku yang berbeda dalam memaknai serta mengelola sumber daya RHL. Namun demikian, penelitian ini menemukan bahwa peran masyarakat dalam berbagai tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan monitoring evaluasi masih perlu ditingkatkan. Penguatan peran masyarakat lokal menjadi penting tidak hanya untuk efektivitas program, tetapi juga sebagai strategi membangun kemandirian, rasa memiliki, serta motivasi yang kuat dalam menjaga dan memelihara hasil rehabilitasi secara berkelanjutan. Keempat, kinerja kelembagaan RHL menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok antara dua skema pelaksanaan. Berdasarkan hasil wawancara serta laporan berita acara penilaian lapangan, tingkat keberhasilan kegiatan RHL melalui skema swakelola mencapai 87,88%, sedangkan skema kontraktual 77%. Kinerja kelembagaan dinilai lebih baik pada skema swakelola yang dikelola oleh KPH Rinjani Timur dari pada secara kontraktual. Hal ini ditunjukkan melalui pengawasan yang lebih ketat, serta tingkat partisipasi masyarakat yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada skema kontraktual yang dilaksanakan oleh CV. SZ, ditemukan lebih banyak kendala, seperti lemahnya pengawasan, tidak adanya penegakan sanksi yang tegas, serta minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan. Sementara wawancara terhadap responden menyatakan keberhasilan swakelola yaitu 72% dan 4% kontraktual (survei). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan RHL di lokasi penelitian masih belum optimal. Kelembagaan yang ada belum mampu secara efektif menjamin keberlanjutan hasil rehabilitasi dalam jangka panjang. Diperlukan penguatan aspek koordinasi, penegakan aturan, dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan kelembagaan yang adaptif, akuntabel, dan berkelanjutan dalam mendukung keberhasilan program RHL. | - |
| dc.description.sponsorship | null | - |
| dc.language.iso | id | - |
| dc.publisher | IPB University | id |
| dc.title | Kelembagaan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di KPH Rinjani Timur | id |
| dc.title.alternative | null | - |
| dc.type | Tesis | - |
| dc.subject.keyword | Alih fungsi lahan | id |
| dc.subject.keyword | kelembagaan | id |
| dc.subject.keyword | KPH Rinjani Timur | id |
| dc.subject.keyword | RHL | id |
| dc.subject.keyword | SSPK | id |
| Appears in Collections: | MT - Forestry | |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| cover_E1501221003_17fb346d44544ea78b441fe62a5688dc.pdf | Cover | 7.68 MB | Adobe PDF | View/Open |
| fulltext_E1501221003_04695c711bd14a24b205e74733895bef.pdf Restricted Access | Fulltext | 931.56 kB | Adobe PDF | View/Open |
| lampiran_E1501221003_6575975338274143b322dea17623c497.pdf Restricted Access | Lampiran | 4.3 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.