Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/166811| Title: | Kebijakan Upah Minimum di Indonesia: Efeknya terhadap Pekerja Berupah Rendah dan Ketimpangan Upah |
| Other Titles: | Minimum Wage Policy in Indonesia: Its Effects on Low-Wage Workers and Wage Inequality |
| Authors: | Mulatsih, Sri Anggraeni, Lukytawati Siregar, Hermanto Agusalim, Lestari |
| Issue Date: | 2025 |
| Publisher: | IPB University |
| Abstract: | Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai profil pekerja berupah rendah dan ketimpangan upah yang terjadi di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan UMP terhadap jam kerja, upah riil, dan ketimpangan upah. Sumber data utama yang digunakan berasal dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang berlangsung antara Agustus 2018 hingga Agustus 2023. Melalui analisis deskriptif dan model regresi logit, ditemukan bahwa pekerja berupah rendah mencerminkan kerentanan di pasar tenaga kerja dan ketidaksetaraan struktural yang mendalam. Kelompok ini umumnya berpendidikan rendah, bekerja di sektor informal atau pertanian, dan tinggal di daerah pedesaan. Pekerjaan yang dilakukan biasanya paruh waktu atau tidak tetap, menyebabkan pendapatan rendah dan ketidakstabilan ekonomi. Perempuan dan generasi muda (Gen Z) lebih rentan terperangkap dalam kondisi ini akibat hambatan struktural yang tidak seimbang. Pandemi COVID-19 memperburuk situasi, meningkatkan risiko ekonomi yang belum pulih sepenuhnya. Sebaliknya, pekerja berpendidikan tinggi dengan jam kerja lebih panjang cenderung mendapatkan pekerjaan stabil dan bergaji lebih tinggi, mengurangi risiko pekerjaan berupah rendah. Sementara itu, kesenjangan upah di Indonesia menunjukkan penurunan yang lambat, beberapa indikator menunjukkan perbaikan distribusi upah menuju pemerataan. Namun, jurang antara kelompok berupah tertinggi dan terendah masih besar.
Dampak kebijakan upah minimum terhadap jam kerja dan upah riil dianalisis menggunakan metode Difference-In-Differences (DID) yang sepenuhnya fleksibel. Hasilnya menunjukkan penurunan rata-rata jam kerja pada pekerja yang terdampak kebijakan, namun diikuti dengan peningkatan rata-rata upah riil. Dampak kebijakan ini berbeda-beda berdasarkan sektor, jenis kelamin, dan wilayah geografis. Di sektor pertanian, misalnya, jam kerja justru mengalami peningkatan, sementara di sektor pendidikan dan administrasi pemerintah, jam kerja mengalami penurunan. Perempuan mengalami penurunan jam kerja tanpa adanya peningkatan signifikan dalam upah riil, sementara laki-laki mendapatkan peningkatan upah riil yang lebih jelas. Secara regional, penurunan jam kerja lebih cepat terjadi di pedesaan, sementara peningkatan upah riil lebih terasa di kota-kota besar setelah kebijakan diterapkan.
Ketimpangan upah yang diakibatkan oleh kebijakan UMP dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan regresi panel OLS dan 2SLS. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini cenderung memperburuk ketimpangan upah, baik di bagian bawah maupun atas distribusi upah. Indikator ketimpangan, seperti Indeks Gini, varians log upah riil, rasio Palma, dan Quintile Share Ratio (QSR), menunjukkan bahwa kebijakan ini memperlebar kesenjangan antara pekerja berupah rendah dan pekerja berupah tinggi, serta antara median dan kelompok pekerja berupah tinggi. Temuan ini juga diperkuat dengan Indeks Kaitz, yang menunjukkan kondisi overbinding, di mana upah minimum yang terlalu mendekati atau melebihi median upah dapat mengakibatkan distorsi dalam pasar tenaga kerja.
Berdasarkan temuan-temuan ini, kebijakan untuk melindungi pekerja berupah rendah dan mengatasi ketimpangan upah perlu difokuskan pada reformasi upah minimum yang lebih fleksibel. Salah satunya adalah penerapan sistem upah per jam dan sektoral yang disesuaikan dengan produktivitas dan biaya hidup lokal. Dewan Pengupahan Daerah sebaiknya diberikan kewenangan lebih untuk menetapkan upah berdasarkan indikator lokal. Agar kebijakan ini lebih efektif, perlu diintegrasikan dengan kebijakan jaminan sosial dan perlindungan pekerja informal. Selain itu, program pelatihan keterampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, serta pendidikan lanjutan, dapat meningkatkan kemampuan pekerja dan akses ke pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Kebijakan kerja fleksibel, seperti jam kerja yang disesuaikan dan opsi telecommuting, penting untuk mendukung keseimbangan kerja-hidup. Pemberian subsidi atau insentif juga dapat meringankan beban finansial untuk perusahaan dan pekerja. Evaluasi berkala terhadap kebijakan upah minimum diperlukan untuk memastikan pengurangan ketimpangan dan peningkatan kesejahteraan pekerja. This study aims to provide an overview of the profile of low-wage workers and wage inequality in Indonesia. Furthermore, the study analyzes the effects of the PMW policy on working hours, real wages, and wage inequality. The primary data source comes from the National Labor Force Survey (Sakernas) conducted between August 2018 and August 2023. Through descriptive analysis and a logit regression model, it was found that low-wage workers reflect vulnerability in the labor market and deep structural inequality. This group is generally low-educated, employed in the informal sector or agriculture, and resides in rural areas. The work undertaken is typically part-time or irregular, leading to low income and economic instability. Women and the younger generation (Gen Z) are more likely to be trapped in this condition due to disproportionate structural barriers. The COVID-19 pandemic has worsened the situation, increasing economic risks that have yet to fully recover post-pandemic. In contrast, workers with higher education and longer working hours are more likely to secure stable, higher-paying jobs, thus reducing the risk of low-wage employment. Meanwhile, although wage inequality in Indonesia shows a slow decline, some indicators suggest improvements in wage distribution toward greater equity. However, the gap between the highest and lowest wage earners remains large. The impact of the minimum wage policy on hours worked and real wages was analyzed using a fully flexible Difference-In-Differences (DID) method. The results indicate a decrease in average hours worked among affected workers, but this was followed by an increase in average real wages. The impact of the policy varies by sector, gender, and geographical region. In the agricultural sector, for instance, hours worked actually increased, while in the education and public administration sectors, hours worked decreased. Women experienced a reduction in hours worked without a significant increase in real wages, while men saw clearer increases in real wages. Regionally, reductions in hours worked were faster in rural areas, while real wage increases were more pronounced in major cities after the policy implementation. Wage inequality caused by the PMW policy was further analyzed using OLS panel regression and 2SLS. The analysis results indicate that the policy tends to exacerbate wage inequality, both at the lower and upper ends of the wage distribution. Inequality indicators, such as the Gini Index, the variance of log real wages, the Palma ratio, and the Quintile Share Ratio (QSR), show that the policy widens the gap between low-wage and high-wage workers, as well as between the median and high-wage worker groups. This finding is also supported by the Kaitz Index, which indicates overbinding, where minimum wages that are too close to or exceed the median wage may distort the labor market. Based on these findings, policies aimed at protecting low-wage workers and addressing wage disparities should focus on reforming the minimum wage system to be more flexible. One approach is the implementation of an hourly and sectoral wage system that are adjusted according to local productivity and cost of living. Local Wage Councils should be granted greater authority to set wages based on local indicators. In order for this policy to be more effective, it should be integrated with social security policies and protection for informal workers. Additionally, skills training programs tailored to market needs, as well as continued education, can enhance workers' capabilities and provide greater access to higher-wage employment opportunities. Flexible work policies, such as adjusted working hours and telecommuting options, are essential to support work-life balance. Providing subsidies or incentives can also ease the financial burden on companies and workers, especially during times of crisis. Periodic evaluations of the minimum wage policy are necessary to ensure the reduction of wage inequalities and the improvement of workers' welfare. |
| URI: | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/166811 |
| Appears in Collections: | DT - Economic and Management |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| cover_H161190031_555f92eacafe424c87487c9abb954c3f.pdf | Cover | 2.43 MB | Adobe PDF | View/Open |
| fulltext_H161190031_a2146b16c561488bab49e7289c65efca.pdf Restricted Access | Fulltext | 5.37 MB | Adobe PDF | View/Open |
| lampiran_H161190031_692b7813de62453fab715a97d02f7001.pdf Restricted Access | Lampiran | 2.57 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.