Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/166672| Title: | Analisis Keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantargebang dan Implikasinya terhadap Eksistensi Pemulung |
| Other Titles: | |
| Authors: | Dharmawan, Arya Hadi Nuva Tampubolon, Arisandy Fernando |
| Issue Date: | 2025 |
| Publisher: | IPB University |
| Abstract: | Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi solusi penting dalam menghadapi keterbatasan energi fosil dan mitigasi perubahan iklim, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sejalan dengan komitmen global melalui Paris Agreement dan target nasional dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga tahun 2050, Indonesia mendorong transisi energi melalui berbagai kebijakan, termasuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai alternatif yang tidak hanya menghasilkan energi bersih tetapi juga mengatasi permasalahan sampah. Salah satu contoh implementasinya adalah PLTSa Bantargebang, yang mampu mengolah sampah menjadi listrik, sekaligus menjadi model percontohan nasional dalam peroyek energi terbarukan. Namun, pengembangan PLTSa menghadapi berbagai tantangan dan termasuk juga tantangan sosial, khususnya keberadaan pemulung yang selama ini sudah berperan dalam pengelolaan sampah daur ulang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis keberlanjutan PLTSa dalam mendukung energi terbarukan dan juga bagaimana PLTSa dapat dijadikan sebagai momentum dalam mendukung transformasi sosial bagi pemulung yang selama ini berperan penting namun hidup dalam kerentanan. Penelitian ini dilakukan mulai dari Agustus 2023-Maret 2024 yang berlokasi di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi lapangan, indepth interview, studi literature, dan Forum Group Discussion (FGD). Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan Multiaspect Sustainability Analysis (MSA) untuk melihat status keberlanjutan dari PLTSa pada aspek lingkungan, sosial, ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Kemudian akan dilakukan juga analisis secara deskriptif untuk melihat bagaimana kondisi sosial ekonomi pemulung ditengah keberadaan dari PLTSa pada aspek tingkat pendidikan, peluang pekerjaan, tingkat pendapatan, dan relasi sosial . Berdasarkan kedua pendekatan tersebut akan diketahui bagaimana strategi dalam pengembangan PLTSa yang berkelanjutan dan bersifat adil bagi keadaan sosial disekitarnya. Hasil penelitian menggunakan pendekatan MSA diperoleh status keberlanjutan PLTSa Bantargebang dari masing-masing aspek sebagai berikut: aspek lingkungan berstatus berkelanjutan (75), aspek sosial berstatus berkelanjutan (69,5), aspek ekonomi kurang berkelanjutan (50), aspek teknologi kurang berkelanjutan (50), dan aspek kelembagaan berkelanjutan (54,86). Pada aspek ekonomi yang berstatus kurang berkelanjutan terdapat faktor yang paling berpengaruh terhadap status keberlanjutannya apabila dilakukan perbaikan yaitu faktor kualitas bahan baku. Kemudian pada aspek teknologi, faktor yang paling berpengaruh terhadap status keberlanjutannya apabila dilakukan perbaikan adalah faktor tonase sampah terolah perharinya. Namun secara keseluruhan, PLTSa Bantargebang berada pada status yang berkelanjutan dengan nilai 59,87. Selanjutanya berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, tingkat pendidikan pemulung berada pada tingkat yang rendah yang didominasi pada lulusan SD dengan persentase 86% dari total responden. Kemudian pada aspek peluang pekerjaan juga terbatas bagi pemulung karena tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pada tingkat pendapatan rata-rata pendapatan pemulung sebesar Rp. 3.639.118 yang berada dibawah UMR Kota Bekasi yaitu Rp. 5.343.430. Kemudian relasi sosial yang terjalin diantara pemulung diantaranya paguyuban daerah, kegiatan keagamaan, dan ikatan kelembagaan yang menaungi pemulung. Kemudian adanya relasi antar aktor yang berperan dalam pengelolaan sampah daur ulang di TPST Bantargebang mulai dari pemulung, pelapak, pengepul, penggiling/pengepress, industri, dan pabrikan/produsen. PLTSa Bantargebang dinilai berstatus berkelanjutan dengan skor 59,87, namun masih menghadapi tantangan pada aspek ekonomi dan teknologi. Kualitas bahan baku sampah yang rendah meningkatkan kebutuhan pre-treatment dan biaya operasional, sementara tonase sampah yang dibakar belum optimal akibat proses pemilahan yang belum efektif. Padahal, pemilahan sejak dari sumber melalui penegakan kebijakan dan edukasi publik menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan PLTSa. Sebagai bagian dari transisi menuju energi bersih, PLTSa memiliki peran strategis dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung prinsip ekonomi sirkular. Keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada peningkatan efisiensi teknologi dan pengendalian emisi, penguatan kelembagaan dan tata kelola melalui integrasi dalam perencanaan energi, serta dukungan sistemik dari negara. Dengan itu, PLTSa berpotensi menjadi pilar penting dalam pencapaian target energi terbarukan 23% pada 2025 dan komitmen NDC Indonesia. Namun tanpa reformasi kebijakan yang kuat, PLTSa berisiko menjadi proyek percontohan yang tidak berkelanjutan secara ekonomi dan teknis. Pemulung di TPST Bantargebang berperan penting dalam sistem pengelolaan sampah, namun hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rentan dengan tingkat pendidikan rendah, pendapatan tidak stabil, dan minim akses terhadap layanan dasar serta perlindungan kerja. Kehadiran PLTSa sebagai solusi teknologi membawa potensi pengurangan akses pemulung terhadap sumber penghidupan mereka, terutama jika sistem pemilahan tidak efektif. Meski demikian, terdapat sinyal perubahan dari dalam komunitas pemulung, seperti meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan keinginan keluar dari sektor informal. Peluang ini perlu ditangkap melalui pembangunan sistem transisi yang inklusif dan adil, termasuk pelatihan keterampilan, perlindungan sosial, serta pelibatan aktif pemulung dalam perencanaan dan pengelolaan sampah modern. Dalam kerangka ekonomi sirkular, PLTSa harus menjadi solusi akhir untuk residu, bukan menggantikan proses daur ulang informal. Tanpa reformasi tata kelola pemilahan dan penguatan sektor informal, PLTSa justru dapat memperburuk ketimpangan sosial dan merusak ekosistem sirkular yang telah terbentuk. |
| URI: | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/166672 |
| Appears in Collections: | MT - Multidiciplinary Program |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| cover_P0502211058_ed801bdab06b42829f8832f4412b275f.pdf | Cover | 624.48 kB | Adobe PDF | View/Open |
| fulltext_P0502211058_397d3d29d3c447569872255ffb7ccfb9.pdf Restricted Access | Fulltext | 2.1 MB | Adobe PDF | View/Open |
| lampiran_P0502211058_9aaa5f038c7f4551a6bb4864d6b462dc.pdf Restricted Access | Lampiran | 1.56 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.