Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Logistik Ekspor Komoditas Perikanan Tuna dari Bali

Abstract

Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan disrupsi fundamental pada rantai logistik global dan secara khusus mengekspos kerentanan pada sistem ekspor komoditas perikanan tuna dari Bali, yang memegang peranan sebagai salah satu hub strategis di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pandemi secara komprehensif dengan (1) menggambarkan dinamika dan transformasi moda transportasi logistik, (2) menganalisis tren historis serta fluktuasi volume dan nilai ekspor periode 2016–2023, (3) mengukur dampak kausal dari intervensi kebijakan pembatasan sosial, dan (4) menyusun prioritas strategi logistik yang optimal untuk mendukung resiliensi serta keberlanjutan ekspor di masa krisis. Guna mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menerapkan pendekatan metodologi gabungan yang mencakup analisis deskriptif kualitatif, analisis deret waktu kuantitatif (STL, ARIMA, dan MITSA), serta Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mensintesis penilaian para ahli. Hasil penelitian menunjukkan adanya transformasi pola logistik yang sangat drastis. Sebelum pandemi, sistem logistik ekspor tuna Bali beroperasi di atas model dual-moda yang efisien namun rapuh. Moda angkutan udara (air freight), yang sangat bergantung pada kapasitas kargo pesawat penumpang (belly cargo), menjadi tulang punggung bagi ekspor tuna segar bernilai tinggi. Di sisi lain, moda angkutan laut (sea freight) diandalkan untuk ekspor tuna beku dalam volume besar langsung dari Pelabuhan Benoa. Pandemi menyebabkan kedua pilar ini runtuh; pembatasan perjalanan internasional melumpuhkan kapasitas belly cargo, dan penurunan volume perdagangan membuat layanan pelayaran langsung dari Bali tidak lagi layak secara komersial. Kondisi ini memaksa industri melakukan transformasi defensif dengan mengadopsi rute multimoda kombinasi darat-laut (land bridge) melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Meskipun rute ini menjadi penyelamat, secara inheren ia tidak efisien, lebih mahal, dan sarat akan risiko akibat waktu transit yang panjang serta tantangan infrastruktur jalan. Analisis deret waktu kuantitatif berhasil mengukur dampak disrupsi secara statistik. Model Multiple Interrupted Time Series Analysis (MITSA) membuktikan bahwa implementasi kebijakan PSBB pada April 2020 menyebabkan penurunan level yang signifikan, baik pada volume maupun nilai ekspor. Temuan krusial lainnya adalah terjadinya divergensi kinerja selama periode PPKM Darurat (Juli-Agustus 2021); meskipun volume ekspor berhasil distabilkan melalui adaptasi rute multimoda, nilai ekspor justru menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Fenomena ini mengonfirmasi adanya tekanan ekonomi hebat yang memaksa eksportir untuk beralih ke produk beku bernilai lebih rendah dan menyerap lonjakan biaya logistik. Lebih lanjut, model peramalan ARIMA memproyeksikan bahwa kinerja ekspor pascapandemi cenderung stagnan pada level "new normal" yang lebih rendah, tanpa adanya indikasi pemulihan yang kuat secara otomatis. Untuk merumuskan strategi pemulihan, penelitian ini menggunakan AHP berdasarkan penilaian para ahli dari kalangan pemerintah, industri, dan akademisi. Hasilnya mengungkap adanya pergeseran paradigma dalam pengambilan keputusan logistik, di mana kriteria Waktu Pengiriman dan Keandalan menjadi prioritas yang jauh lebih penting daripada Biaya Logistik. Hal ini menegaskan bahwa untuk komoditas premium seperti tuna, menjaga kualitas melalui kecepatan dan kepastian layanan merupakan faktor penentu daya saing yang utama. Berdasarkan kriteria tersebut, strategi yang paling optimal adalah "Optimalisasi Angkutan Udara". Pilihan ini merefleksikan kebutuhan pragmatis untuk memulihkan jalur logistik yang paling vital secara ekonomi. Strategi "Dukungan Angkutan Laut" menempati prioritas kedua sebagai alternatif penting untuk diversifikasi dan skala ekonomi. Sementara itu, "Pengembangan Pusat Logistik Terintegrasi" dipandang sebagai visi jangka panjang, dan "Perbaikan Infrastruktur Kombinasi Darat dan Laut" menjadi pilihan terakhir yang hanya relevan sebagai rencana kontinjensi darurat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pandemi telah mengubah secara permanen lanskap logistik ekspor tuna Bali. Keberhasilan di masa depan tidak lagi cukup diukur dari efisiensi semata, melainkan dari kemampuan untuk membangun sistem yang tangguh dan adaptif. Implikasi utama dari temuan ini adalah perlunya upaya terkoordinasi untuk merevitalisasi dan mengoptimalkan moda angkutan udara sebagai pendorong ekonomi utama, sambil secara paralel mengembangkan moda laut sebagai pilar pendukung yang kuat untuk mitigasi risiko dan diversifikasi pasar.

The COVID-19 pandemic has caused a fundamental disruption to global logistics chains, specifically exposing the vulnerabilities within the export system for tuna commodities from Bali, one of Indonesia's strategic fishery hubs. This research aims to comprehensively analyze the pandemic's impact by (1) describing the dynamics and transformation of logistics transportation modes, (2) analyzing historical trends and fluctuations in export volume and value for the 2016–2023 period, (3) measuring the causal impact of social restriction policy interventions, and (4) formulating priority logistics strategies to support resilience and export sustainability in times of crisis. To achieve these objectives, this study implements a mixed-methods approach that includes qualitative descriptive analysis, quantitative time-series analysis (STL, ARIMA, and MITSA), and the Analytical Hierarchy Process (AHP). The research findings indicate a drastic transformation in logistics patterns. Before the pandemic, Bali's tuna export logistics system operated on a dual-mode model that was efficient yet fragile. Air freight, heavily reliant on the cargo capacity of passenger aircraft (belly cargo), served as the backbone for high-value fresh tuna exports. Meanwhile, sea freight was utilized for large-volume frozen tuna exports directly from the Port of Benoa. The pandemic caused both these pillars to collapse; international travel restrictions decimated belly cargo capacity, and the decline in trade volume rendered direct shipping services from Bali commercially unviable. This situation forced the industry into a defensive transformation by adopting a multimodal land-sea combination route (land bridge) via the Port of Tanjung Perak, Surabaya. Although this route became a lifeline, it is inherently inefficient, costlier, and fraught with risks due to longer transit times and infrastructure challenges. Quantitative time-series analysis successfully measured the disruption's impact statistically. The Multiple Interrupted Time Series Analysis (MITSA) model proved that the implementation of Large-Scale Social Restrictions (PSBB) in April 2020 caused a significant level drop in both export volume and value. Another crucial finding was the performance divergence during the Emergency PPKM period (July-August 2021); although export volume was stabilized through adaptation to the multimodal route, export value exhibited a significant downward trend. This phenomenon confirms the severe economic pressure that forced exporters to shift to lower-value frozen products and absorb soaring logistics costs. Furthermore, the ARIMA forecasting model projects that post-pandemic export performance is likely to stagnate at a "new normal" level, with no indication of a strong automatic recovery. To formulate recovery strategies, this study employed the AHP based on expert judgment from government, industry, and academia. The results revealed a paradigm shift in logistics decision-making, where the criteria of Delivery Time and Reliability became far more critical than Logistics Cost. This preference underscores that for premium commodities like tuna, preserving quality through speed and service certainty is the primary competitive factor. Based on these criteria, the most optimal strategy was identified as the "Optimization of Air Freight". This choice reflects a pragmatic need to restore the most economically vital logistics channel. The "Support for Sea Freight" strategy ranked second as an essential alternative for diversification and economies of scale. Meanwhile, the "Development of an Integrated Logistics Center" is viewed as a long-term vision, and the "Improvement of Land and Sea Combination Infrastructure" was the last choice, relevant only as an emergency contingency plan. This research concludes that the pandemic has permanently altered the landscape of Bali's tuna export logistics. Future success can no longer be measured by efficiency alone but by the ability to build a resilient and adaptive system. The main implication of these findings is the need for a coordinated effort to revitalize and optimize air freight as the primary economic driver, while simultaneously developing sea freight as a robust supporting pillar for risk mitigation and market diversification.