Strategi Pemulihan Pengelolaan Hutan Mangrove untuk Ekowisata Pasca Banjir Rob di Pandansari, Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah

Abstract

Keberlanjutan ekowisata ditentukan berdasarkan keberhasilan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove, memberikan manfaat sosial ekonomi, dan menjamin peran aktif para pihak. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi pengelolaan hutan mangrove untuk ekowisata dengan mengidentifikasi perubahan luas kawasan hutan mangrove dan sarana ekowisata, menganalisis kelayakan finansial, dan mengkaji kelembagaan serta pengaruh dan kepentingan para pihak yang terlibat dalam Ekowisata Mangrove Sari. Luas kawasan hutan mangrove diukur dengan melakukan deliniasi citra dan pengecekan lapangan. Sarana ekowisata dengan menggunakan metode analisis sejarah. Analisis kelayakan finansial menggunakan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Net B/C ratio, Internal Net of Return (IRR), dan payback period (PP). Struktur kelembagaan dianalisis menggunakan teori aturan (rule in-use). Analisis stakeholder dengan memetakan pengaruh dan kepentingan ke dalam empat kuadran yaitu key players, context setter, subject, dan crowds. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan Mangrove Sari mengalami kenaikan dari tahun 2017 hingga tahun 2023, yaitu 38,17 ha/tahun. Perlu melanjutkan rehabilitasi hutan mangrove melalui kolaborasi antar pihak dengan menanam pada lokasi yang lebih jarang ditumbuhi mangrove dan rawan terkena banjir rob. Sebagian besar fasilitas Ekowisata Mangrove Sari mengalami kerusakan. Perlu meningkatkan variasi kegiatan ekowisata dan memperbaiki fasilitas yang rusak. Secara finansial Ekowisata Mangrove Sari tidak layak untuk diusahakan. Ekowisata masih berjalan dan diusahakan karena memiliki fungsi lain yaitu pada fungsi lingkungan sebagai penahan bencana rob. Pengelolaan Ekowisata Mangrove Sari telah didukung oleh regulasi formal dan melibatkan berbagai aktor, tapi masih menghadapi tantangan dalam mempertahankan partisipasi anggota, menyelesaikan konflik internal, serta mengelola informasi dan distribusi manfaat secara adil. Teridentifikasi delapan pemangku kepentingan yang terlibat. Posisi sebagian aktor belum sesuai dan ada potensi konflik yang terjadi. Perlu meningkatkan peran Pokdarwis sebagai key player dan meningkatkan sinergi antar pihak yang terlibat melalui penguatan kelembagaan dan pembentukan forum komunikasi antar pemangku kepentingan.

The sustainability of ecotourism is determined based on the success in maintaining the sustainability of the mangrove ecosystem, providing socio-economic benefits, and ensuring the active role of stakeholders. This study aims to develop a mangrove forest management strategy for ecotourism by identifying changes in the area of mangrove forests and ecotourism facilities, analyzing financial feasibility, and reviewing institutions and the influence and interests of the parties involved in the Mangrove Sari Ecotourism. The area of mangrove forests was measured by conducting image delineation and field checks, using historical analysis methods. Financial feasibility analysis uses the feasibility criteria of Net Present Value (NPV), Net B/C ratio, Internal Net of Return (IRR), and payback period (PP). The institutional structure was analyzed using the theory of rules (rule in use). Stakeholder analysis by mapping influences and interests into four quadrants: key players, context setters, subjects, and crowds. The results show that the area of the Mangrove Sari forest has increased from 2017 to 2023, namely 38.17 ha/year. Mangrove forest rehabilitation must be continued through stakeholder collaboration, planting in locations with less mangrove growth and prone to tidal flooding. Most of the Mangrove Sari Ecotourism facilities have been damaged. Increasing the variety of ecotourism activities and repairing damaged facilities is necessary. The Mangrove Sari Ecotourism is not financially viable. Ecotourism is still operating because it serves another function: protecting the environment from tidal flooding. Formal regulations support the management of the Mangrove Sari Ecotourism and involve various actors. However, they still face challenges maintaining member participation, resolving internal conflicts, managing information, and distributing benefits fairly. The positions of some actors are not yet aligned, and there is potential for conflict. It is necessary to enhance the role of the Tourism Awareness Group (Pokdarwis) as a key player and improve synergy between the parties involved through institutional strengthening and establishing a communication forum between stakeholders.