Komparasi Implementasi Kemitraan dan Dampaknya terhadap Pendapatan Peternak Sapi Perah di Jawa Barat

Abstract

Indonesia saat ini kekurangan pasokan susu dalam negeri sehingga hampir 80 persen kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi oleh impor. Pada tahun 2022 peternak domestik Indonesia hanya mampu memproduksi sebanyak 968.980 ton per tahun sedangkan kebutuhan susu mencapai 4,3 juta ton per tahun. Kemitraan diantara peternak dengan lembaga produksi susu menjadi kunci utama dalam upaya peningkatan pasokan susu segar dalam negeri. Namun, kemitraan tidak selalu berjalan dengan lancar karena dari berbagai skema kemitraan terdapat kekurangan yang mempengaruhi peternak untuk tetap menjadi peternak serta bermitra dengan lembaga peternak. Hal ini menjadi pertimbangan ditinjaunya kemitraan serta pendapatan sebagai salah satu pertimbangan peternak sapi perah untuk melakukan kemitraan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis dampak yang diberikan oleh pola kemitraan yang dijalankan oleh peternak sapi perah terhadap kemitraan yang dijalankan dan pendapatan peternak mitra di Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert, analisis pendapatan, analysis of variance (ANOVA), dan analisis regresi linear berganda. Dengan jumlah responden sebanyak 130 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan persepsi penerapan kemitraan pada pola inti plasma, perdagangan umum, dan subkontrak dimana persepsi pada pola inti plasma mendapat tanggapan sangat baik. Pendapatan peternak dari setiap skala usaha dan pola kemitraan dianggap menguntungkan dengan pola subkontrak pada skala usaha III mendapat pendapatan tertinggi yaitu Rp130.629.806,07 (tunai) dan Rp87.522.654,44 (total). Terdapat perbedaan pada rata-rata pendapatan pada setiap pola kemitraan karena terdapat perbedaan harga susu. Pola kemitraan dengan pola inti plasma dan pola subkontrak memiliki pendapatan lebih tinggi dari pola dagang umum.

Indonesia is experiencing a domestic milk supply shortage, with around 80% of its demand fulfilled through imports. In 2022, Indonesian dairy farmers produced only 968,980 tons annually, while national demand reached 4.3 million tons. Strengthening partnerships between dairy farmers and milk processing institutions is a key strategy to boost the local supply of fresh milk. However, these partnerships often face challenges. Various partnership models have limitations that may discourage farmers from continuing dairy farming or partnering with institutions. This study aims to analyze the impact of different partnership schemes on the partnerships themselves and on the income levels of partner dairy farmers in West Java. The methods used include Likert scale analysis, income analysis, Analysis of Variance (ANOVA), and multiple linear regression, with 130 respondents participating in the study. The findings reveal differences in perceptions across the three partnership models nucleus estate, general trade, and subcontracting. The nucleus estate model received the highest positive perception. In terms of income, all models were considered profitable, with the subcontracting model at farm scale III yielding the highest income: IDR 130,629,806.07 (cash) and IDR 87,522,654.44 (total). Income disparities across partnership models were mainly due to differences in milk prices. Overall, the nucleus estate and subcontracting models provided higher incomes than the general trade model.