Analisis Daya Saing Sapi Bali Rakyat dan Dampak Kebijakan Pemerintah di Wilayah Sentra Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara

Abstract

Sapi Bali sebagai plasma nutfah Indonesia memiliki peran signifikan dalam mendukung ketahanan pangan melalui penyediaan daging dan berkontribusi pada perekonomian melalui peningkatan pendapatan peternak. Namun, hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sapi baik dalam bentuk daging maupun bakalan meski populasi sapi potong lokal meningkat dan sumber daya domestik yang digunakan dalam usaha sapi potong lokal juga melimpah. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah sentra pengembangan sapi potong lokal yaitu sapi Bali tepatnya di Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Muna. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis daya saing sapi Bali rakyat dan dampak kebijakan pemerintah di wilayah sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini, antara lain: (1) Menganalisis daya saing secara kompetitif (efisiensi finansial) dan komparatif (efisiensi ekonomi) sapi Bali rakyat di wilayah sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara, (2) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing sapi Bali rakyat di wilayah sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan (3) Menganalisis perubahan harga input dan output terhadap keuntungan dan daya saing sapi Bali rakyat di wilayah sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengambilan data dilakukan selama empat (4) bulan, mulai dari 28 Juni sampai dengan 28 Oktober tahun 2024 di Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai sentra pengembangan sapi Bali. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan cara wawancara terhadap 240 orang peternak sapi Bali rakyat yang dipandu dengan kuesioner, pengambilan responden tersebut menggunakan metode purposive sampling dengan alasan semua mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan responden namun dengan kriteria yang sudah ditetapkan dengan jumlah sapi Bali yang dipelihara minimal tiga ekor dan memelihara ternaknya dengan sistem pemeliharaan penggemukan (intensif) atau pembibitan digabungkan penggemukan (semi intensif). Selain itu, data primer juga bersumber dari pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) di setiap kabupaten wilayah penelitian melibatkan secara langsung para pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah setempat (Dinas PKH, kecamatan, desa/kelurahan), Balai Penyuluh Pertanian (penyuluh peternakan), peternak sapi Bali, serta akademisi (dosen dan mahasiswa). Adapun, data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian atau Peternakan, Balai Penyuluhan Pertanian, Data Peternakan Desa dan sumber lainnya yang dibutuhkan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Policy Analysis Matrix (PAM) dan Analisis Sensitivitas. Hasil daya saing di Kabupaten Konawe Selatan yaitu PCR 0,77 dan DRC 0,82 dengan PP Rp 2.400.465 per ekor per tahun dan SP Rp. 1.892.654 per ekor per tahun. Hasil daya saing di Kabupaten Muna yaitu PCR 0,52 dan DRC 0,60 dengan PP Rp. 5.744.921 per ekor per tahun dan SP Rp. 4.712.936 per ekor per tahun. Hasil tersebut menyatakan bahwa usaha sapi Bali rakyat di sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki daya saing kompetitif dan komparatif. Artinya, mampu membiayai produksi sapi Bali rakyat dan lebih baik memproduksi secara lokal daripada melakukan impor. Selain itu, menunjukkan nilai efisiensi dari sisi keuntungan privat dan sosial. Artinya, usaha sapi Bali rakyat layak dijalankan. Hasil pada dampak kebijakan pemerintah di Kabupaten Konawe Selatan terhadap output yaitu TO -6.530.857 dan NPCO 0,66, terhadap input yaitu TI -6.506.629, TF -532.040 dan NPCI 0,23, terhadap input dan output yaitu NT 507.812, EPC 1,00, PC 1,27 dan SRP 0,03. Sedangkan di Kabupaten Muna terhadap terhadap output yaitu TO -5.430.601 dan NPCO 0,71, terhadap input yaitu TI -5.660.065, TF -802.521 dan NPCI 0,15, terhadap input dan output yaitu NT 1.031.985, EPC 1,02, PC 1,22 dan SRP 0,06. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dampak kebijakan terhadap output, adanya efek negatif pada usaha ternak sapi Bali dimana kebijakan pemerintah cenderung memberikan disinsentif karena harga output domestik lebih rendah dibandingkan harga dunia. Dampak kebijakan terhadap input, adanya efek positif pada usaha ternak sapi Bali dimana kebijakan pemerintah mendukung produsen melalui subsidi input tradable dan proteksi harga input domestik yang menciptakan surplus tambahan bagi peternak, melindungi produksi domestik serta menurunkan biaya input domestik. Sedangkan dampak kebijakan terhadap input-output, adanya efek positif pada usaha ternak sapi Bali dimana kebijakan pemerintah memberikan insentif positif bagi peternak, adanya surplus tambahan bagi peternak, efektif dalam melindungi produksi dan menurunkan biaya produksi lebih rendah dibandingkan dengan biaya imbangannya (opportunity cost). Hasil analisis sensitivitas di Kabupaten Konawe Selatan, jika penurunan harga jual sapi siap potong (output) sebesar 10% maka nilai DRC 1,00 dan PCR 0,88 dengan PP Rp. 1.144.723 per ekor per tahun dan SP Rp. -16.174 per ekor per tahun sedangkan di Kabupaten Muna DRC 0,71 dan PCR 0,59 dengan PP Rp. 4.439.152 per ekor per tahun dan SP Rp. 2.864.107 per ekor per tahun. Jika kondisi ketika harga beli sapi Bali bakalan (input) meningkat 15% di Kabupaten Konawe Selatan maka nilai DRC 0,88 dan PCR 0,82 dengan PP Rp. 1.942.590 per ekor per tahun dan SP Rp. 1.227.704 per ekor per tahun sedangkan di Kabupaten Muna DRC 0,65 dan PCR 0,55 dengan PP Rp. 5.388.671 per ekor per tahun dan SP Rp. 4.180.984 per ekor per tahun. Apabila kenaikan harga BBM (input) sebesar 15% di Kabupaten Konawe Selatan maka nilai DRC 0,83 dan PCR 0,80 dengan PP Rp. 2.034.063 per ekor per tahun dan SP Rp. 1.785.221 per ekor per tahun sedangkan di Kabupaten Muna DRC 0,61 dan PCR 0,54 dengan PP Rp. 5.535.288 per ekor per tahun dan SP Rp. 4.647.531 per ekor per tahun. Kenaikan 5% nilai tukar dollar Amerika terhadap Rupiah di Konawe Selatan maka nilai DRC 0,68 dan PCR 0,77 dengan PP Rp. 2.400.465 per ekor per tahun dan SP Rp. 4.332.433 per ekor per tahun sedangkan di Kabupaten Muna DRC 0,48 dan PCR 0,52 dengan PP Rp. 5.744.921 per ekor per tahun dan SP Rp. 8.219.268 per ekor per tahun. Penghapusan tarif masuk menjadi 0% khususnya untuk daging sapi dan sapi bakalan impor maka nilai maka nilai DRC 0,91 dan PCR 0,77 dengan PP Rp. 2.400.465 per ekor per tahun dan SP Rp. 855.779 di Kabupaten Konawe Selatan sedangkan di Kabupaten Muna nilai DRC 0,66 dan PCR 0,52 dengan PP Rp. 5.744.921 per ekor per tahun dan SP Rp. 3.540.436 per ekor per tahun. Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan harga output (penurunan harga jual sapi siap potong) 10% maupun peningkatan harga input (kenaikan harga beli sapi bakalan dan harga bahan bakar minyak bensin) masing-masing 15% dan untuk kenaikan nilai tukar 5% serta penghapusan tarif masuk menjadi 0% maka peternak sapi Bali rakyat di wilayah sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara tetap memaksimalkan potensi sumberdaya pakan berupa hijauan dan jerami padi/jagung sebagai sumber pakan utama yang selalu tersedia sepanjang tahun sehingga tetap berdaya saing. Namun, penurunan harga jual sapi siap potong di Kabupaten Konawe Selatan perlu dihindari agar tidak mencapai 10% karena dapat merugikan dari sisi keuntungan sosial. Oleh karena itu, peningkatan usaha sapi Bali rakyat dan peningkatan akses peternak di sentra pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap harga input dan output diharapkan terus menjadi bagian dari kebijakan pemerintah dibidang peternakan sapi Bali. Sehingga, produksi sapi Bali rakyat selalu mampu berdaya saing dan menguntungkan serta produksi mampu meningkat dan mengimbangi permintaan daging sapi nasional.

The Bali cattle as Indonesia's germplasm have a significant role in supporting food security through meat provision and contributing to the economy by increasing farmers' income. However, Indonesia still imports cattle in the form of both meat and feeders despite the increasing local beef cattle population and the abundance of domestic resources used in local beef cattle businesses. Southeast Sulawesi Province is a centre for the development of local beef cattle, namely Bali cattle, precisely in South Konawe Regency and Muna Regency. The general objective of this research is to analyse the competitiveness of smallholder Bali cattle and the impact of government policies in the development centres of Southeast Sulawesi Province. Specifically, the objectives of this study include: (1) to analyse the competitive (financial efficiency) and comparative (economic efficiency) competitiveness of smallholder Bali cattle in the development centres of Southeast Sulawesi Province, (2) to analyse the impact of government policies on the competitiveness of smallholder Bali cattle in the development centres of Southeast Sulawesi Province, and (3) to analyse changes in input and output prices on the profitability and competitiveness of smallholder Bali cattle in the development centres of Southeast Sulawesi Province. Data were collected for four (4) months, starting from 28 June to 28 October of 2024 in South Konawe and Muna districts, Southeast Sulawesi Province as Bali cattle development centres. The data used in this study include primary and secondary data. Primary data was conducted by interviewing 240 Balinese cattle farmers guided by questionnaires, the respondents were taken using purposive sampling method on the grounds that all have the same opportunity to be used as respondents but with predetermined criteria with the number of Balinese cattle raised at least three heads and maintain their livestock with a fattening maintenance system (intensive) or breeding combined with fattening (semi-intensive). In addition, primary data was also sourced from conducting the Focus Group Discussions (FGDs) in each research district directly involved stakeholders, including local government representatives (PKH office, sub-districts, villages/sub-districts), agricultural extension centres (livestock extension workers), Bali cattle farmers, and academics (lecturers and students). Meanwhile, secondary data was obtained from various relevant agencies such as the Central Bureau of Statistics, the Agriculture or Livestock Service Office, the Agricultural Extension Office, Village Livestock Data and other sources needed. The analyses used in this research are Policy Analysis Matrix (PAM) and Sensitivity Analysis. The results of competitiveness in South Konawe Regency are PCR 0,77 and DRC 0,82 with PP IDR 2.400.465 per head per year and SP IDR 1.892.654 per head per year. Competitiveness results in Muna Regency are PCR 0,52 and DRC 0,60 with PP Rp. 5.744.921 per head per year and SP Rp. 4.712.936 per head per year. These results suggest that smallholder Bali cattle enterprises in the development centres of Southeast Sulawesi Province have competitive and comparative competitiveness. That is, it is able to finance the production of smallholder Bali cattle and it is better to produce locally than to import. In addition, it shows efficiency value in terms of private and social benefits. This means that the smallholder Bali cattle business is viable. The results on the impact of government policies in South Konawe Regency on output are TO -6.530.857 and NPCO 0,66, on inputs are TI -6.506.629, TF -532.040 and NPCI 0,23, on inputs and outputs are NT 507.812, EPC 1,00, PC 1,27 and SRP 0,03. Meanwhile, in Muna Regency, the impact on output is TO -5.430.601 and NPCO 0,71, on input is TI -5.660.065, TF -802.521 and NPCI 0,15, on input and output is NT 1.031.985, EPC 1,02, PC 1,22 and SRP 0,06. The results show that the impact of policy on output, there is a negative effect on Bali cattle business where government policies tend to provide disincentives because domestic output prices are lower than world prices. Policy impact on inputs, there is a positive effect on Bali cattle business where government policies support producers through tradable input subsidies and domestic input price protection that create additional surplus for farmers, protect domestic production and reduce domestic input costs. While the policy impact on input-output, there is a positive effect on Bali cattle business where government policies provide positive incentives for farmers, additional surplus for farmers, effective in protecting production and lowering production costs lower than the opportunity cost. The results of the sensitivity analysis in South Konawe District, if the selling price of ready to slaughter cattle (output) decreases by 10%, the DRC value is 1,00 and PCR is 0,88 with PP Rp. 1.144.723 per head per year and SP Rp. -16.174 per head per year while in Muna District the DRC is 0,71 and PCR is 0,59 with PP Rp. 4.439.152 per head per year and SP Rp. 2.864.107 per head per year. If the condition when the buying price of feeder Bali cattle (input) increases by 15% in South Konawe Regency, the DRC value is 0,88 and PCR is 0,82 with PP Rp. 1.942.590 per head per year and SP Rp. 1.227.704 per head per year while in Muna Regency DRC is 0,65 and PCR is 0,55 with PP Rp. 5.388.671 per head per year and SP Rp. 4.180.984 per head per year. If the fuel (input) price increases by 15% in South Konawe Regency, the DRC value is 0,83 and PCR 0,80 with PP Rp. 2.034.063 per head per year and SP Rp. 1.785.221 per head per year while in Muna Regency the DRC is 0,61 and PCR 0,54 with PP Rp. 5.535.288 per head per year and SP Rp. 4.647.531 per head per year. A 5% increase in the exchange rate of the US dollar against the Rupiah in South Konawe will result in a DRC of 0,68 and PCR of 0,77 with a PP of Rp. 2.400.465 per head per year and SP of Rp. 4.332.433 per head per year while in Muna Regency the DRC is 0,48 and PCR is 0,52 with a PP of Rp. 5.744.921 per head per year and SP of Rp. 8.219.268 per head per year. Removal of import tariffs to 0%, especially for imported meat and feeders, the value of DRC is 0,91 and PCR is 0,77 with PP IDR 2.400.465 per head per year and SP IDR 855.779 in South Konawe Regency while in Muna Regency the value of DRC is 0,66 and PCR is 0,52 with PP IDR 5.744.921 per head per year and SP IDR 3.540.436 per head per year. The results of the sensitivity analysis show that if there is a 10% decrease in output prices (decrease in the selling price of slaughter-ready cattle) or an increase in input prices (increase in the buying price of feeder cattle and the price of gasoline) of 15% each and for a 5% increase in the exchange rate and the elimination of the entry tariff to 0%, smallholder Bali cattle farmers in the development centers of Southeast Sulawesi Province continue to maximize the potential of feed resources in the form of forage and rice/corn straw as the main source of feed that is always available throughout the year so that they remain competitive.However, the decline in the selling price of ready-to-slaughter cattle in South Konawe District needs to be avoided from reaching 10% because it can be detrimental in terms of social benefits. Therefore, improving smallholder Bali cattle enterprises and increasing farmers' access to input and output prices in the development centers of Southeast Sulawesi Province are expected to continue to be part of government policy in Bali cattle farming. Thus, smallholder Bali cattle production can always be competitive and profitable and production can increase and keep pace with national beef demand.