Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/159848| Title: | Analisis Kebijakan Pengenaan Ppn Biji Kakao Dalam Negeri |
| Authors: | Syah, Hamdani Ratnawati, Anny Sinaga, Womsiter |
| Issue Date: | 2005 |
| Publisher: | IPB University |
| Abstract: | Sejak dua dekade terakhir, pemerintah melakukan reposisi komponen penerimaan APBN yang tadinya mengandalkan hasil ekspor migas kepada penerimaan non migas terutama mengoptimalkan penerimaan pajak. Sejak lima tahun terakhir, pajak merupakan primadona bagi penerimaan negara, dimana tahun 2000 rasio penerimaan pajak terhadap APBN adalah 53,6 % naik menjadi 61,1% tahun 2001, tahun 2002 sebesar 70,4%, tahun 2003 menjadi 73,9% dan tahun 2004 sebesar 78,0%. Namun demikian, dari berbagai kebijakan dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak, ada kebijakan yang berdampak kurang kondusif terhadap pengembangan dunia usaha, sehingga kebijakan pemerintah tersebut sering mendapat penolakan atau meminta penundaan dari berbagai kalangan. Contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagai mana dirubah terakhir dengan PP Nomor 46 Tahun 2003, sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Dengan diberlakunya Peraturan Pemerintah di atas, maka sejak 1 Januari 2001 penyerahan komoditas pertanian/perkebunan primer seperti kelapa sawit (TBS), kopi biji, kakao biji, lada, kapas, pala, panili, teh, kapuk dan lain sebagainya, yang diserahkan oleh selain petani/kelompok petani dikenakan PPN 10%. Sejak itu, berbagai kalangan dan pihak-pihak terkait seperti pengusaha, para asosiasi perusahaan, pengamat dan instansi terkait mengirimkan surat permohonan dan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dan Presiden, supaya pengenaan PPN ini dapat dicabut, dihapuskan ataupun dibebaskan. Setelah diberlakukannya kebijakan pengenaan PPN biji kakao, mengakibatkan penurunan kapasitas terpasang industri pengolahan dalam negeri. Bahkan banyak pabrikan pengolah biji kakao dalam negeri menutup usahanya karena kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku biji kakao. Sejak 1987-2000 terdapat industri pengolah biji kakao sebanyak 17 pabrik dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 293.000 MT. Tetapi saat ini tinggal hanya 5 pabrik yang beroperasi aktif dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 149.000 MT. Hal ini disebabkan karena pedagang pengumpul dan eksportir biji kakao lebih cenderung mengekspor biji kakao ke luar negeri karena tarif PPN atas ekspor sebesar 0% sementara penjualan di dalam negeri dikenakan PPN 10%. Oleh karena itu, masalah pokok dalam penelitian ini adalah mengapa setelah adanya kebijakan pengenaan PPN biji kakao terjadi kelangkaan bahan baku bagi industri pengolahan biji kakao dalam negeri?. Untuk menjawab permasalahan pokok ini, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang mendalam sehingga tesis ini diberi judul, "Analisis Kebijakan Pengenaan PPN Biji Kakao dan Penyediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Biji Kakao Dalam Negeri". Analisis dilakukan untuk mencari penyebab mengapa sampai kebijakan PPN ini memberatkan para pelaku industri pengolah biji kakao dalam negeri, kemudian menganalisis apakah PPN ini menjadi penyebab terjadinya kelangkaan pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan biji kakao dalam negeri. Ruang lingkup penelitian ini dititik beratkan kepada penelitian masalah yang dihadapi oleh pabrikan pengolah biji kakao dalam negeri, yang berhubungan dengan kebijakan pengenaan PPN. Namun demikian, dilakukan juga konfirmasi kepada pedagang pengumpul dan eksportir, bagaimana sikap mereka terhadap kebijakan tersebut. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian yang sifatnya deskriptif dengan survey. Pengambilam sampel dilakukan secara sengaja atau sampel bertujuan terutama untuk mendapatkan konfirmasi dari Pedagang Pengumpul/Eksportir. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara, pengamatan lansung dan tanya jawab dengan terlebih dahulu menyusun daftar pertanyaan. Alat analisis yang digunakan untuk menguji perbedaan kinerja keuangan perusahaan industri pengolah biji kakao sebelum dan sesudah kebijakan PPN adalah digunakan analisis statistik dengan teknik Chi Kuadrat. Dari hasil penelitian atas beberapa industri pengolah biji kakao di atas tidak terlihat pengaruh langsung kebijakan pengenaan PPN, menyebabkan kelangkaan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan coklat dalam negeri. Beberapa indikator kinerja keuangan perusahaan menunjukkan bahwa kondisi yang lebih baik, setelah diberlakukan kebijakan PPN dibandingkan sebelumnya. Hal ini diperkuat oleh analisa statistik dengan menggunakan teknik chi kuadrat (x) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada kinerja keuangan perusahaan pengolan biji kakao dalam negeri sebelum dan sesudah kebijakan pengenaan PPN pada tingkat kepercayaan 95%. Kelangkaan bahan baku biji kakao bagi perusahaan industri pengolah biji kakao dalam negeri dan sulitnya perkembangan industri di Indonesia adalah karena faktor fundemental perusahaan seperti keterbatasan modal kerja, kesulitan mendapatkan pinjaman, masuknya international trading, industri yang tidak efisien, hambatan tarif dari negara maju tujuan ekspor, buruknya image produk indonesia dan kebijakan Pemerintah yang kurang mendukung. Desakan berbagai pihak untuk menghapuskan atau menunda PPN atas komoditas pertanian primer, lebih banyak disebabkan oleh pengaruh tidak langsung yang disebut hambatan psikologis pajak (psychotax). Psychotax merupakan hambatan psikologis yang menyebabkan masyarakat termasuk pelaku bisnis, pada dasarnya masih berupaya menghindar dari pajak, kalau bisa tidak membayar pajak atau tidak terdaftar sebagai wajib pajak, bahkan kalau bisa tidak berhubungan dengan pajak. Hambatan psikologis ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti; (a) sistem perpajakan Indonesia yang belum baik, (b) aturan dan ketentuan perpajakan yang rumit sulit dipahami Wajib Pajak, tidak konsisten dan sering berubah-ubah, (c) integritas, moral dan kualitas aparat pajak yang bersifat kolutif dan kurang profesional, (d) kurangnya sosialisasi dan penyuluhan terhadap aturan dan ketentuan perpajakan, dan (e) masih terdapat kebocoran-kebocoran pada lembaga pemungut pajak. Adanya Psychotax ini, karena masih tingginya Compliance cost di Indonesia, sehingga pemungutan pajak di Indonesia tidak efisien atau tidak terpenuhi prinsip ease administration. Tingkat pemahaman WP khusunya yang bergerak dalam bisnis kakao menurut 25 responden hanya berkisar sebesar 44,65% berdasarkan rating scale. Proses restitusi PPN membutuhkan waktu yang lama. Penelitian terhadap sampel hasil pemeriksaan restitusi PPN pada KPP "Z", memperlihatkan jangka waktu yang dibutuhkan dalam proses pemeriksaan restitusi PPN sejak permohonan WP diterima KPP sampai selesai dengan diterbitkannya SKPLB, mumbutuhkan waktu rata-rata 174 hari atau 5, 8 bulan. Sedang jangka waktu penyelesaian permohonan restitusi PPN memakan waktu rata-rata 205 hari atau 6,8 bulan sejak tanggal terjadi kelebihan PPN sampai uang tersebut sampai di rekening WP. Jangka waktu ini cukup lama, namun pelaku usaha dibidang kakao tidak terpengaruh jangka waktu proses restitusi ini karena jarang mengajukan restitusi. Saran-saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki kondisi di atas adalah dalam membuat regulasi dan kebijakan, termasuk peraturan-peraturan dan kebijakan dibidang perpajakan khususnya disektor agribisnis, Pemerintah harus dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif, menunjang kegiatan ekspor, meningkatkan daya saing dan efisiensi produksi, dalam rangka mendorong pengembangan agribisnis, termasuk sektor hasil pertanian primer. Dalam setiap mengeluarkan kebijakan baru sebaiknya mendengar saran dan masukan dari pelaku usaha. DJP harus meningkatkan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan perpajakan kepada pengusaha, baik melalui media cetak maupun media eletronik seperti radio dan TV serta mengadakan kegiatan- kegiatan loka karya/seminar, terutama jika ada kebijakan atau aturan baru dibidang perpajakan, untuk meningkatkan pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan PPN. Untuk menghindari dan meminimalisasi terjadinya kolusi antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak, perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan Pemeriksa dan memberikan penghargaan terhadap Pemeriksa yang berprestasi. Perlu dibuat norma-norma atau kode etik Pemeriksa Pajak agar dalam melakukan tugas Pemeriksaan tidak semaunya saja dan akhirnya merugikan Wajib Pajak atau merugikan negara, serta peningkatan kualitas Pemeriksa dan standar Prestasi yang jelas bagi Pemeriksa. Hal lain yang perlu di perbaiki adalah menghindari pasal-pasal "grey area" dalam Undang-undang karena menimbulkan interpretasi yang tidak sama antara Pemeriksa dan Wajib Pajak sehingga dapat merugikan Wajib Pajak. Pemerintah perlu menghilangkan psychotax, mengurangi tingginya compliance cost dengan memperbaiki faktor-faktor penyebabnya. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem perpajakan agar lebih mudah, sederhana dan mudah dipahami, membuat aturan perpajakan yang kondusif bagi pelaku usaha dan tidak terlalu sepat berubah-ubah, meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan kepada wajib pajak, memperbaiki moral dan integritas serta kualitas aparat pajak dan menghilangkan kebocoran-kebocoran lembaga pemungut pajak dengan menindak tegas aparat yang bersalah. Partisipasi dan niat baik pengusaha sebagai wajib pajak sangat diharapkan untuk ikut mensukseskan program-program pemerintah di bidang perpajakan, dengan melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, jujur dan. menghindari adanya kolusi dengan oknum aparat pajak. Untuk mengetahui apakah pemungutan pajak di Indonesia sudah efisien atau tidak, maka saran bagi peneliti berikutnya dapat meneliti besarnya compliance cost di Indonesia...dst |
| URI: | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/159848 |
| Appears in Collections: | MT - Business |
Files in This Item:
| File | Size | Format | |
|---|---|---|---|
| R2005WSA.pdf Restricted Access | 6.95 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.