Pengaruh Penerapan Sambung Pucuk (grafting) Spesifik Pada Kopi Robusta Terhadap Produksi, Efisiensi Dan Pendapatan Petani Kopi Di Provinsi Bengkulu

Abstract

Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia yang dikenal sebagai bagian dari wilayah segitiga emas kopi robusta dipulau Sumatra. Sebagai daerah penghasil kopi, Bengkulu memiliki potensi yang sangat besar terhadap pengembangan kopi khususnya robusta. Akan tetapi perkembangan kopi di Bengkulu belum mampu memberikan hasil yang maksimal seperti yang diharapkan, hal ini berdampak pada kontribusi Bengkulu sebagai penyumbang produktivitas kopi nasional yang rendah terutama dari segi kuantitas. Berbagai upaya dilakukan pemerintah Provinsi Bengkulu melalui Dinas Pertanian guna meningkatkan produksi kopi Bengkulu yang hampir 99% diusahkan oleh petani kopi rakyat yang notabene sebagai petani kecil yang dihadapkan dengan kekurangan modal serta sapras produksi. Sambung pucuk pada tanaman kopi merupakan suatu terobosan teknologi budidaya rekayasa genetic sebagai upaya mendapatkan sifat unggul dari dua tanaman sejenis dari klon (varietas) yang berbeda, selain itu sambung pucuk bertujuan memangkas waktu produksi tanaman khususnya kopi untuk dapat berproduksi lebih cepat bila dibandingkan dengan tanaman baru. Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk melihat apakah teknologi sambung pucuk yang diadopsi petani dapat memberikan hasil optimal baik dari segi produksi, efisiensi dan pendapatan petani dari hasil usaha perkebunan kopi yang diusahakan, dan untuk melihat tingkat kesejahteraan petani khusunya di Provinsi Bengkulu. Sebanyak 326 petani kopi dari 2 kelompok petani yaitu 120 petani kopi yang telah menerapkan teknologi sambung pucuk (grafting), dan 206 petani kopi yang belum menerapkan teknologi sambung pucuk (lajur) dalam budidaya kopi yang diterapkan, dipilih secara random sampling atau acak yang diwawancarai dengan mengunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Fungsi produksi cobb douglass digunakan dalam model stochastic frontier analysis (SFA) untuk menjawab pertanyaan penelitian. Untuk melihat kesejateraan yang dinilai berdasarkan tingkat kemiskinan petani digunakan teori Sajogyo (1996) tentang garis kemiskinan yang diukur dalam bentuk ekuivalen nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sesuai daerah penelitian. Hasil menunjukan bahwa usia, pengalaman petani, informasi, penyuluhan, bantuan pemerintah, dan akses kredit ataupun bantuan modal serta persepsi petani terhadap kopi sambung pucuk itu sendiri merupakan faktor pendorong petani melakukan adopsi teknologi sambung pucuk. Diketahui input produksi berupa luas lahan, jumlah tanaman, umur tanaman, tenaga kerja dan pupuk merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap produksi baik untuk petani yang menerapkan sambung pucuk maupun yang belum. Namun yang menarik ditemukan pada petani kopi yang belum menerapkan sambung pucuk yang dikenal dengan kopi lajur, dimana tenaga kerja ataupun jumlah tenaga kerja tidak berbengaruh terhadap produksi, hal ini terjadi dikarenakan kebiasaan petani kopi lokal di Bengkulu yang masih menjalankan perkebunan kopi secara tradisional yang diwarisi generasi sebelumnya, dimana petani melakukan kegiatan dalam proses produksi kopi lajur hanya pada saat memasuki musim panen saja, sehingga tidak banyak pekerjaan dan waktu yang dicurahkan dalam usaha perkebunan kopi yang diusahakan. Hasil analisis dampak dengan menggunakan psmatch2 pada software stata 15 mendapatkan selisih produksi atau peningkatan produksi sebesar 201.43 kilogram pada petani kopi yang menerapkan sambung pucuk, dengan nilai T-stat 2.63, artinya terdapat perbedaan produksi antara kedua kelompok petani kopi dengan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen. Statistik tingkat efisiensi teknis petani kopi di wilayah penelitian menunjukan 87 persen petani kopi sambung pucuk dan 62 persen petani kopi yang bukan sambung pucuk (lajur) pada sampel, memiliki TE berkisar antara 90 sampai 100 persen. Hasil ini menunjukan bahwa petani kopi sambung pucuk memiliki tingkat efisiensi teknis jauh lebih baik dari pada petani kopi yang bukan sambung pucuk (lajur). Prediksi efisiensi ekonomi (EE) yang diestimasi sebagai kebalikan dari biaya efisiensi sangat berbeda antar petani, berkisar antara 0.92 dan 0.99 dengan rata-rata EE sebesar 0.97. Artinya, jika rata- rata petani kopi sambung pucuk di Provinsi Bengkulu mencapai tingkat EE yang paling efisien, hal yang sama juga terjadi pada petani kopi lajur prediksi efisiensi ekonomi (EE) yang diestimasi sebagai kebalikan dari biaya efisiensi sangat berbeda antar petani, berkisar antara 0.83 dan 0.99 dengan rata-rata EE sebesar 0.95. Artinya, jika rata-rata petani kopi lajur di Provinsi Bengkulu mencapai tingkat EE yang paling efisien, diketahui petani baik pada petani kopi sambung pucuk maupun petani kopi yang bukan sambung pucuk (lajur) cukup efisien dalam memproduksi kopi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input yang meminimalkan biaya karena sekitar 99 persen responden memiliki AE sebear 0.90 ke atas. Implikasi dari temuan (TE, EE dan AE), mengingat sumber daya produksi yang dimiliki petani yang sebagian besar merupakan petani miskin dan berskala kecil, ini menandakan petani cukup efisien dalam penggunaan sumber daya yang dimiliki. Pada usahatani kopi pendapatan bersih yang diperoleh petani kopi sambung pucuk selama 1 tahun yaitu sebesar Rp. 13.012.000 dimana seluruh biaya baik tunai dan non tunai dikeluarkan petani dengan kata lain petani dianggap sebagai petani pengarap, pada kondisi ini diduga 79.17 persen petani kopi merupakan petani miskin dengan tingkat kemiskinan yang berbeda, sedangkan pada pendapatan kotor diperoleh pendaptan sebesar Rp. 20.782.000 dengan catatan petani kopi merupakan petani pemilik lahan, sekaligus sebagai tenaga kerja dalam menjalankan usahanya, untuk itu segala biaya non tunai yang diperhitungkan dalam usahatani namun tidak dikeluarkan oleh petani, dan merupakan bagian dari pendapatan yang diperoleh petani, pada komndisi ini diduga 31.67 persen petani hidup dalam kondisi kemiskinan dengan tingkatan yang berbeda, diketahui pendidikan, kelembagaan dan jumlah anak berpengaruh signifikan terhadap kondisi terjadinya kemiskinan.

Bengkulu is one of the largest robusta coffee producing areas in Indonesia which is known as part of the golden triangle of robusta coffee on the island of Sumatra. As a coffee producing area, Bengkulu has enormous potential for the development of coffee, especially robusta. However, the development of coffee in Bengkulu has not been able to provide maximum results as expected, this has an impact on Bengkulu's contribution as a contributor to low national coffee productivity, especially in terms of quantity. Various efforts have been made by the Bengkulu Provincial Government through the Department of Agriculture to increase Bengkulu coffee production, almost 99% of which is carried out by smallholder coffee farmers who are faced with a lack of capital and production infrastructure. Shoot grafting in coffee plants is a breakthrough in genetic engineering cultivation technology as an effort to obtain superior properties from two similar plants from different clones (varieties). Apart from that, shoot grafting aims to cut the production time of plants, especially coffee, so that they can produce faster compared to new plants. . This research has the main objective to see whether the top grafting technology adopted by farmers can provide optimal results both in terms of production, efficiency and farmer income from the results of the coffee plantation business they are cultivating, and to see the level of welfare of farmers, especially in Bengkulu Province. A total of 326 coffee farmers from 2 groups of farmers, namely 120 coffee farmers who have implemented shoot grafting technology (grafting), and 206 coffee farmers who have not implemented shoot grafting (lane) technology in coffee cultivation, were selected randomly random sampling or randomly interviewed using a list of questions (questionnaire). Production function cobb douglass used in the model stochastic frontier analysis (SFA) to answer research questions. To see welfare assessed based on farmers' poverty level, Sajogyo's theory (1996) regarding the poverty line is measured in the form of equivalent rice exchange rates (kg/person/year) according to the research area. The results show that age, farmer experience, information, counseling, government assistance, and access to credit or capital assistance as well as farmers' perceptions of shoot grafting coffee itself are the factors driving farmers to adopt shoot grafting technology. It is known that production inputs in the form of land area, number of plants, age of plants, labor and fertilizer are factors that greatly influence production for farmers who apply shoot grafting. or not yet. However, what is interesting is found in coffee farmers who have not implemented shoot grafting, known as lane coffee, where labor or the number of workers does not affect production. This happens because of the habits of local coffee farmers in Bengkulu who still run traditional coffee plantations which have been inherited from generations. Previously, farmers carried out activities in the coffee production process only when entering the harvest season, so that not much work and time was devoted to the coffee plantation business they were cultivating. Results of impact analysis using psmatch2 on software been 15 obtained a production difference or increase in production of 201.43 kilograms for coffee farmers who implemented shoot grafting, with a T-stat value of 2.63, meaning that there was a difference in production between the two groups of coffee farmers with a confidence level of 95 percent. Statistics on the level of technical efficiency of coffee farmers in the research area show that 87 percent of shoot-grafted coffee farmers and 62 percent of non-shoot-grafted (lane) coffee farmers in the sample have a TE ranging from 90 to 100 percent. These results show that shoot grafting coffee farmers have a much better level of technical efficiency than coffee farmers who are not shoot grafting (lane). Predicted economic efficiency (EE) estimated as the inverse of efficiency costs differed greatly between farmers, ranging between 0.92 and 0.99 with an average EE of 0.97. This means that, if the average grafted coffee farmer in Bengkulu Province reaches the most efficient level of EE, the same thing also happens to coffee farmers in the predicted lane of economic efficiency (EE) which is estimated as the inverse of efficiency costs which is very different between farmers, ranging from 0.83 and 0.99 with an average EE of 0.95. This means that if the average strip coffee farmer in Bengkulu Province reaches the most efficient level of EE, it is known that farmers, both shoot-graft coffee farmers and non-shoot-graft (lane) coffee farmers, are quite efficient in producing coffee at a certain level of output using input ratios. which minimizes costs because around 99 percent of respondents have an AE of 0.90 and above. The implications of the findings (TE, EE and AE), considering that the production resources owned by farmers are mostly poor and small-scale farmers, this indicates that farmers are quite efficient in using the resources they have. In coffee farming, the net income obtained by grafted coffee farmers for 1 year is IDR. 13,012,000 where all costs, both cash and non-cash, are paid by the farmer, in other words, the farmer is considered to be a cultivator. In this condition, it is estimated that 79.17 percent of coffee farmers are poor farmers with different levels of poverty, while the gross income obtained is Rp. 20,782,000 provided that coffee farmers are land owners, as well as workers in running their business, therefore all non-cash costs that are calculated in the farming business but are not incurred by the farmer, and are part of the income obtained by the farmer, in this condition it is estimated that 31.67 Percentage of farmers live in conditions of poverty at different levels. It is known that education, institutions and the number of children have a significant influence on conditions where poverty occurs