Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/156522
Title: Model Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia: Pendekatan Sistem Dinamik
Other Titles: Beef Supply and Demand Model in Indonesia: Dynamic Systems Approach
Authors: Nurmalina, Rita
Mulatsih, Sri
Suprehatin
Darjanto, Arief
Kusumaningrum, Ria
Issue Date: 2024
Publisher: IPB University
Abstract: Sektor pertanian masih menjadi sektor penting dan strategis dalam kehidupan manusia dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu berfungsi sebagai penyedia pangan, pakan ternak, dan bioenergi. Sampai saat ini permasalahan peternakan sapi potong di Indonesia masih terkait dengan rendahnya produktivitas. Pemenuhan konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2022 yang berasal dari produksi dalam negeri hanya sebesar 59%, artinya produksi dalam negeri belum dapat memenuhi konsumsi. Target swasembada daging sapi telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2000 dan belum tercapai sampai saat ini. Pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri akan bergantung pada pertumbuhan populasi dan produktivitas sapi potong nasional. Produksi daging sapi dalam negeri mempunyai pertumbuhan lebih kecil dibandingkan konsumsinya. Permintaan nasional ini diprediksi akan terus meningkat dan merupakan peluang pasar sekaligus tantangan bagi penyediaan daging sapi di Indonesia. Peningkatan permintaan akan daging sapi akan menyebabkan semakin tinggi kesenjangannya dengan penawaran daging sapi. Hal ini secara tidak langsung akan menuntut konsistensi pemerintah terhadap pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Permasalahan dalam pemenuhan konsumsi daging sapi nasional di Indonesia sampai dengan saat ini tidak dapat lagi diselesaikan secara parsial, namun membutuhkan pendekatan sistem secara holistik. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, penelitian ini bertujuan untuk: (a) menganalisis dinamika keragaan penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia; (b) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia; (c) membangun dan menganalisis model penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia dengan pendekatan sistem dinamik; dan (d) merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan dan strategi pencapaian swasembada daging di Indonesia. Untuk menjawab tujuan penelitian, sumber data yang digunakan meliputi data sekunder dan data primer. Dalam membangun dan mengembangan model, dilakukan analisis statistik deskriptif mengenai keragaan penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia. Guna memperoleh variabel kunci yang memengaruhi penawaran dan permintaan daging sapi secara nasional, dilakukan analisis Two Stage Least Square (2SLS) dan model sistem persamaan simultan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) 9.4. Model penawaran dan permintaan daging sapi dengan pendekatan sistem dinamik di analisis melalui beberapa tahapan penelitian meliputi analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, formulasi model, validasi model dan simulasi model beserta analisis sensitivitas. Pemodelan sistem dinamik dianalisis menggunakan Powersim Studio 10 Academic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi sapi potong di Indonesia periode 2015-2022 menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan rata-rata peningkatan sebesar 2,39% per tahun. Populasi sapi potong wilayah Jawa paling tinggi dibandingkan lima wilayah lainnya, yaitu Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara-Bali, Sulawesi, Maluku dan Papua. Populasi sapi potong wilayah Jawa, yaitu sebesar 43% dari total populasi sapi potong nasional diikuti wilayah Sumatera (20%) dan wilayah Nusa Tenggara dan Bali (17%). Saat ini, masih terjadi excess demand di Indonesia, sehingga dalam pemenuhan konsumsinya masih melalui impor daging sapi. Impor daging sapi ke Indonesia berasal dari Australia (49,42%), India (32,37%), Selandia Baru (9,70%), Amerika Serikat (6,14%), Brazil (1,18%), Spanyol (0,51%) dan negara lainnya (0,69%). Pertumbuhan rata-rata produksi daging sapi dalam negeri lebih kecil dibandingkan konsumsinya pada periode 2015-2022. Pertumbuhan rata-rata produksi daging sapi dalam negeri sebesar 0,06% per tahun, sedangkan pertumbuhan konsumsinya sebesar 4,89% per tahun. Hasil identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia menunjukkan bahwa Produksi daging sapi dalam negeri dipengaruhi secara nyata oleh harga daging sapi domestik dan produksi sapi dalam negeri. Selanjutnya, permintaan daging sapi nasional dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan masyarakat. Berdasarkan hasil empiris, kebijakan peningkatan impor induk produktif berdampak positif terhadap produksi ternak dan daging sapi sebelum dan sesudah pandemi. Namun kebijakan pengurangan impor daging sapi dan sapi bakalan berdampak negatif terhadap produksi sapi potong pasca pandemi. Kebijakan impor tersebut tidak berdampak pada permintaan daging sapi nasional. Pandemi COVID 19 berdampak pada peningkatan produksi daging sapi lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi sebesar 25%. Model penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia yang dibangun menggunakan metode sistem dinamik terdiri dari tiga submodel, yaitu submodel penawaran daging sapi nasional, submodel permintaan daging sapi nasional, dan submodel ekspor-impor. Hasil simulasi pada kondisi basis menunjukkan bahwa tren produksi daging sapi dalam negeri, dan persentase pencapaian swasembada daging sapi nasional menurun. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi daging sapi dalam negeri. Tanpa intervensi skenario kebijakan, pada kondisi basis persentase pencapaian swasembada daging sapi nasional sebesar 17,24% pada tahun 2045 masih jauh dari target pemenuhan produksi daging sapi dalam negeri terhadap permintaan daging sapi nasional sebesar 90%. Alternatif kebijakan dan strategi pencapaian swasembada daging nasional dalam penelitian ini dirumuskan dalam lima skenario kebijakan dasar dan empat skenario kebijakan kombinasi. Lima skenario dasar yaitu: program peningkatan kebuntingan melalui inseminasi buatan (skenario 1), pengendalian pemotongan induk produktif (skenario 2), pemberlakuan kembali wajib impor induk bagi feedloter/importir sapi bakalan (skenario 3), penambahan jumlah induk produktif melalui impor (skenario 4), dan peningkatan impor sapi bakalan (skenario 5). Pencapaian swasembada daging sapi nasional dari kelima skenario kebijakan dasar tertinggi adalah skenario 2 sebesar 36,24%, selanjutnya skenario 5 sebesar 35,29% dan skenario 1 sebesar 31,43%. Kebijakan pengendalian pemotongan induk produktif akan dapat mengakselerasi pencapaian swasembada daging sapi nasional, karena pada implementasi kebijakan tersebut ditemukan tren peningkatan persentase pencapaian swasembada daging sapi nasional pada tahun 2038. Implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian menggarisbawahi pentingnya program pengendalian pemotongan induk produktif, dan peningkatan kebuntingan melalui inseminasi buatan. Untuk menjaga jumlah populasi sapi potong nasional, maka masih dibutuhkan kebijakan impor sapi bakalan dan akan diturunkan secara bertahap. Rekomendasi kebijakan untuk akselerasi pencapaian swasembada daging sapi nasional berdasarkan hasil penelitian yaitu pengendalian pemotongan induk produktif, peningkatan kebuntingan melalui inseminasi buatan, penambahan induk produktif melalui impor dan impor sapi bakalan. Kebijakan pengendalian pemotongan induk produktif dapat diterapkan namun harus diimbangi dengan kebijakan “Resi kandang”, yaitu pembelian/penyelamatan induk produktif yang akan di potong dan dibudidayakan oleh pemerintah, baik melalui BUMN atau swasta, kebijakan insentif kelahiran pedet, dan kebijakan penyediaan sapi siap potong pengganti melalui program peningkatan kebuntingan dan/atau impor sapi bakalan. Selanjutnya, upaya untuk meningkatkan pendapatan dan pengembangan usaha peternak dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan mutu sapi potong. Pemerintah dapat mendorong pembinaan peternak dengan melibatkan stakeholders melalui penyediaan sarana produksi, permodalan/pembiayaan, fasilitasi diversifikasi usaha, dan kredit dengan bunga terjangkau bagi peternak.
The agricultural sector is still important and strategic in human life and national economic development, functioning as a food provider, animal feed, and bioenergy provider. Until now, the problem of beef cattle farming in Indonesia is still related to low productivity. The fulfillment of national beef consumption in 2022 will come from domestic production, which only accounts for 59%, meaning domestic production cannot meet consumption. The government has set a target for beef self-sufficiency in beef since 2000, but this has not been achieved to date. The growth of domestic beef production will depend on population growth and national beef cattle productivity. Domestic beef production has a smaller growth than consumption. This national demand is predicted to continue to increase and is a market opportunity and a challenge for the beef supply in Indonesia. Increasing demand for beef will cause an increase in the beef supply gap. There will indirectly require government consistency in developing beef cattle farming in Indonesia. The problem of fulfilling national beef consumption in Indonesia can no longer be solved partially; it requires a holistic systems approach. Based on the existing background and problems, this research aims to (a) analyze the dynamics of the supply and demand for beef in Indonesia, (b) analyze the factors that influence the supply and demand for beef in Indonesia, (c) build and analyze a model of supply and demand for beef in Indonesia using a dynamic systems approach, and (d) formulate recommendations for alternative policies and strategies for achieving meat self-sufficiency in Indonesia. The data sources used to answer the research objectives include secondary and primary data. In building and developing the model, descriptive statistical analysis was carried out regarding the performance of supply and demand for beef in Indonesia. In order to obtain critical variables that influence the national supply and demand for beef, a Two Stage Least Square (2SLS) analysis and a simultaneous equation system model were carried out using Statistical Analysis System (SAS) 9.4. The beef supply and demand model using a dynamic system approach was analyzed through several research stages, including needs analysis, problem formulation, system identification, model formulation, model validation and model simulation, and sensitivity analysis. Dynamic system modeling was analyzed using Powersim Studio 10 Academic. The research results show that the beef cattle population in Indonesia for the 2015-2022 period shows positive growth, with an average increase of 2.39% per year. The beef cattle population in the Java region is the highest compared to five other areas: Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara-Bali, Sulawesi, Maluku, and Papua. The beef cattle population in the Java region is 43% of the total national beef cattle population, followed by the Sumatra region (20%) and the Nusa Tenggara and Bali regions (17%). There is still excess demand in Indonesia, so consumption is still fulfilled through beef imports. Beef imports to Indonesia come from Australia (49.42%), India (32.37%), New Zealand (9.70%), United States (6.14%), Brazil (1.18%), Spain (0.51%) and other countries (0.69%). The average growth in domestic beef production is smaller than consumption in the 2015-2022 period. The average growth in domestic beef production is 0.06% per year, while consumption growth is 4.89% per year. The results of identifying factors that influence the supply and demand for beef in Indonesia show that domestic beef prices and domestic beef production significantly influence domestic beef production. Furthermore, national beef demand is significantly influenced by people's income. Based on empirical results, the policy of increasing imports of productive cow positively impacts livestock and beef production before and after the pandemic. However, the policy of reducing beef and cattle imports will have a negative impact on beef cattle production after the pandemic. This import policy has no impact on national beef demand. The COVID 19 pandemic has had an effect on increasing beef production higher than before the pandemic by 25%. The beef supply and demand model in Indonesia, built using the dynamic system method, consists of three submodels: the national beef supply submodel, the national beef demand submodel, and the export-import submodel. The simulation results in base conditions show that the trend in domestic beef production and the percentage of achieving national beef self-sufficiency is decreasing. Therefore, there needs to be a policy to encourage increased domestic beef production. Without intervention in the policy scenario, in basic conditions, the percentage of achieving national beef self-sufficiency of 17.24% in 2045 is still far from the target of meeting domestic beef production towards national beef demand of 90%. In this research, alternative policies and strategies for achieving national meat self-sufficiency are formulated in five basic policy scenarios and four combined policy scenarios. The five basic scenarios are a program to increase pregnancy through artificial insemination (scenario 1), controlling the slaughter of productive cows (scenario 2), reintroducing mandatory imports of broodstock for feedlots/importers of feeder cattle (scenario 3), increasing the number of productive cows through imports (scenario 4 ), and increased imports of feeder cattle (scenario 5). The highest achievement of national beef self-sufficiency from the five basic policy scenarios is scenario 2 at 36.24%, scenario 5 at 35.29%, and scenario 1 at 31.43%. The policy of controlling the slaughter of productive cows will be able to accelerate the achievement of national beef self-sufficiency because in the implementation of this policy, a trend was found to increase the percentage of achieving national beef self-sufficiency in 2038. Policy implications based on research results underline the importance of programs to control cutting of productive cow, and increase pregnancy through artificial insemination. To maintain the national beef cattle population, a feeder cattle import policy is still needed, and this will be reduced gradually. Policy recommendations for accelerating the achievement of national beef self-sufficiency based on research results are controlling the slaughter of productive cows, increasing pregnancy through artificial insemination, and adding productive cows through imports and imported feeder cattle. The policy of controlling the slaughter of productive cows can be implemented. Still, it must be balanced with the policy of "Cage receipts," namely the purchase/rescue of productive cows that will be slaughtered and bred by the government, either through state-owned enterprises or the private sector,the policy of calf incentive, and the policy of providing ready-to-slaughter replacement cattle through pregnancy improvement programs and import feeder cattle. Furthermore, efforts to increase farmers' income and business development can be made by increasing the productivity and quality of beef cattle. The government can encourage breeders' development by involving stakeholders by providing production facilities, capital/financing, facilitating business diversification, and credit with affordable interest for breeders.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/156522
Appears in Collections:DT - Economic and Management

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
cover_H463190011_6a74cf6ca24641df9e442010b5bfcb0a.pdfCover2.53 MBAdobe PDFView/Open
fulltext_H463190011_f0086514ea2d435992edcbe865970ac3.pdf
  Restricted Access
Fulltext7.74 MBAdobe PDFView/Open
lampiran_H463190011_800b60f5657c4b6cbb72b017bd13319f.pdf
  Restricted Access
Lampiran3.46 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.