Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/154736| Title: | Tata Kelola Penanganan Tumpahan Minyak Di Laut Timor, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur |
| Other Titles: | Governance for Handling Oil Spills in the Timor Sea, Rote Ndao Regency, East Nusa Tenggara |
| Authors: | Sriharini, Endang Koestati Yonvitner Gautama, Dwi Ariyoga |
| Issue Date: | 2024 |
| Publisher: | IPB University |
| Abstract: | Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi Kepulauan di Indonesia yang berbatasan dengan Laut Timor. Laut ini memiliki 16 blok Migas yang aktif dan merupakan jalur perlintasan kapal di sektor ALKI-III E. Potensi sumberdaya dan akses pelayaran ini mendukung pembangunan di tingkat daerah, namun juga beresiko terhadap tumpahan minyak. Kejadian tumpahan minyak
Montara di tahun 2009 sebagai contoh dari proses penanganan yang mengalami tantangan walaupun kebijakan telah tersedia. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ditujukan untuk membuat rumusan tata kelola penanganan tumpahan minyak di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus 2023 sampai Januari 2024 dengan pengambilan data wawacara dilakukan kepada 34 responden sesuai dengan lokasi responden (Jakarta, Kota Kupang dan Kabupaten Rote Ndao). Data dan informasi dikumpulkan berdasarkan wawancara terstruktur dalam mengidentifikasi kelompok atau pihak yang memainkan peran sentral dalam penanganan pencemaran laut. Metode penelitian menggunakan 3 analisis yang meliputi; 1) analisis stakeholder yang mencakup identifikasi stakeholder, pengelompokan dan
pengkategorian stakeholder, dan menyelidiki hubungan antar stakeholder; 2) analisis jejaring sosial menggunakan software Ucinet versi 6.1 dalam melihat keterhubungan antar stakeholder; 3) analisis kebijakan dalam penanganan tumpahan minyak.
Total stakeholder sebanyak 34 stakeholder yang terdiri atas unsur instansi pemerintahan, masyarakat, sektor swasta, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Terdapat 10 lembaga yang menjadi key player yang didominasi oleh Pemerintah Pusat yang meliputi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT, serta Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB).
Peran stakeholder penting lainnya dalam mendukung upaya penanganan tumpahan minyak lebih optimal dalam kuadran context setter adalah pelibatan Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Rote Ndao dan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kedua Lembaga tersebut dapat mendukung pengganggaran dan pemantauan rutin resiko kebencanaan. Stakeholder lainnya adalah masyarakat dan pemerintah desa dengan pelibatan dalam mekanisme pelaporan peringatan dini terhadap tumpahan minyak.
Stakeholder didalam kuadran III atau subject didominasi oleh masyarakat pesisir (petani rumput laut, nelayan dan pengepul rumput laut), Pemerintah daerah dan Pemerintah Desa di Kabupaten Rote Ndao, BRIN dan universitas di NTT hingga Yayasan Terangi dan UNDP. Stakeholder lainnya pada kuadran IV atau crowd adalah perusahaan vendor migas yang dikontrak sesuai kebutuhan dalam mendukung penanganan tumpahan minyak.
Hasil analisis pemetaan jejaring hubungan antar pihak dalam aspek kolaborasi menunjukan 5 instansi sentral yang berperan penting dalam penanganan tumpahan minyak di Kabupaten Rote Ndao. Instansi meliputi DKP provinsi NTT DLHK provinsi NTT, KLHK, PPSDKP KKP dan YPTB. Konfigurasi hubungan stakeholder dalam berbagi pengetahuan dan informasi didominasi oleh peran UNDP Indonesia melalui program ATSEA-2 yang bekerjasama dengan pihak KKP.
Tantangan utama dalam penanganan tumpahan minyak yang terjadi di kabupaten Rote Ndao adalah peraturan dan kebijakan berfokus pada aspek pencegahan dan proses ganti rugi terhadap kejadian tumpahan minyak. Kebijakan dalam pengumpulan data belum terdesain secara konsisten dan belum ada transparasi dari proses restorasi/rehabilitasi lingkungan pasca kejadian tumpahan minyak. Kewenangan penanganan bersifat sentralistik oleh Satuan Kerja (Satker) Kementerian di tingkat daerah dan kurang memberikan peran dan tanggung jawab
kepada Pemerintah Daerah. Mekanisme dan akses penggunaan anggaran dalam penanganan tumpahan minyak secara cepat masih mengandalkan APBN dengan birokrasi yang panjang
Berdasarkan ketiga analisis penelitian, rumusan tata kelola dalam penanganan tumpahan minyak yaitu pembagian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang memiliki risiko terhadap tumpahan minyak. Pengelolaan program penanganan tumpahan minyak perlu melibatkan dan mendapatkan dukungan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kewenangan ini meliputi pengumpulan dan pengelolaan data dan informasi untuk kondisi lingkungan, kompetensi dalam analisis dampak dan valuasi ekonomi serta akses terhadap penggunaan dana talangan dalam penanganan tumpahan minyak.
Kewenangan diturunkan dengan membuat kesepakatan dan mekanisme dalam pembagian peran dan tanggungjawab dari tim penanganan tumpahan minyak di tingkat nasional dan Provinsi NTT dalam mengkordinir unit penanganan tumpahan minyak. Adopsi dan implementasi rencana kontijensi dan skema pendanaan kedaruratan (revolving fund) di tingkat provinsi. Kebijakan dalam penambahan peran Pusdalops-PB di Provinsi NTT untuk memantau sistem
peringatan dini tumpahan minyak di provinsi NTT, serta diperlukan adanya mekanisme insentif dalam memastikan peran stakeholder dapat berjalan dengan adanya bentuk penghargaan yang dapat menjadi motivasi stakeholder menjalankan peran dan tanggungjawab yang telah diberikan. East Nusa Tenggara is one of the archipelagic provinces in Indonesia, bordering the Timor Sea. Timor Seas have 16 active oil and gas blocks and serves as a shipping route in the ALKI-III E sector. The potential of these resources and the maritime access supports regional development, yet challenges like oil spills remain, exemplified by the 2009 Montara spill and its complex handling despite existing policy. Therefore, this research aims to formulate governance for oil spill response in Rote Ndao Regency, East Nusa Tenggara Province. Data collection was conducted from August 2023 to January 2024, involving interviews with 34 respondents from Jakarta, Kupang City, and Rote Ndao Regency. Data and information were gathered through structured interviews to identify groups or parties playing central roles in marine pollution response. The research utilized three analyses: 1) stakeholder analysis, which includes stakeholder identification, grouping, categorization, and examining inter-stakeholder relationships; 2) social network analysis using Ucinet 6.1 software to assess stakeholder interconnections; and 3) policy analysis for oil spill response. The total number of stakeholders was 34, comprising government agencies, the community, the private sector, academia, and NGOs. At least 10 key institutions were identified as crucial players in oil spill response in Rote Ndao Regency, including the Ministry of Environment and Forestry (KLHK), the Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP), the Ministry of Transportation (Kemenhub), the Maritime Security Agency (Bakamla), the Coordinating Ministry for Maritime Affairs and Investment (Kemenko Marves), the Provincial Environment and Forestry Agency (DLHK) and the Provincial Marine and Fisheries Agency (DKP) of East Nusa Tenggara, as well as the Peduli Timor Barat Foundation (YPTB). The involvement of other significant stakeholders to optimize oil spill response efforts in the context setter quadrant includes the Regional Planning, Research, and Development Agency (Bapelitbangda) of Rote Ndao and the Disaster Management Operations Control Center (Pusdalops-PB) – National Disaster Management Agency (BNPB). These two institutions can support budgeting and routine disaster risk monitoring. Other stakeholders include the community and village government, involved in early warning reporting mechanisms for oil spills. Stakeholders in quadrant III or subjects are dominated by coastal communities (seaweed farmers, fishermen, and seaweed collectors), local government, and village governments in Rote Ndao Regency, BRIN, universities in NTT, the Terangi Foundation, and UNDP. Other stakeholders in quadrant IV or crowd are contracted oil and gas vendor companies as needed to support oil spill response efforts. The analysis of the stakeholder network relationships in the aspect of collaboration shows 5 central agencies that play an important role in oil spill management in Rote Ndao Regency. These agencies include the NTT Provincial DKP, NTT Provincial DLHK, KLHK, PPSDKP KKP, and YPTB. The stakeholder relationship configuration in sharing knowledge and information is dominated by the role of UNDP Indonesia through the ATSEA-2 program in collaboration with KKP. The main challenges in oil spill management in Rote Ndao Regency are regulations and policies focusing on prevention aspects and compensation processes for oil spill incidents. Data collection policies are not consistently designed, and there is no transparency in the environmental restoration/rehabilitation process post-oil spill incidents. The authority for handling is centralized by the Ministry's Work Unit (Satker) at the regional level and does not provide roles and responsibilities to local governments. The mechanism and access to the use of funds for rapid oil spill response still rely on the State Budget (APBN) with lengthy bureaucracy. Based on the three research analyses, the formulation of governance in handling oil spills involves the delegation of authority from the Central Government to the Regional Governments that are at risk of oil spills. The management of oil spill response programs needs to involve and receive support from the Ministry of Home Affairs (Kemendagri). This authority includes the collection and management of data and information for environmental condition, competency in impact analysis and economic valuation, as well as access to the revolving funds in handling oil spills. The authority is delegated by creating agreements and mechanisms for the division of roles and responsibilities from the national and NTT Provincial oil spill response teams in coordinating the oil spill response unit. Adoption and implementation of contingency plans and emergency funding schemes (revolving fund) at the provincial level. Policies to enhance the role of Pusdalops-PB in NTT Province to monitor the early warning system for oil spills in NTT Province are also needed. Additionally, there needs to be an incentive mechanism to ensure stakeholder roles are carried out, with forms of recognition that can motivate stakeholders to fulfill their given roles and responsibilities. |
| URI: | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/154736 |
| Appears in Collections: | MT - Multidiciplinary Program |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| cover_P0502202025_0df7410d016742428e79d5a89b4848b9.pdf | Cover | 404.69 kB | Adobe PDF | View/Open |
| fulltext_P0502202025_bc43b3a29afd4f4ea84af7b827168e43.pdf Restricted Access | Fulltext | 2.96 MB | Adobe PDF | View/Open |
| lampiran_P0502202025_f501e53b6ece44a88546e1b3e2336aad.pdf Restricted Access | Lampiran | 204.69 kB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.