Analisis Faktor Kesiapan Transformasi Kemitraan LMDH Lancar Jaya, KPH Kediri di Areal KHDPK

Abstract

Penetapan areal Kawasan Hutan Pengelolaan Khusus (KHDPK) sebagai kebijakan baru terkait pengelolaan hutan di Jawa telah mengembalikan mandat kewenangan dari BUMN Kehutanan yaitu Perhutani kembali ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas ± 1,1 juta ha termasuk untuk perhutanan sosial. Penetapan ini mendorong Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), sebagai pelaku perhutanan sosial, untuk mempunyai badan usaha berbadan hukum koperasi. Objek penelitian ini adalah suatu LMDH, yang wilayah kerjanaya terkategori dalam KHDPK. Tujuan dari penelitian untuk mengevaluasi faktor faktor yang berpengaruh terhadap kinerja LMDH Lancar Jaya melalui pendekatan situation-structure-behavior-performance untuk melihat lebih dalam faktor yang mempengaruhi kinerjanya, kemudian menganalisis lebih dalam tanggapan awal dan faktor-faktor kesiapan menghadapi kebijakan KHDPK. Metode yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di LMDH Lancar Jaya, Desa Ngancar, serta beberapa LMDH di KPH Sukabumi dan KPH Cepu sebagai benchmark. Metode pengumpulan data meliputi wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi kemitraan kehutanan, dan pengumpulan dokumen terkait, termasuk peraturan dan arsip kelembagaan LMDH. Analisis data dilakukan melalui pendekatan kualitatif, dengan fokus pada Situation-Structure-Behavior Performance (SSBP) dan analisis isi untuk menginterpretasikan peraturan dan dokumen pendukung. Analisis stakeholder juga dilakukan untuk memahami kepentingan dan pengaruh para aktor, serta hubungan di antara mereka, yang dilengkapi dengan alat seperti kamera dan recorder untuk dokumentasi dan transkripsi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja kemitraan LMDH Lancar Jaya dinilai cukup efisien dan aktif-mandiri, ditandai dengan usaha, penerimaan manfaat para aktor, dan tanaman Perhutani yang berjalan dengan baik. Namun, beberapa LMDH lainnya mengalami kendala dalam distribusi manfaat, pemanfaatan dan penjagaan lahan, serta pemberian bagi hasil dan sistem insentif yang tidak maksimal. Perilaku aktor di LMDH Lancar Jaya menunjukkan pembentukan jaringan interaksi yang efektif, memudahkan kerja sama dengan berbagai aktor yang memberikan tambahan modal keuangan dan sosial. Keberhasilan ini didorong oleh kepemimpinan dan manajemen yang efisien di LMDH Lancar Jaya, serta keterbukaan dalam menjalin hubungan dengan berbagai pihak. Respons awal terhadap kebijakan KHDPK menunjukkan variasi di antara LMDH. Sementara beberapa LMDH mengalami kebingungan dan ketidakpastian karena perubahan regulasi dan informasi, LMDH Lancar Jaya menampilkan sikap kooperatif dan adaptif. Perubahan aturan mengakibatkan kekhawatiran di kalangan investor dan pekerja Perhutani, terutama mengenai pengurangan pasokan dan potensi kehilangan pekerjaan. Situasi ini mencerminkan tantangan dalam masa transisi dan perlunya adaptasi kebijakan dan perilaku yang efektif untuk mengatasi masalah yang muncul. Berdasarkan berbagai temuan tersebut, transformasi memerlukan beberapa faktor kunci. Hal ini meliputi peningkatan sumber daya manusia, penerapan teknologi baru, penyesuaian struktur dan budaya organisasi, dan pengembangan kapasitas lembaga. Modal sosial, termasuk membangun kepercayaan, jaringan kuat antar aktor, dan pilihan institusi yang mendukung sinergi dan aksi kolektif, sangat penting. Selain itu, perlu ada strategi untuk mengatasi asimetri informasi, pemilihan mitra yang tepat, serta merancang sistem insentif dan bagi hasil yang mempertimbangkan karakteristik lokasi dan respons terhadap aturan baru. Pengawasan, evaluasi, dan umpan balik yang efektif juga krusial untuk memastikan keberhasilan transformasi ini.

The designation of the Special Forest Management Area (KHDPK) area as a new policy for forest management in Java returns the mandate of authority from the state-owned forestry company, Perhutani, back to the Ministry of Environment and Forestry, covering an area of approximately 1.1 million hectares, including for social forestry. This designation pushes Community Forest Village Institution (LMDH) to have a legal entity for its business as a cooperative. The object of this research is an LMDH, which its working area is categorized as part of KHDPK. The goal of this research is to evaluate the factors influencing the performance of Community Forest Village Institution (LMDH) through a situation-structure-behavior-performance approach, to delve deeper into the factors affecting its performance, and then to analyze the initial responses and readiness factors in facing KHDPK policy. The qualitative-descriptive method is employed. This research is conducted in LMDH Lancar Jaya, Ngancar Village, and several LMDHs in KPH Sukabumi and KPH Cepu as benchmarks. Data collection methods include in-depth interviews with key informants, observations of forestry partnerships, and collection of related documents, including regulations and LMDH institutional archives. The qualitative analysis focuses on the Situation-Structure Behavior-Performance (SSBP) approach and content analysis to interpret regulations and supporting documents. Stakeholder analysis is also performed to understand the interests and influences of the actors and their relationships, supplemented with tools such as a camera and recorder for documentation and transcription. The research findings indicate that the performance of the LMDH Lancar Jaya partnership is considered efficient and self-reliant, marked by successful business operations, benefit reception by actors, and effective Perhutani plantation management. However, other LMDHs need help in benefit distribution, land use, protection, and suboptimal profit-sharing and incentive systems. Actors in LMDH Lancar Jaya show effective networking behavior, facilitating cooperation with various actors contributing additional financial and social capital. This success is driven by efficient leadership and management in LMDH Lancar Jaya and openness in establishing relationships with multiple parties. The initial response to the KHDPK policy varies among LMDHs. While some experience confusion and uncertainty due to regulatory changes and information, LMDH Lancar Jaya exhibits a cooperative and adaptive attitude. Policy changes have raised concerns among investors and Perhutani workers, particularly about supply reductions and potential job losses. This situation reflects the challenges in the transition period and the need for policy and behavioral adaptation to address emerging issues. Based on these findings, several key factors are necessary for transformation. These include human resource development, new technology implementation, structural and organizational culture adjustment, and institutional capacity development. Social capital is crucial, as is building trust and strong networks among actors and choosing institutions that support social synergy and collective action. Additionally, strategies to address information asymmetry and selecting appropriate partners are needed, along with designing incentive and profit-sharing systems that consider location characteristics and responses to new rules. Effective monitoring, evaluation, and feedback are essential to ensure the success of this transformation.