Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/141406
Title: Sarkosporidiosis pada sapi yang di sebabkan oleh sarcocystis cruzi
Authors: Handajani, Sri Utami
Aghadi, Gatut
Siregar, Muhamad Irawan Syarif
Issue Date: 1988
Publisher: IPB University
Abstract: Sarkosporidiosis merupakan penyakit protozoa yang dapat berjalan akut dan kronis. Sarkosporidiosis pada sapi dapat diakibatkan oleh 3 jenis sarkosporidea dengan S. cruzi yang bersifat patogen dan paling banyak menyerang hewan sapi. Kejadian sapi yang terserang, mempunyai hubungan dengan umur dan musim. Sapi dari segala umur dapat terserang, tetapi sapi dengan umur di atas 2 tahun lebih banyak terserang. Mengenai musim, di Indonesia kejadian sarkosporidiosis lebih banyak terjadi pada musim hujan, dan kejadian di Eropa lebih banyak terjadi pada musim semi dan musim panas. Siklus hidup S. cruzi harus mempunyai dua induk semang yaitu herpifora sebagai induk semang antara dan karnifora sebagai induk semang akhir. Secara morfologi, hanya kista yang berisi bradyzoit yang menyebabkan infeksi terhadap karnifora. Bila dirangkumkan, perjalanan siklus hidupnya dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu tahap sporogoni, tahap skizogoni dan tahap gamelogoni. Tahap skizogoni merupakan tahap aseksual pada induk semang antara dan tahap gametogoni merupakan tahap seksual pada Induk semang akhir. togenitas Sarcocystis tidak begitu berat, yang membahayakan adalah toksinnya yang disebut sarkocystin atau sarkosporidin yang dapat merusak susunan syaraf, kelenjar adrenal, jantung dan dinding usus. Pengaruhnya pada penyakit yang bersifat akut, hanya terjadi dalam sejumlah kecil induk semang dan harus pula terhadap jumlah yang besar dari sporokista. Gejala-gejala klinis yang tampak adalah sebagai berikut: gejal umum, kerontokan bulu, hipersalivasi, ikterus kepucatan membaan mukus, limfadenopati periferal, diare, perasaan kedinginan, otot kejang, otot dan kepala tremor, dan paralisis-posterior. Pada sapi perah, gejala klinis yang terlihat umumnya terjadi setelah laktasi dimulai dengan sebelumnya tidak terlihat tanda-tanda yang jelas. Gejala yang ada, adalah demam (41.1°C 12.0°C), hipersalivasi, pengeluaran cairan dari hidung (nasal discharge), dan kehilangan pengkilapan bulu kulit serta kehilangan gerakan dari ekor ("ekor tikus"). ...
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/141406
Appears in Collections:UT - Veterinary Clinic Reproduction and Pathology

Files in This Item:
File SizeFormat 
B88mis.pdf
  Restricted Access
13.06 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.