Kajian Karakteristik dan Pengaruh Musim Terhadap Distribusi Sampah Laut di Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut Kepulauan Seribu

Abstract

Suaka Margasatwa Pulau Rambut merupakan salah satu kawasan yang termasuk ke dalam gugusan Kepulauan Seribu yang berdekatan dengan Teluk Jakarta. Sampah laut merupakan salah satu masalah lingkungan yang hingga saat ini masih diperhatikan. Beberapa studi yang telah dilakukan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut menyimpulkan sampah laut yang terdampar memberikan dampak negatif pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut sebagai rumah atau habitat bagi burung-burung laut. Hal tersebut merupakan salah satu alasan dilakukannya penelitian mengenai karakterisasi (kepadatan, bobot dan jenis) dan pengaruh musim terhadap distribusi sampah laut di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Pengumpulan sampel sampah laut dilakukan pada bulan September hingga Desember 2021 di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu. Pengumpulan sampel dilakukan di Stasiun pantai dan mangrove. Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan transek kuadran. Sampel yang dikumpulkan sudah melalui berbagai proses seperti pengeringan di bawah sinar matahari, penimbangan bobot dan juga pensortiran sampel yang telah ditetapkan berdasarkan kategori plastik, karet, logam, kaca, kayu dan kain. Sampel sampah laut juga dianalisis menggunakan Fourier transform infrared (FTIR) untuk mengetahui kandungan polimer yang ada pada sampel sampah laut yang ditemukan. Total kepadatan jumlah sampah laut semua Stasiun selama periode pemantauan yaitu sebesar 1,82 ± 0,76 item/m2. Diantara kedua Stasiun, kepadatan jumlah sampah laut di Stasiun 2 (2,02 ± 0,54 item/m2) melebihi yang ada di Stasiun 1 (pantai) (1,62 ± 0,98 item/m2). Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kepadatan jumlah (0,38 > 0,05) dan bobot (0,14 >0,05) antara Stasiun penelitian. Kepadatan jumlah terbesar tercatat pada bulanOktober (2,70 ± 0,38 item/m2). Data dari hasil analisis Uji Kruskal-Wallismenunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kepadatan jumlah (0,16 >0,05) dan bobot (0,34 > 0,05) antara sampah laut terdampar yang dikumpulkan,tetapi Uji Dunn’s Post Hoc menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalamkepadatan jumlah di bulan Oktober dan Desember (0,04 < 0,05). Dominasikepadatan jumlah juga terlihat pada musim peralihan 2 (2,08 ± 0,97 item/m2). HasilUji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalamkepadatan jumlah (0,38 > 0,05) dan bobot (0,08 > 0,05) antar musim. Sampah plastik merupakan kategori sampah yang mendominasi di semua Stasiun. Tercatat rata-rata kepadatan sampah plastik sebesar 2,91 ± 1,20 item/m2 dengan bobot 32,54 ± 8,19 gr/m2. Dominasi kepadatan jumlah semua kategori sampah tertinggi terjadi pada musim peralihan 2 yaitu 3,31 ± 1,58 7 item/m2. Jenis sampah plastik dominan yang ditemukan di stasiun pantai yaitu styrofoam (37%), diikuti bungkus plastik kresek dan bungkus plastik sachet (17%) serta gelas plastik (16%). Berbeda dengan temuan jenis sampah plastik di stasiun mangrove yang didominasi oleh styrofoam (63%), sepatu, sandal bekas dan sarung tangan (25%) serta botol plastik, tutup plastik (4%). Temuan jenis polimer Polyethylene (PE) pada semua sampel sampah yang diuji memperlihatkan dominasi yang signifikan terhadap jenis polimer lainnya. Keberadaan sampah laut yang terdampar di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut dapat menimbulkan dampak yang buruk pada berbagai ekosistem serta organisme yang hidup didalamnya. Pengelolaan sampah laut yang tepat akan memberikan solusi yang positif untuk keberlanjutan kelestarian ekosistem yang ada di Suaka Margsatwa Pulau Rambut. Penanganan masalah sampah plastik membutuhkan upaya dan perhatian lebih dari semua pihak terkait agar terciptanya strategi yang tepat dalam penanganan masalah ini. Tidak hanya strategi pengelolaan yang tepat, perhatian terhadap infrastruktur seperti peningkatan kapasitas daur ulang dengan fasilitas yang memadai juga diperlukan untuk mengelola sampah laut yang ada. Cara lainnya seperti meningkatkan kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat akan dampak dan perubahan kebiasaan terhadap penggunaan plastik sebagai bahan utama yang digunakan setiap waktu merupakan hal yang harus salalu dilakukan untuk pengendalian sampah plastik.

Rambut Island Wildlife Reserve is one of the areas included in the Thousand Islands group which is adjacent to the Jakarta Bay. Marine debris is one of the environmental problems that is still being considered. Several studies that have been conducted in Rambut Island Wildlife Sanctuary concluded that stranded marine debris has a negative impact on the Rambut Island Wildlife Sanctuary area as a home or habitat for seabirds. One reason for conducting research is to characterize marine debris in the Rambut Island Wildlife Sanctuary, including its density, weight, type and distribution. Collection of marine debris samples was carried out from September to December 2021 in the Rambut Island Wildlife Sanctuary, Kepulauan Seribu. Sample collection was carried out at beach and mangrove stations. Sample collection was carried out using quadrant transects. Samples collected have gone through various processes such as drying in the sun, weighing samples and also sorting samples that have been determined based on the categories of plastic, rubber, metal, glass, wood and fabric. Marine debris samples were also subjected to Fourier transform infrared (FTIR) analysis to determine the polymer content of the samples. During the monitoring period, the total density of marine debris at all stations was 1,82 ± 0,76 items/m2. Station 2 had a higher density of marine debris (2,02 ± 0,54 items/m2) compared to station 1 (1,62 ± 0,98 items/m2). The Kruskal-Wallis test indicated no significant difference in number (0,38 > 0,05) and weight (0,14 > 0,05) density between the study stations. The month of October had the highest number density (2,70 ± 0,38 items/m2). The Kruskal-Wallis Test analysis revealed no significant difference in number density (0,16 > 0,05) and weight (0,34 > 0,05) among the collected stranded marine debris. However, the Dunn's Post Hoc Test showed a significant difference in number density in October and December (0,04 < 0,05). The dominance of number density was also observed during transitional season 2 (2,08 ± 0,97 items/m2). The Kruskal-Wallis Test results indicate no significant difference in number (0,38 > 0,05) and weight (0,08 > 0,05) density between seasons. Plastic debris was the dominant category of debris at all stations, with an average density of 2,91 ± 1,20 items/m2 and a weight of 32,54 ± 8,19 gr/m2. During transitional season 2, the highest waste density was observed at 3,31 ± 1,58 items/m2, with plastic waste being the most prevalent type found at all stations. At the beach station, the most prevalent type of plastic waste is Styrofoam (37%), followed by crackle plastic wrap and sachet plastic wrap (17%) and plastic cups (16%). In contrast, the mangrove stations were dominated by Styrofoam (63%), shoes, used sandals, and gloves (25%), and plastic bottles and caps (4%). The dominance of Polyethylene (PE) polymer type over other polymer types was significant in all waste samples tested.The presence of marine debris stranded in the Rambut Island Wildlife Sanctuary area can have a negative impact on various ecosystems and the organisms that live in them. Proper management of marine debris will provide a positive solution for the sustainability of the ecosystem in the Rambut Island Wildlife Sanctuary. Handling the plastic waste problem requires more effort and attention from all related parties in order to create the right strategy in handling this problem. Not only the right management strategy, attention to infrastructure such as increasing recycling capacity with adequate facilities is also needed to manage existing marine debris. Other methods such as raising awareness and educating the public on the impact and changing habits towards the use of plastic as the main material used every time are things that must always be done to control plastic debris