Fertigasi Bawang Merah di Lahan Kering Menggunakan Irigasi Mikro sebagai Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

Abstract

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran terbanyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, sehingga kenaikan harga bawang merah akibat fluktuasi produksi mampu menyebabkan inflasi ekonomi nasional. Fluktuasi produksi salah satunya dipicu oleh stagnansi produktivitas bawang merah akibat dampak perubahan iklim (terbatasnya ketersediaan air tanah), yaitu 9-10 ton ha-1 selama satu dekade terakhir. Pertanian Presisi (Precision Agriculture) melalui fertigasi menjadi salah satu strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang terjadi. Pada budidaya bawang merah, teknologi irigasi umumnya menggunakan sistem surjan yang tidak efisien air dan tenaga kerja. Teknologi fertigasi secara presisi menggunakan irigasi mikro menjadi alternatif solusi dalam meningkatkan efisiensi pemberian air dan hara serta tenaga kerja. Populasi tanam bawang merah saat ini masih berpotensi untuk dipadatkan guna meningkatkan produktivitasnya. Pemanfaatan irigasi mikro diharapkan dapat menjadi teknologi pendukung peningkatan produktivitas bawang merah melalui peningkatan populasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan teknologi budidaya bawang merah di lahan kering yang efisien dalam penggunaan air, (2) mengukur tingkat efektivitas penggunaan mulsa polyethylene pada produksi bawang merah di lahan kering dengan jarak tanam rapat, dan (3) mendapatkan teknologi penentuan ketersediaan air tanah pada daerah perakaran yang paling efektif dalam menentukan waktu aplikasi dan volume irigasi pada bawang merah. Tahapan penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu: (1) uji kerapatan tanam dan efisiensi air melalui jumlah selang irigasi tetes pada bawang merah, (2) uji efektivitas mulsa polyethylene pada budidaya bawang merah di lahan kering dengan jarak tanam rapat, dan (3) uji efektivitas sensor kelembapan tanah dibandingkan dengan nilai evapotranspirasi tanaman pada fertigasi bawang merah di lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi budidaya bawang merah dengan jarak tanam rapat menggunakan selang irigasi mikro per bedeng di lahan kering efisien dalam penggunaan air dan mampu meningkatkan produksi tanaman. Satu selang irigasi mikro dengan volume air sesuai nilai ETc per bedeng cukup optimal dalam mendukung produktivitas tanaman, sementara dua selang irigasi per bedeng menghasilkan produktivitas tertinggi. Penggunaan mulsa polyethylene pada produksi bawang merah di lahan kering dengan jarak tanam rapat belum efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Teknologi sensor kelembapan tanah cukup efektif dalam menentukan waktu aplikasi irigasi pada bawang merah. Jumlah sensor, threshold kelembapan, dan volume pengairan sangat perlu untuk dipertimbangkan agar teknologi ini dapat diimplementasikan di lahan komersial sehingga kualitas dan produktivitas yang dihasilkan maksimal.

Shallots (Allium ascalonicum L.) is consumed by many Indonesian people, so the increase in the price of shallots due to fluctuations in production can cause inflation in the national economy. One of the reasons for the fluctuation in production is the stagnation of shallot productivity due to the impact of climate change (limited availability of groundwater), namely 9-10 tons ha-1 over the last decade. The implementation of precision agriculture through fertigation is one of the strategies for adapting to the impacts of climate change. In shallots cultivation, irrigation technology generally uses a ‘surjan’ system which is inefficient in water and labor. Precision fertigation technology by using micro irrigation is an alternative solution to increase the efficiency of providing water and nutrients as well as labor. The current planting population of shallots still has the potential to be increased to increase its productivity, but this makes the plants more susceptible to disease attacks. Therefore the use of micro-irrigation is expected to be can be an alternative technology to increase shallot productivity through increased population. The objectives of this research are (1) to obtain a technology for cultivating shallots on dry land that is efficient in using water, (2) to measure the level of effectivity of using polyethylene mulch in shallot production on dry land with narrow planting spacing, and (3) to obtain the most effective technology for determining the availability of soil water in the root area to determine the application time and irrigation volume for shallots. The research consisted of three experiments, namely: (1) testing planting density and the effectiveness of drip irrigation hoses on shallots, (2) testing the effectiveness of polyethylene mulch on cultivating shallots on dry land with narrow planting spacing, and (3) testing the effectiveness of soil moisture sensor compared to evapotranspiration values on shallot fertigation in dry land. The results of the research showed that the technology for cultivating shallots with dense population using micro-irrigation per bed on dry land was efficient in water use and able to increase plant productivity. Using one micro-irrigation hose per bed with water volume based on evapotranspiration value is quite effective in supporting shallots productivity, while using two micro-irrigation hoses produces the highest productivity. The use of polyethylene mulch in shallot production on dry land with narrow plant spacing has not yet been optimal in increasing plant growth and production. Soil moisture sensor technology is quite efficient in determining the time of irrigation application on shallots. The number of sensors, humidity threshold, and irrigation volume really need to be considered, so that this technology can be implemented on commercial land to maximize quality and productivity.