Viabilitas Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis L. Jacq.) pada Berbagai Tingkat Masak Fisiologi, Metode Pematahan Dormansi, Kondisi Simpan, dan Invigorasi

Abstract

Kelapa sawit (Elaeis guineensis L. Jacq) merupakan tanaman utama penghasil minyak nabati yang perbanyakannya dilakukan secara generatif melalui benih. Saat ini produksi benih kelapa sawit membutuhkan informasi waktu masak fisiologi untuk penentuan umur panen yang tepat. Produksi benih kelapa sawit juga membutuhkan teknik pematahan dormansi yang lebih efektif, penekanan deteriorasi benih selama penyimpanan, dan invigorasi bagi benih-benih yang telah disimpan selama periode tertentu. Penelitian ini ditujukan untuk memaksimalkan viabilitas benih melalui penentuan waktu masak fisiologi benih, peningkatan mutu fisiologis benih dengan aplikasi fine bubble water (FBW), pematahan dormansi benih kelapa sawit dengan gelombang mikro, medan elektromagnetik, dan skarifikasi menggunakan H2SO4, perbaikan teknik penyimpanan, dan invigorasi benih kelapa sawit. Waktu masak fisiologi ditentukan melalui parameter fisik, fisiologis, dan biokimiawi benih yang dipanen pada umur berbeda (4,5; 5; 5,5; dan 6 bulan setelah penyerbukan [BSP]). FBW diaplikasikan selama perendaman II proses dry heat method (DHM), sedangkan penggunaan gelombang mikro, medan elektromagnetik, dan skarifikasi dengan H2SO4 dilakukan sebelum perendaman II proses DHM. Upaya mempertahankan viabilitas dan vigor benih selama penyimpanan dilakukan dengan menyimpan benih pada dua kondisi simpan (penyimpanan terkendali dan terbuka) dan dua kemasan (PE tunggal dan ganda). Invigorasi dilaksanakan dengan menggunakan zeolit, vermikulit, dan arang sekam sebagai media matriconditioning yang dikombinasikan dengan emulsi Trichoderma, 2% KNO3, 2% KH2PO4, dan air sebagai larutan matriconditioning. Hasil memperlihatkan bahwa umur masak fisiologi dipengaruhi varietas. Masak fisiologi benih varietas DxP Langkat tercapai saat 4,5 BSP sedangkan tiga varietas lain (DxP PPKS 540, DyxP SP-1 [Dumpy], dan DxP Yangambi) pada umur 5,5 BSP yang ditandai oleh stabilnya kadar air (KA), bobot kering (BK) maksimal pada endosperma, BK maksimal pada endokarp, dan BK maksimal pada benih. Kandungan ABA pada endosperma cenderung stabil, sedangkan sitokinin dan giberelin cenderung meningkat seiring dengan kemasakan benih. Konsentrasi sitokinin dan GA tertinggi terjadi pada 5,5 BSP. Penggunaan FBW selama perendaman II DHM meningkatkan persentase benih berkecambah pada seleksi pertama kecambah kelapa sawit (4,40-4,67%) dan menghasilkan puncak perkecambahan yang lebih awal (26 HSP) dibanding pada perlakuan air kran (0,33-1,87%, 34 HSP). Percobaan gelombang mikro, medan elektromagnet, dan skarifikasi dengan H2SO4 menghasilkan DB yang lebih rendah dibanding DB yang dihasilkan oleh DHM (85,4%). Terdapat taraf-taraf pada ketiga metode (gelombang mikro selama 5 menit pada benih kering, medan elektromagnet pada benih utuh dan terendam ketika aplikasi, serta skarifikasi benih utuh dengan 96% H2SO4 selama 24 menit) yang memotong 67 hari proses DHM dengan DB masing-masing taraf sebesar 28,8%, 16,6%, dan 28,3% secara berurutan. Viabilitas benih menurun dengan bertambahnya durasi penyimpanan. Daya berkecambah (DB) benih baru panen (83,5%) turun secara nyata menjadi 59,6% setelah 2 bulan penyimpanan (BP) pada penyimpanan terbuka dan 33,3% setelah 4 BP pada penyimpanan terkendali. Matriconditioning menggunakan seluruh komposisi media uji (zeolit, vermikulit, dan arang sekam) dan larutan (emulsi Trichoderma, 2% KNO3, 2% KH2PO4, dan air) tidak meningkatkan DB benih kelapa sawit kedua taraf lot benih.