Dinamika Lanskap terhadap Fenomena Urban Heat Island kaitannya dengan Indeks Kenyamanan Keruangan di Jabodetabek

Abstract

Jabodetabek telah berkembang dari kawasan perkotaan besar yang mandiri menjadi kota metropolitan yang lebih besar dan terintegrasi. Saat ini, Jabodetabek telah menjadi kota terbesar di Indonesia dan memiliki peran penting dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik. Mengingat kompleksitas sistem perkotaan, pemerintah harus menganggap serius kurangnya kemampuan perencanaan kesesuaian pengelolaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil suhu permukaan perkotaan, kenyamanan termal spasial, klasifikasi tutupan lahan, dan fenomena urban heat island antara tahun 2010 dan 2018. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat bagian. Pertama, profil suhu permukaan perkotaan dianalisis menggunakan perubahan suhu permukaan dan kelembaban relatif diurnal. Kedua, kenyamanan spasial menggunakan analisis THI sebagai dasar penentuan tingkat kenyamanan suatu kota. Ketiga, klasifikasi tutupan lahan menggunakan dataset Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI/TIRS. Keempat, fenomena urban heat island dianalisis menggunakan spasial overlay dan intensitas UHI. Hasil profil suhu perkotaan menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki periode pendinginan yang lebih lambat dibandingkan daerah pinggiran kota, dengan rataan suhu permukaan maksimum 32,74 °C (Jakarta) dan suhu permukaan minimum 28,6 °C (Bogor). Kondisi kenyamanan termal mengakibatkan kategori tidak nyaman pada pukul 12.00 untuk seluruh wilayah perkotaan Jabodetabek. Bogor dan Depok pukul 07.00 masuk kategori nyaman, sedangkan Bogor, Depok, dan Bekasi pukul 17.00 masuk kategori cukup nyaman. Secara umum, Jakarta merupakan kota yang paling tidak nyaman dari hasil penelitian ini. Kajian ini juga menemukan bahwa urbanisasi di Jabodetabek terlihat sangat jelas. Urbanisasi terlihat menyebar ke seluruh wilayah dari awalnya terkonsentrasi di pusat kota Jakarta. Tingkat akurasi klasifikasi tutupan lahan juga tinggi, yaitu 80,95% (2010) dan 83,33% (2018), dengan koefisien kappa masing-masing sebesar 0,74 dan 0,77. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terjadi perluasan wilayah perkotaan sebesar 55,4% (234,94 km2) sejak tahun 2010 (peningkatan 83,54% pada tahun 2018, penurunan sebesar 28,14% pada tahun 2018). Berdasarkan hasil penelitian, nilai LST yang tinggi (35-37,5 °C) ditemukan di sebagian besar wilayah perkotaan Jabodetabek, dengan sebaran nilai NDVI sebesar 0,2-0,7 (nilai kehijauan rendah-kehijauan tinggi) dan sebaran NDBI berkisar antara nilai 0-0,2 (kelas permukiman jarang dan permukiman padat). Hasil analisis korelasi antara albedo, suhu permukaan, dan Urban Heat Island (UHI) dengan perubahan tutupan lahan menunjukkan adanya hubungan linier untuk seluruh parameter tersebut. Hasil uji signifikansi untuk albedo dan tutupan lahan (0,001 < 0,05) menunjukkan bahwa tutupan lahan berpengaruh signifikan terhadap albedo permukaan di wilayah Jabodetabek. Demikian pula, hasil uji signifikansi untuk suhu permukaan dan tutupan lahan (0,001 < 0,05) menunjukkan bahwa semakin terbuka tutupan lahan, suhu permukaan akan cenderung lebih tinggi. Selain itu, korelasi antara UHI dengan perubahan tutupan lahan juga menunjukkan nilai signifikansi (0,001 < 0,05), yang mengindikasikan bahwa perubahan tutupan lahan berpengaruh pada intensitas UHI di wilayah Jabodetabek. Selama sembilan tahun terakhir, Jabodetabek mengalami intensitas UHI yang positif, yang berarti suhu permukaan di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada suhu permukaan di daerah sub-urban. Temuan ini memperkuat bukti bahwa wilayah Jabodetabek telah mengalami fenomena urban heat island selama bertahun-tahun.