Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/122727| Title: | Perubahan status sosial dan moral ekonomi petani: kajian pada komunitas petani plasma PIR karet danau Salak, Kalimantan Selatan |
| Authors: | Tjondronegoro, Sediono M. P. Taryoto, Andin H Sarman, Mukhtar |
| Issue Date: | 1994 |
| Publisher: | IPB (Bogor Agricultural University) |
| Abstract: | Secara dialektis James Scott (1976) memberikan deskripsi bahwa persepsi moral merupakan dasar dari setiap tindakan petani dalam aktivitas ekonominya. Secara moral, petani tidak akan mengambil tindakan yang berbahaya, beresiko tinggi dan mengancam tingkat subsistensi mereka. Namun, secara dialektis pula, Samuel Popkin (1979) justru menunjukkan bahwa bukan soal moral yang paling menentukan setiap tindakan petani, melainkan rasionalitas kerjanya. Dalam pandangan Popkin, petani bukan tidak mau ambil resiko dalam segala tindakannya. Persepsi petani kerapkali justru dipengaruhi oleh aspek-aspek spekulatif dan perhitungan untung rugi yang sangat cerdik. Karena, seperti orang lainnya, merekapun sebenarnya ingin kaya. Penelitian ini sebenarnya mencoba menggunakan dua pandangan tersebut, tetapi dengan visi yang agak sedikit berbeda. Petani karet, yang menjadi obyek pengamatan dalam penelitian ini, lingkungan budayanya jelas berbeda dari petani padi tradisional sebagaimana obyek pengamatan Scott dan Popkin. Sebelum ikut dalam proyek PIR karet Danau Salak, petani karet yang disebut petani plasma mungkin saja masih dekat pada ciri petani yang spesifik sebagai kelompok marjinal pedesaan yang subsisten ala Scott. Namun dalam perkembangan kemudian, kehidupan sosial mereka secara spesifik sebenarnya telah sangat berbeda karakteristiknya dibanding petani padi tradisional. Mereka, karena keterlibatannya dalam proyek PIR (Perusahaan Inti Rakyat), adalah tipikal petani penghasil produk komoditas perkebunan (karet) yang akrab dengan pemahaman agribisnis. Kecuali itu, jenis komoditas (karet) yang mereka kembangkan sebagai usahatani, sebenarnya tidak memungkinkan petani plasma bersikap swasembada ·dalam pengertian ekonomi pertanian subsisten sebagaimana Wharton (1969) merumuskannya. Penelitian ini, dengan pende katan me tode verstehen, mencoba merekonstruksikan gejala perubahan status sosial atas moral ekonomi petani plasma setelah mereka menerima hak konversi (alih kelola) lahan garapan. Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah, ternyata ada hubungan simetris antara perubahan status penguasaan lahan garapan (melalui proses konversi lahan) dengan perubahan status sosial, dan kemudian perubahan gaya hidup. Dalam beberapa kasus, hubungan antara perubahan status sosial dan gaya hidup itu bisa terlihat secara ekstrim. Persoalannya adalah, efek dari perubahan tersebut dalam banyak kasus kerapkali berorientasi pada perilaku okupasi yang cenderung menyimpang (defiant behavior) dari aturan pembinaan yang telah ditentukan kepada mereka. Bentuk penyimpangan perilaku dimaksud misalnya adalah mengabaikan sistem eksploitasi tanaman karet yang dianjurkan; atau, tidak menyetorkan hasil produksi ke pabrik Inti. Padahal, se cara kasar dapat diramalkan, bahwa justru karena perilaku okupasi mereka yang cenderung menyimpang itulah masa depan kehidupan mereka sebagai petani plasma menjadi teranc am. Mengapa petani plasma sampai berperilaku yang cenderung meriyimpang dalam tindakan-tindakan ekonomi produktifnya? Jawabannya temyata tidak jauh dari bias masa lalu mereka yang penuh dengan keprihatinan hidup sebagai kelompok marjinal pedesaan. Ada kesan bahwa sebagian besar di antara mereka seolah-olah ingin balas dendam atas kemiskinannya di masa lalu. Dari perspektif sosiologis, mereka seakan-akan belum siap untuk menerima perubahan str uktur sosial yang memungkinkan mereka dapat hidup lebih makmur secara agak cepat. Dari sisi lain, hal itu ternyata ada hubungannya pula dengan proses me mudarn ya wibawa Perusahaan Inti sebagai bapak angkat yang telah membina petani selama masa prakonversi. Dalam bentuk esktrimnya, yang muncul kemudian adalah seinacam gejala perilaku "membangkang petani plasma atas segala aturan pembinaan yang telah ditetapkan oleh pihak Inti. Apalagi dalam prakteknya ternyata tidak pernah ada pengenaan sanksi tegas terhadap petani-petai pembangkang tersebut, sehingga mereka akhirnya seperti "lepas kendali", dan tidak dapat dikontrol lagi perilaku okupasinya sebagai petani plasma. |
| URI: | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/122727 |
| Appears in Collections: | MT - Human Ecology |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| 1994msa1.pdf Restricted Access | Fulltext | 6.6 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.