Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/122198
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorZuhud, Ervizal A.M.-
dc.contributor.advisorAndarwulan, Nuri-
dc.contributor.advisorBintoro, Mochamad Hasjim-
dc.contributor.authorAl Manar, Primadhika-
dc.date.accessioned2023-07-18T04:17:41Z-
dc.date.available2023-07-18T04:17:41Z-
dc.date.issued2023-07-17-
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/122198-
dc.description.abstractSalah satu permasalahan pangan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu ketergantungan pada dua komoditas dalam penyediaan sumber pangan. Berdasarkan sisi permintaan, ketergantungan pada beras dan tepung gandum semakin tinggi, sementara itu harga komoditas pangan sumber karbohidrat alternatif 2-3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan beras. Diversifikasi pangan merupakan salah satu alternatif untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Pengembangan komoditas pangan lokal perlu untuk dilakukan guna mencukupi permintaan terhadap komoditas pangan, diantaranya pengembangan sagu, aren, gadung dan komoditas pangan lokal lainnya. Salah satu komoditas pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan yaitu sagu. Kabupaten Lingga merupakan salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman potensi pangan lokal yang besar. Salah satu potensi yang menjadi unggulan Kabupaten Lingga yaitu sagu dengan luas lahan perkebunan mencapai 3.276 ha. Hal tersebut menjadikan sagu sangat prospektif jika dikembangkan sebagai food estate di Kabupaten Lingga. Sampai saat ini belum dilakukan penelitian tentang potensi dan bioprospeksi sagu di Kabupaten Lingga. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penelitian tentang pendugaan potensi sagu di Kabupaten Lingga. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian yaitu (1) mengidentifikasi profil ekosistem hutan sagu di Kabupaten Lingga; (2) mengidentifikasi profil masyarakat sagu dan bentuk pemanfaatan sagu berdasarkan kajian etnobotani di Kabupaten Lingga; (3) mengidentifikasi karakteristik morfologi sagu di Kabupaten Lingga; (4) mengidentifikasi potensi tegakan sagu di Kabupaten Lingga; dan (5) menganalisis perbedaan sifat fisik dan kimia pati sagu Lingga dengan pati sagu komersial. Penelitian yang dilakukan memiliki empat tahapan penelitian. Tahapan pertama yaitu identifikasi profil (kondisi) ekosistem hutan sagu di Kabupaten Lingga. Tahap kedua yaitu identifikasi profil masyarakat sagu dan bentuk pemanfaatan sagu berdasarkan kajian etnobotani dengan metode wawancara dan observasi partisipatif. Tahap ketiga yaitu melakukan pengamatan karakteristik morfologi. Karakteristik morfologi yang diamati yaitu batang (warna dan ketebalan kulit batang, diameter, tinggi dan lingkar batang), daun (warna, jumlah daun, jumlah anak daun, panjang rachis, panjang dan lebar petiole, luas daun, panjang, lebar dan luas anak daun), dan duri. Tahap ke-empat yaitu identifikasi potensi tegakan sagu dengan menggunakan metode transect petak tunggal yang berukuran 50 x 50 m2 sebanyak 4 petak di setiap lokasi pengamatan. Tahap kelima yaitu analisis sifat fisik dan kimia pati sagu dilakukan dengan menggunakan metode standar berdasarkan SNI 3729:2008 dan AOAC 2000. Kawasan dataran rendah di Kabupaten Lingga yang tergenang air atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut merupakan habitat bagi spesies sagu, terutama di kawasan pesisir selatan Pulau Lingga. Kawasan pesisir selatan Pulau Lingga merupakan kawasan yang dijadikan sebagai tempat pengembangan budidaya sagu pada zaman Kesultanan Lingga. keseluruhan hutan sagu di Kabupaten Lingga termasuk dalam kategori tergenang tidak permanen dengan ketinggian genangan pada musim kemarau antara 0 hingga 5 cm, sedangkan genangan pada musim penghujan antara 5 hingga 20 cm. Lama genangan air di hutan sagu berkisar antara 6 hingga 9 bulan. Masyarakat Lingga memanfaatkan sagu untuk berbagai macam kebutuhan. Sagu tidak hanya dimanfaatkan empulurnya sebagai penghasil pati, tetapi biomassa dan limbah sagu juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Empulur sagu dimanfaatkan oleh masyarakat Lingga sebagai bahan untuk pembuatan sagu basah, sagu kering, serta olahan pangan dari sagu. Kulit batang sagu (guyung) dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pembuat jalan, kayu bakar, pagar rumah dan kebun. Daun sagu dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan atap rumah dan dinding kelong. Pelepah sagu dimanfaatkan sebagai dinding kandang dan tali atap daun sagu. Ampas sagu (serampin) dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pakan ternak dan pupuk. Limbah sagu (bidat) juga dimanfaatkan oleh masyarakat Lingga sebagai pakan ternak, sedangkan umbut sagu dimanfaatkan sebagai sayur dan ulat sagu dimanfaatkan sebagai umpan pancing. Berdasarkan karakter morfologi terdapat dua aksesi sagu di Kabupaten Lingga yaitu sagu berduri (sagu) dan sagu tidak berduri (bemban). Karakteristik morfologi dan produksi sagu sangat bervariasi antar lokasi penelitian. Berdasarkan analisis statistik menggunakan teknik hirarki kluster agglomerative dengan metode average linkage (between-group linkage) menunjukkan adanya tiga kelompok kekerabatan tumbuhan berdasarkan karakter morfologi dan produksi. Kelompok pertama terdiri atas Nerekeh dan Panggak Laut, kelompok kedua terdiri atas Musai, Keton dan Pekaka, sedangkan kelompok ketiga yaitu Teluk. Tegakan sagu memiliki potensi produksi berkisar antara 3,37-14,55 ton ha-1. Karena memiliki kandungan pati lebih dari 200 kg batang-1, maka sebagian besar aksesi sagu di Lingga merupakan aksesi unggul yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Sagu unggul berasal dari desa Musai, Pekaka, Keton dan Teluk. Berdasarkan hasil analisis sifat fisik pati sagu diperoleh hasil bahwa pati sagu yang berasal dari Kerandin, Meranti dan Papua memiliki bentuk yang halus, sedangkan pati sagu Tanjung Bungsu memiliki bentuk yang kasar. Parameter bau (aroma) menunjukkan bahwa sagu Kerandin dan Meranti memiliki bau yang normal. Parameter warna, rasa dan benda asing menunjukkan seluruh sampel telah memenuhi SNI 3729:2008. Parameter kehalusan pati menunjukkan hanya pati sagu Papua yang telah memenuhi standar. Berdasarkan pengujian sifat kimia menunjukkan bahwa pada parameter kadar air hanya sampel pati Papua yang telah memenuhi SNI 3729:2008, sedangkan parameter kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar pati dan kadar serat kasar menunjukkan seluruh sampel pati telah memenuhi SNI 3729:2008. Pengujian parameter kimia pada sampel pati sagu menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai signifikansi >0,05 pada semua variabel yang digunakan. Hasil tersebut memberikan informasi bahwa sifat kimia sampel pati sagu yang berasal dari Lingga, Meranti dan Papua memiliki karakteristik yang tidak berbeda.id
dc.description.abstractOne of the food problems that the Indonesian country still needs to improve is reliance on two commodities in the supply of food sources. Demand for rice and wheat flour is increasing, while the price of alternative carbohydrate-source food commodities is 2-3 times greater than rice. Food diversification can help achieve national food security. To meet the need for food commodities, the development of local food commodities, such as sago, sugar palm, gadung and other local food commodities, is required. Sago is one of the prospective local food commodities to be developed. The Lingga Regency contains a diverse range of local food potential. Sago is one of Lingga Regency's superior potentials, with a plantation area of 3.276 ha. Because sago trees grow best in swamps, flooded plains and peatlands, developing sago plantations could solve the deterioration in wetland quality. Sago is therefore highly promising if it is developed as a food estate in Lingga Regency. No research on the potential of sago in Lingga Regency has been done. Based on this, further research is required to estimate sago potential in the Lingga Regency. Based on this background, the research objectives include (1) identifying the profile of the sago forest ecosystem in Lingga Regency; (2) identifying profiles of sago people and forms of utilization of sago based on ethnobotanical studies in Lingga Regency; (3) identifying the morphological characteristics of sago in Lingga Regency; (4) identifying potential sago stands in Lingga Regency; and (5) analyzing the differences in physical and chemical properties of Lingga sago starch and commercial sago starch. The research conducted has five stages of research. The first stage is identifying the profile of the sago forest ecosystem in Lingga Regency. The second stage is the identification of the profile of the sago community and the form of sago utilization based on ethnobotanical studies using participatory interview and observation methods. The third stage is the identification of sago accessions based on morphological characteristics. Morphological characteristics observed were stems (colour and thickness of bark, diameter, height and circumference of the stem), leaves (colour, number of leaves, number of leaflets, rachis length, petiole length and width, leaf area, length, width and leaf area), and thorns. The fourth stage identifies potential sago stands using the single plot transect method measuring 50 x 50 m2 with four plots at each observation location. The fifth stage is the analysis of the physical and chemical properties of sago starch using standard methods based on SNI 3729:2008 and AOAC 2000. Lowland areas in Lingga Regency which are inundated or affected by tides, are a habitat for sago species, especially in the southern coastal area of Lingga Island. The southern coastal area of Lingga Island is an area that was used as a place for the development of sago cultivation during the Lingga Sultanate era. The entire sago forest in Lingga Regency is included in the category of non-permanent flooding with an inundation height in the dry season between 0 and 5 cm, while inundation in the rainy season between 5 and 20 cm. Standing water in the sago forest ranges from 6 to 9 months. Lingga community use sago for various needs. Sago is not only used for its pith as a starch producer, but the community has also utilized its biomass and sago waste. The Lingga community use the sago pith to make wet sago, dry sago, and processed food from sago. The community uses sago bark (guyung) as a material for making roads, firewood, and fences for houses and gardens. Sago leaves are used as a material for making roofs and kelong walls. Sago fronds are used as cage walls and roofing ropes for sago leaves. The community uses sago pulp (serampin) as animal feed and fertilizer. Sago waste (bidat) is also used by the Lingga community as animal feed, while sago shoots (umbut) are used as vegetables and sago caterpillars are used as fishing bait. Based on morphological characters, there are two accessions of sago in Lingga Regency: thorny sago (sagu) and non-thorny sago (bemban). The morphological characteristics and production of sago varied greatly between study locations. Based on statistical analysis using the agglomerative cluster hierarchy technique with the average linkage method (between-group linkage) showed that there were three plant kinship groups based on morphological and production characters. The first group consisted of Nerekeh and Panggak Laut, the second group consisted of Musai, Keton and Pekaka, and the third group consisted of Teluk. Sago stands have production potential ranging from 3,37-14,55 tons ha-1. Because it has a starch content of more than 200 kg stem-1, most of the sago accessions in Lingga are superior accessions that have the potential to be further developed. Superior sago comes from Musai, Pekaka, Keton and Teluk villages. Based on the analysis of the physical properties of sago starch, it was found that sago starch originating from Kerandin, Meranti and Papua has a smooth shape, while Tanjung Bungsu sago starch has a rough shape. The odour parameter shows that Kerandin and Meranti sago have normal odours. Parameters of colour, taste and foreign matter show that all samples comply with SNI 3729:2008. The starch fineness parameter showed that only Papuan sago starch met the standard. Based on the chemical properties test, it was shown that in the parameters of water content only the Papuan starch sample complied with SNI 3729:2008, while the parameters of ash content, protein content, fat content, starch content and crude fibre content showed that all starch samples complied with SNI 3729:2008. Testing of chemical parameters on samples of sago starch showed that there was no statistically significant difference. A significance value of >0,05 indicates this for all variables used. These results show that the chemical properties of the sago starch sample from Lingga, Meranti and Papua have no different characteristics.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titlePotensi Sagu (Metroxylon spp.) di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riauid
dc.title.alternativePotency of Sago (Metroxylon spp.) in Lingga Regency, Riau Islands Provinceid
dc.typeThesisid
dc.subject.keyworddiversifikasi panganid
dc.subject.keywordetnobotaniid
dc.subject.keywordkeanekaragamanid
dc.subject.keywordmasyarakat Melayuid
Appears in Collections:MT - Forestry

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Tesis_Primadhika Al Manar.pdf
  Restricted Access
Full text8.92 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.