Analisis Fertilitas dan Kualitas Genetik Banteng Jawa (Bos javanicus) di Taman Safari Indonesia Bogor

Abstract

Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi dan rencana aksi konservasi (SRAK) banteng (Bos javanicus) yang termuat dalam PerMenHut No. P.58/MENHUT-II/2011. Strategi dan rencana aksi konservasi ini disusun demi mencegah kepunahan salah satu spesies terancam punah berdasarkan P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, sekaligus satwa prioritas tersebut. Kawasan konservasi ex situ seperti Taman Safari Indonesia menjadi bagian yang penting untuk mencapai target populasi internasional tanpa mengganggu populasi di alam. Pertukaran spesies banteng antar lembaga konservasi selain itu, diperlukan untuk menghindari penurunan kualitas genetik maupun inbreeding. Inbreeding dapat berdampak pada penurunan kemampuan reproduksi dan keragaman genetik pada suatu populasi. Rangkaian strategi rencana aksi konservasi (SRAK) tersebut dapat disarikan menjadi dua pokok pikiran utama, yakni pentingnya peningkatan reproduksi dan kualitas genetik. Hal ini juga tertuang dalam Action Indonesia Genetic Specialist Management Plan bertujuan untuk mencapai populasi ex situ yang sehat. Lembaga-lembaga konservasi ex situ diintegrasikan untuk pelaksanaan perkembangbiakan (breeding program) dan rekomendasi transfer satwa dalam rancangan tersebut.

Pengembangan teknologi reproduksi berbantuan, khususnya melalui kriopreservasi semen, merupakan metode efektif yang dapat menjadi perwujudan SRAK banteng. Penggunaan semen beku hasil proses kriopreservasi semen memungkinkan transportasi materi genetik jantan banteng jawa dari satu lokasi ke lokasi lain secara efisien. Pemetaan kualitas genetik dari populasi yang ada di dalam suatu lokasi penangkaran juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Hal ini berfungsi sebagai salah satu pencegahan terjadinya penggunaan semen beku untuk perkawinan dengan kekerabatan dekat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fertilitas banteng jawa, khususnya banteng jawa jantan sebagai langkah awal pengembangan teknologi reproduksi spesies tersebut. Penelitian ini juga mengevaluasi kualitas genetik banteng jawa yang ada di suatu populasi di lokasi konservasi ex situ, khususnya di Taman Safari Indonesia Bogor (TSI Bogor).

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yang meliputi analisis fertilitas yang dilaksanakan dengan: (i) habituasi dan koleksi semen dan evaluasi semen segar, (ii) kriopreservasi semen dalam kondisi lapang dan evaluasi semen beku (iii) karakterisasi protein kandidat fertilitas, (iv) identifikasi ekspresi gen kandidat fertilitas. Tahapan lain yakni (v) karakterisasi kualitas genetik berdasarkan marka mikrosatelit. Sampel yang digunakan untuk tahapan (i) – (iv) berasal dari tiga ekor banteng jawa jantan yang berada di TSI Bogor. Sampel yang digunakan untuk tahapan (vi) berasal dari enam ekor banteng jawa yang terdiri atas empat ekor jantan dan dua ekor betina yang terdapat di TSI Bogor.

Habituasi untuk koleksi semen dengan vagina buatan dan masase transrektal berhasil dilakukan pada penelitian ini dengan pendekatan positive reinforcement. Luaran dari proses habituasi berbeda-beda pada setiap individu, di mana hal ini menjadi dasar untuk metode koleksi semen yang dipilih. Evaluasi kualitas semen segar yang dikoleksi dari tiga ekor banteng jawa pada penelitian ini menunjukkan keragaman kualitas antar-individu. Volume semen, gerakan massa, dan motilitas spermatozoa yang dikoleksi menunjukkan perbedaan signifikan pada metode koleksi yang berbeda. Gambaran ultrasonografi glandula aksesoria jantan, dan komposisi plasma semen juga dilaporkan dalam penelitian ini, dan menjadi laporan pertama pada banteng jawa. Perbedaan signifikan kadar testosteron, dan enzim alkalin fosfatase (ALP) antarindividu juga teramati pada penelitian ini.

Penelitian ini juga melaporkan potensi kriopreservasi semen banteng jawa dalam kondisi lapang. Kualitas spermatozoa post-thawing banteng jawa menunjukkan perbedaan signifikan pada seluruh variabel yang diujikan. Hasil menarik ditemukan pada variabel tudung akrosom utuh yang relatif tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan pada satwa-satwa liar lain. Evaluasi tudung akrosom utuh post-thawing ini merupakan laporan pertama pada banteng jawa. Kinematika spermatozoa post-thawing juga menunjukkan perbedaan signifikan antarindividu, khususnya pada variabel average path velocity (VAP) dan amplitude lateral head displacement (ALH). Keseluruhan sampel, namun demikian, tidak menunjukkan hipermotilitas spermatozoa.

Identifikasi gen heat shock protein 70-2 (HSP70-2), osteopontin (OPN) dan protamin 1 (PRM1) menunjukkan pola ketiga gen tersebut pada spermatozoa banteng jawa. Ekspresi gen PRM1 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan dengan ekspresi gen HSP70-2 maupun OPN. Perbedaan ekspresi juga ditunjukkan pada kelompok fertilitas berbeda yang didasarkan pada hasil evaluasi fenotipik kualitas spermatozoa post-thawing. Ekspresi ketiga gen menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada kelompok fenotipe fertilitas spermatozoa kualitas tinggi dibandingkan dengan yang rendah. Gen-gen yang diujikan tersebut juga menunjukkan korelasi positif dengan variabel-variabel fenotipik spermatozoa post-thawing.

Penelitian ini juga melaporkan keragaman protein-protein pada spermatozoa banteng jawa. Sebanyak 142 dari 406 total nomor aksesi protein yang teridentifikasi pada spermatozoa banteng jawa menunjukkan potensi peran pada fertilitas. Protein dengan kelimpahan tertinggi berdasarkan perhitungan semi-kuantitatif di antaranya adalah TUBB4A, AKAP4, TUBB4B, ODF2, GSTM3, TUBA3C, Histone domain-containing protein/ Histone H2B subacrosomal variant, ROPN1, GAPDHS dan TUBB.

Karakterisasi sepuluh marka mikrosatelit menunjukkan nilai polymorphic information content (PIC) dengan rentang 0,346 – 0,569. Satu dari sepuluh marka yang digunakan, lokus INRA189, hanya teramplifikasi pada sampel banteng jantan. Satu lokus lainnya yakni CSSM66 menunjukkan sifat monomorfisme. Kualitas genetik yang digambarkan melalui nilai heterozigositas menunjukkan tingkat sedang pada nilai 0,442, dengan koefisien inbreeding yang sangat rendah yakni 0,011.

Penelitian ini merupakan laporan pertama yang memberikan gambaran komprehensif dari tingkat fenotipik, transkriptomik dan proteomik spermatozoa banteng jawa. Analisis kualitas genetik banteng jawa juga menjadi informasi penting untuk mendukung program konservasi. Kombinasi hasil-hasil analisis dalam penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi atau pertimbangan dalam rencana konservasi banteng jawa ke depannya.

The Government of Indonesia has established a conservation strategy and action plan for the banteng (Bos javanicus) published in PerMenHut No. P.58/MENHUT-II/2011. This conservation strategy and action plan were developed to prevent the extinction of one of the endangered species as per P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, which are also known as priority endangered species. Ex-situ conservation areas such as Taman Safari Indonesia are important to achieve international population targets without disturbing natural populations. In addition, it is necessary to exchange banteng between conservation organizations to prevent genetic degradation and inbreeding. Inbreeding can reduce reproductive capacity and genetic diversity in a population. The action plans and strategies can be summarized into two main points: the importance of optimizing reproduction and the genetic quality of the species. This is also expressed in the Genetic Specialist Management PlanAction Indonesia, which aims to achieve a healthy ex-situ population. Integrated ex-situ conservation institutions for implementing breeding programs and recommendations for species transfers. The development of assisted reproductive technology, primarily through spermatozoa cryopreservation, is an effective implementation of the banteng conservation plan. The use of frozen semen from the cryopreservation allows the efficient transport of male Javan banteng genetic material from one location to another. Mapping of genetic quality of the population at a captivity must also considered. This serves as one of the preventive measures against the use of frozen semen for breeding with close relatives. The objective of this study is to investigate the fertility of the Javan banteng, especially the male Javan banteng, as the first step in developing a reproductive technology for this species. This study also evaluates the genetic quality of the Javan banteng in a population at an ex-situ conservation site, specifically at Taman Safari Indonesia Bogor (TSI Bogor). The study was conducted in five stages, including fertility assessment which was conducted as follows: (i) habituation and collection of semen and assessment of fresh semen, (ii) cryopreservation of semen under field conditions and assessment of frozen semen (iii) characterization of fertility candidate proteins, (iv) identification expression of fertility candidate genes. Another stage is (v) characterization of genetic quality based on microsatellite markers. The samples used for stages (i) – (iv) were from three male Javan bantengs in TSI Bogor. Samples used for stage (vi) were from six Javan banteng comprising four males and two females found in TSI Bogor. Habituation for semen collection with an artificial vagina and transrectal massage was successfully performed in this study using the positive reinforcement approach. The outcome of the habituation process different for each individual, which is the basis for the chosen method of semen collection. Evaluation of the quality of fresh semen collected from three Javan bantengs in this study showed interindividual variations. Semen volume, mass movement, and motility of the collected spermatozoa showed significant differences among different collection methods. The ultrasonographic characteristics of male accessory glands and seminal plasma composition were also investigated in this study, and this is the first report on the Javan bantengs. Significant differences were found in testosterone levels and alkaline phosphatase (ALP) enzymes. This study also reported the cryopreservation potential of Javan banteng spermatozoa under field conditions. The quality of Javan banteng spermatozoa after thawing showed significant differences in all the variables assessed. Interesting results were found in intact acrosome variable, which was relatively high compared to the values reported in other wild animals. This evaluation of intact acrosomes after thawing is the first report on the Javan banteng. The kinematics of spermatozoa after thawing showed significant differences among individuals, especially in VAP and ALH. Nevertheless, no sample was identified as hypermotile. Identification of heat shock protein 70-2 (HSP70-2), osteopontin (OPN), and protamine 1 (PRM1) gene expression revealed pattern of these three genes in Javan bantengs spermatozoa. PRM1 gene expression was the highest compared to HSP70-2 and OPN gene expression. Differences in expression were also found in different groups based on the phenotypic assessment of spermatozoa quality after thawing. The expression of the three genes showed higher in the phenotype of high-quality after thawing than the low-quality group. The evaluated genes also showed a positive correlation with spermatozoa phenotypic variables after-thawing. In this study the diversity of proteins in the Javan banteng spermatozoa is also reported. No fewer than 142 of the total 406 protein identified in Javan banteng spermatozoa suggest a potential role in fertility. The proteins with the highest abundance, based on semi-quantitative calculations were TUBB4A, AKAP4, TUBB4B, ODF2, GSTM3, TUBA3C, Histone domain-containing protein/Histone H2B subacrosomal variant, ROPN1, GAPDHS, and TUBB. Characterizing ten microsatellite markers yielded polymorphic information content (PIC) values in the 0.346–0.569. One of the ten markers used, the INRA189 locus, was only amplified in male banteng samples. One other locus, CSSM66, exhibits monomorphism. The genetic quality described through the heterozygosity value shows a moderate level with a value of 0.442 and a very low inbreeding coefficient of 0.011. This study is the first report to provides a comprehensive picture of the phenotypic, transcriptomic, and proteomic levels of Javan banteng spermatozoa. Analysis of the genetic quality of the Javan banteng is also important information to support conservation programs. The combination of analysis results from this study can be used as recommendations or considerations for future Javan banteng conservation plans.