Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/121134
Title: Mekanisme Penghambatan Penularan Bean common mosaic virus Melalui Kutudaun Aphis craccivora Koch. oleh Cendawan Endofit Lecanicillium lecanii PTN10 dan Cercospora nicotianae NP-H5 pada Kacang Panjang.
Authors: Damayanti, Tri Asmira
Wiyono, Suryo
Santoso, Sugeng
Rinika, Reni
Issue Date: 27-Jun-2023
Publisher: IPB University
Abstract: Bean common mosaic virus (BCMV) dan vektornya Aphis craccivora Koch., merupakan pembatas penting produksi kacang panjang di Indonesia. Kajian sebelumnya menunjukkan bahwa cendawan endofit (CE), Lecanicillium lecanii PTN10 (LL PTN10), dan Cercospora nicotianae NP-H5 (CN NP-H5) dapat menekan keparahan penyakit, dan titer virus pada tanaman kacang panjang yang ditularkan oleh BCMV melalui vektornya A. craccivora. Namun, mekanisme penekanan tersebut belum diketahui sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme CE L. lecanii PTN10 dan C. nicotianae NP-H5 dalam menghambat penularan BCMV melalui vektor, A. craccivora. Kajian pertama adalah bioassay pada tanaman indikator Chenopodium amaranticolor untuk menentukan peran cendawan endofit sebagai penginduksi ketahanan tanaman dan/atau memiliki aktivitas antivirus. CE diaplikasikan dengan penyemprotan pada daun sebelum inokulasi virus, setelah inokulasi virus, dan inokulasi campuran CE-BCMV pada daun C. amaranticolor. Peubah yang diamati adalah periode inkubasi dan jumlah lesio lokal pada tanaman perlakuan dan tanaman kontrol tanpa perlakuan. Kajian kedua terdiri dari dua percobaan yang berbeda yaitu; (1) pengujian pengaruh CE terhadap preferensi makan A. craccivora dilakukan melalui choice test. Tanaman perlakuan CE dan kontrol diletakkan pada satu baki. Pada bagian tengah baki diberi karton putih yang menjadi penghubung antar tanaman. Kutudaun diletakkan pada bagian tengah karton dengan jarak yang sama ke setiap tanaman. Peubah yang diamati adalah jumlah kutudaun setiap tanaman uji pada 1, 3, 6, dan 12 jam setelah infestasi, (2) menguji kemampuan A. craccivora yang dipelihara pada tanaman yang diberi perlakuan CE selama tiga generasi dalam menularkan BCMV. Setelah makan akuisisi, A. craccivora yang mengandung virus dipindahkan ke tanaman sehat untuk makan inokulasi. Peubah yang diamati adalah periode inkubasi, tipe gejala, insidensi penyakit dan keparahan penyakit serta titer virus. Kajian ketiga dilakukan untuk mengetahui pengaruh CE terhadap insidensi dan keparahan penyakit, titer virus dan aktivitas enzim ketahanan yang terlibat dalam induksi ketahanan tanaman terhadap BCMV dalam percobaan rumah kaca. Perlakuan terdiri dari perlakuan benih dikombinasikan dengan penyemprotan daun sebelum penularan virus dan sesudahnya dengan frekuensi penyemprotan CE sebanyak 1-3 kali pada dua dan empat minggu setelah penularan BCMV dengan kutudaun yang mengandung virus. Peubah yang diamati yaitu insidensi dan keparahan penyakit, tipe gejala, titer virus, pengukuran aktivitas enzim pertahanan seperti peroksidase (PO), polifenol oksidase (PPO), dan fenilalanin amonia-lisase (PAL) serta pengamatan kolonisasi CE pada batang dan jaringan daun. Perlakuan CE LL PTN10 dan CN NP-H5 pada Chenopodium amaranticolor menunjukkan CE mampu memperpanjang periode inkubasi dan secara signifikan mengurangi jumlah lesio lokal pada perlakuan CE LL PTN10 dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan. Namun, perlakuan CE CN NP-H5 mampu mengurangi jumlah lesio lokal sebanding dengan perlakuan CE LL PTN10, walau jumlah lesio lokal perlakuan CE CN NP-H5 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Berkurangnya jumlah lesio lokal pada perlakuan sebelum inokulasi mekanis BCMV, mengindikasikan terjadinya induksi ketahanan dan adanya aktivitas antivirus pada perlakuan CE setelah inokulasi. Hasil choice test menunjukkan jumlah kutudaun pada tanaman kontrol lebih tinggi daripada tanaman yang diberi perlakuan CE; kutudaun lebih memilih makan pada tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan CE menunjukkan efek penolakan makan (antifeedant) bagi kutudaun, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan senyawa antifeedant yang terlibat dalam penghambatan proses makan. Selanjutnya, perlakuan kedua CE menunjukkan sebanding dalam menekan jumlah kutudaun. Hal ini menunjukkan CN NP-H5 kemungkinan memiliki karakter sebagai endofit entomopatogen dan juga mengkonfirmasi laporan sebelumnya bahwa CE LL PTN10 sebagai cendawan endofit entomopatogen. Kutudaun yang dipelihara pada tanaman yang diberi perlakuan CE selama tiga generasi menyebabkan berkurangnya kemampuan kutudaun saat makan akuisisi dan inokulasi. Hal ini menyebabkan jumlah virus yang ditularkan ke tanaman sehat lebih sedikit, sehingga dampaknya pada periode inkubasi lebih lama, gejala yang lebih ringan, insidensi dan keparahan penyakit serta titer virus lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Titer virus pada kutudaun yang hidup pada tanaman yang diberi perlakuan CE terdeteksi negatif, hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan tersebut tidak menghambat penularan virus. CE LL PTN10 mengolonisasi jaringan batang lebih cepat dibandingkan CN NP-H5. Kemampuan hifa LL PTN10 dalam mengolonisasi jaringan daun secara interseluler dan lebih banyak dari CN NP-H5 seperti yang dikonfirmasi dari uji pewarnaan. Perlakuan benih yang dikombinasikan dengan penyemprotan CE pada daun sebanyak 1-3 kali tidak menghambat insidensi penyakit. Namun mampu menurunkan keparahan, gejala yang lebih ringan dan juga titer virus secara signifikan dibandingkan kontrol tanpa perlakuan, kecuali perlakuan CN NP-H5 dengan penyemprotan daun sekali dan dua kali setelah penularan virus. Perlakuan benih dengan LL PTN10 dan penyemprotan daun satu kali menunjukkan mampu menghambat penularan BCMV melalui kutudaun; kutudaun viruliferus tidak dapat menularkan virus selama makan inokulasi. BCMV terdeteksi positif pada kutudaun setelah makan inokulasi, sedangkan perlakuan lainnya negatif terdeteksi BCMV. Diantara perlakuan yang diuji, perlakuan benih LL PTN10 dengan tambahan penyemprotan daun satu kali adalah perlakuan yang paling efektif dan efisien dalam mengendalikan penularan BCMV. Aplikasi CE sebelum penularan BCMV menunjukkan peningkatan aktivitas enzim PO, PPO dan PAL (antioksidan), tetapi menurunkan aktivitas enzim tersebut setelah penularan BCMV. Hal ini mengindikasikan peningkatan aktivitas enzim setelah perlakuan CE mampu mengaktivasi ketahanan sistemik tanaman untuk mengatasi cekaman biotik pada fase awal infeksi BCMV dan luka mekanis yang disebabkan kutudaun selama makan inokulasi. Tanaman yang diberi perlakuan CE menunjukkan lebih toleran terhadap penularan BCMV melalui kutudaun viruliferus. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa mekanisme cendawan endofit LL PTN10 dan CN NP-H5 dalam mengendalikan penularan BCMV yaitu melalui efek antifeedant dan aktivitas antivirus, penekanan populasi vektor kutudaun, penghambatan kemampuan vektor selama makan akuisisi dan inokulasi, induksi ketahanan sistemik dengan peningkatan aktivitas enzim PO, PPO, dan PAL sebelum penularan virus dan menurunkan aktivitas enzim pertahanan setelah penularan virus.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/121134
Appears in Collections:MT - Agriculture

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Cover.pdf
  Restricted Access
Cover981.73 kBAdobe PDFView/Open
A352190101_Reni Rinika.pdf
  Restricted Access
Fulltext1.78 MBAdobe PDFView/Open
Lampiran.pdf
  Restricted Access
Lampiran266.08 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.