Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/118099
Title: Kohesivitas Sosial dan Resiliensi Komunitas Nelayan Miskin dalam Menghadapi Perubahan Iklim di Pesisir Jawa Barat
Authors: Pandjaitan, Nurmala K.
Dharmawan, Arya Hadi
Adriana, Galuh
Issue Date: 2017
Publisher: IPB (Bogor Agricultural University)
Abstract: Perubahan iklim yang terjadi disebabkan oleh pemanasan global yang terjadi akibat tingginya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer (IPCC 2007). Peningkatan GRK disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi), penggunaan CFC dan perubahan penggunaan/penutup lahan. Efek gas rumah kaca mengakibatkan kenaikan rata-rata suhu global dunia berkisar antara 0,6±0,2 ºC sejak akhir abad ke-19 dan rata-rata kenaikan permukaan laut berkisar antara 10 cm – 20 cm selama abad ke-20 (IPCC 2007). Pemanasan suhu bumi mengakibatkan gletser serta kenaikan rata-rata permukaan air laut gobal (IPCC 2007). Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya stratifikasi air laut akan meningkatkan frekuensi kejadian El Nino/Southern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik dan variasi iklim lebih ekstrim (Putuhena 2011). Perubahan iklim berpengaruh pada seluruh sistem di bumi yang meliputi ekosistem, struktur komunitas dan populasi, distribusi organisme dan sebagainya (Putuhena 2011). Pada daerah pesisir, dampak perubahan iklim yaitu kenaikan muka air laut dan intensitas “rob” yang meningkat (Praktikto dan Suntoyo 2015) serta abrasi air laut yang mengakibatkan daratan berkurang 5 – 10 meter dalam waktu satu bulan (BPBD 2017). Pada kehidupan nelayan, perubahan iklim menyebabkan beberapa permasalahan yaitu paceklik yang berkepanjangan, sulit menentukan kapan dimulainya musim panen, cuaca yang tidak menentu dan ekstrim serta kesulitan untuk menentukan daerah tangkapan ikan. Melihat dampak perubahan iklim di Indonesia, kategori masyarakat yang paling rentan adalah masyarakat di pedesaan khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil karena kehidupan mereka khususnya nelayan sangat bergantung terhadap kondisi alam (musim dan cuaca) (Wibowo dan Satria 2015). Ketidakpastian kehidupan nelayan dalam mata pencaharian dan bencana alam yang terjadi di wilayah pesisir membuat kondisi nelayan menjadi rentan (Praktiko dan Suntoyo 2015). Keadaan tersebut mengancam kestabilan kehidupan nelayan terutama nelayan miskin dalam mencari ikan dan memperoleh penghasilan. Jika seseorang terancam stabilitasnya maka mereka harus melakukan adaptasi untuk menjadi resilien. Berdasarkan hal tersebut ingin dilihat lebih jauh bagaimana dampak perubahan iklim pada komunitas nelayan? Bagaimanakah bentuk kohesivitas komunitas nelayan miskin dalam menghadapi perubahan iklim? Bagaimanakah bentuk-bentuk resiliensi nelayan miskin dalam menghadapi perubahan iklim? Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perubahan iklim pada komunitas nelayan, menganalisis bentuk kohesivitas komunitas nelayan miskin dalam menghadapi perubahan iklim dan menganalisis bentuk-bentuk resiliensi komunitas nelayan miskin dalam menghadapi perubahan iklim. Metode yang digunakan adalah mix methode, dengan menggunakan kuesioner, observasi dan wawancara mendalam. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 100 orang. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik simple random sampling, dimana populasi penelitian adalah anggota program “raskin” dari pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim mengganggu kestabilan kehidupan nelayan, terutama nelayan miskin. Nelayan miskin memiliki tingkat pendidikan yang rendah, kondisi ekonomi yang sulit, serta keterampilan yang kurang. Hal ini membuat nelayan miskin tidak dapat melakukan pekerjaan lain untuk menghasilkan uang ketika paceklik berkepanjangan. Kondisi ini menyebabkan nelayan miskin menjadi sangat rentan. Oleh sebab itu, mereka membangun jaringan yang kuat terhadap pemilik modal (bos). Hal ini menyebabkan nelayan miskin memiliki daya rekat yang kuat atau kohesivitas sosial yang kuat dengan nelayan yang memiliki bos yang sama. Jadi, dapat dikatakan bahwa kohesivitas sosial yang terbentuk hanya pada kelompok-kelompok kepentingan. Resiliensi komunitas nelayan dalam menghadapi perubahan iklim dibangun dari resources robustness dan adaptive capacity. Resources robustness yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan karena keterbatasan modal. Adaptive capacity dibangun oleh institutional memories, innovative learning, dan connectedness. Institutional memories atau pengetahuan dimasa lalu sudah tidak relevan lagi karena banyak fenomena alam yang tidak bisa dijelaskan oleh pengalaman dimasa lalu. Perubahan iklim membuat masyarakat nelayan harus beradaptasi. Oleh sebab itu, nelayan melakukan inovasi-inovasi baik pada alat tangkap maupun pada strategi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Inovasi yang dilakukan oleh komunitas nelayan merupakan hasil belajar dari pengalaman menjadi nelayan (innovative learning). Berbagai inovasi yang dilakukan oleh nelayan hanya bersifat jangka pendek (copying strategy) dan sering berbentuk respon darurat pada musim yang tidak normal, tidak ada bentuk strategi yang bersifat jangka panjang. Selanjutnya, connecetdness dengan berbagai pihak yang berada di dalam dan di luar komunitas belum mampu membuat komunitas nelayan menjadi mandiri dan memiliki modal sosial ketika menghadapi bencana paceklik. Connectedness hanya bermanfaat bagi kelompok kepentingan tertentu saja. Jadi, dapat dikatakan bahwa komunitas nelayan belum dapat memanfaatkan resourcess robustness secara maksimal dan adaptive capacity hanya bermanfaat bagi kelompok kepentingan tertentu saja. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim telah mengganggu kestabilan kehidupan nelayan. Perubahan iklim telah meningkatkan dampak bencana alam yang terjadi selama ini. Kohesivitas sosial yang ada pada komunitas nelayan berada di tingkat kelompok bukan di tingkat komunitas. Kohesivitas sosial komunitas nelayan merupakan kohesivitas kepentingan. Komunitas nelayan belum bisa memanfaatkan resources robutness secara maksimal dan adaptive capacity hanya bermanfaat bagi kelompok kepentingan tertentu saja. Jadi, dapat dikatakan bahwa resiliensi hanya terbentuk pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu saja bukan di tingkat komunitas.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/118099
Appears in Collections:MT - Human Ecology

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
2017gad.pdf
  Restricted Access
Fulltext28.6 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.