Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/116512
Title: Integrasi Pasar Spasial Bawang Putih di Indonesia
Other Titles: Spatial Market Integration of Garlic in Indonesia
Authors: Fariyanti, Anna
Hidayat, Nia Kurniawati
Sandra, Indah Kartika
Issue Date: 2023
Publisher: IPB University
Abstract: Bawang putih merupakan salah satu komoditas hortikultura penting bagi masyarakat Indonesia mengingat ragam dan jumlah pemanfaatannya. Indonesia mengalami defisit bawang putih sebesar 362,42 ribu ton pada tahun 2020. Ketergantungan Indonesia terhadap pasar internasional mengakibatkan harga bawang putih cenderung berfluktuasi. Fluktuasi atau lonjakan harga cenderung mengikuti jumlah produksi dan pasokan impor yang tersedia. Tidak semua provinsi di Indonesia dapat memproduksi bawang putih karena ada beberapa wilayah di Indonesia yang tidak cocok untuk ditanami bawang putih. Hal ini menyebabkan produksi bawang putih terkonsentrasi di beberapa daerah. Sentra produksi bawang putih di Indonesia adalah Provinsi Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur, yang masing-masing berkontribusi sebesar 40%, 30%, dan 7% terhadap produksi bawang putih nasional. Sementara itu, provinsi dengan tingkat konsumsi bawang putih tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, yang masing-masing konsumsinya sebesar 18%, 17%, 14%, dan 5% dari total konsumsi bawang putih nasional. Bawang putih impor masuk ke Indonesia melalui tiga pelabuhan besar yaitu Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara), Pelabuhan Tanjung Priok (DKI Jakarta), dan Pelabuhan Tanjung Perak (Jawa Timur) dan selanjutnya di distribusikan ke seluruh wilayah di Indonesia. Kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan membuat harga bawang putih memiliki perbedaan di tiap-tiap provinsi. Ketersediaan dan kebutuhan bawang putih di setiap provinsi yang berbeda-beda serta fluktuasi dan disparitas harga bawang putih antar daerah menjadi faktor pendorong terjadinya perdagangan antar wilayah yang mengindikasikan terjadinya integrasi pasar bawang putih di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, impor dan harga bawang putih di Indonesia, menganalisis integrasi pasar bawang putih Internasional dan Indonesia, menganalisis integrasi pasar spasial bawang putih di Indonesia, dan menganalisis faktor penentu integrasi pasar spasial bawang putih di Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk time series tahunan produksi, konsumsi, dan impor bawang putih nasional periode 2002-2019 yang bersumber dari Kementerian Pertanian, data time series bulanan harga bawang putih impor dari China periode Januari 2014-Desember 2020 yang bersumber dari UN Comtrade, data time series bulanan harga bawang putih di tingkat konsumen di 33 provinsi di Indonesia periode Januari 2014-Desember 2020 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, serta data cross-section jumlah konsumsi bawang putih menurut provinsi, produk domestik regional bruto menurut provinsi, jarak antar provinsi acuan dan pengikut, jumlah produksi bawang putih menurut provinsi, jumlah pasar menurut provinsi, panjang jalan beraspal menurut provinsi tahun 2020 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan Google Map. Pasar konsumen yang dianalisis adalah 33 provinsi yang terdiri dari 4 provinsi acuan dan provinsi lainnya sebagai provinsi pengikut. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif, uji kointegrasi Johansen, uji kausalitas Granger, Vector Error Correction Model (VECM), dan regresi linear berganda. Software yang digunakan adalah Microsoft Excel dan Eviews 12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara konsumsi dan produksi bawang putih di Indonesia. Pada tahun 2002-2019, rata-rata produksi bawang putih sebesar 25.970 ton dan rata-rata konsumsi 429.314 ton. Impor bawang putih di Indonesia memiliki tren yang cenderung meningkat. Indonesia mengalami defisit bawang putih sebesar 403.344 ton (93,95%). Harga bawang putih berfluktuasi tinggi. Provinsi dengan harga bawang putih paling bergejolak adalah DKI Jakarta dengan nilai koefisien variasi sebesar 38,76%. Provinsi dengan harga paling stabil adalah Jawa Barat dengan nilai koefisien variasi sebesar 19,53%. Berdasarkan uji kointegrasi, terjadi integrasi pasar bawang putih Internasional dan Indonesia dalam jangka panjang, yang berarti bahwa kedua pasar sudah efisien. Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas diantara kedua pasar. Tidak terjadi integrasi dalam jangka pendek diantara kedua pasar. Hal ini menunjukkan bahwa pasar bawang putih Internasional dan Indonesia lebih terintegrasi dalam jangka panjang. Untuk integrasi pasar spasial bawang putih di Indonesia, terjadi integrasi pasar yang menyeluruh antar pasar konsumen bawang putih di Indonesia dalam jangka panjang yang ditunjukkan oleh terkointegrasinya semua pasangan pasar konsumen (125 pasangan pasar). Hal ini berarti bahwa pasar konsumen bawang putih antar provinsi di Indonesia sudah efisien. Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa pasar konsumen Jawa Timur merupakan pemimpin harga (leading). Terdapat 82 pasangan pasar konsumen bawang putih (65,60%) yang terintegrasi pada jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa pasar bawang putih di Indonesia lebih terintegrasi dalam jangka panjang. Faktor penentu integrasi pasar spasial bawang putih tingkat konsumen di Indonesia adalah jumlah konsumsi provinsi pengikut, produk domestik regional bruto provinsi acuan dan provinsi pengikut, dan jarak antara provinsi acuan dan provinsi pengikut.
Garlic is one of the important horticultural commodities for the people of Indonesia considering the variety and number of its use. Indonesia experienced a garlic deficit of 362.42 thousand tons in 2020. Indonesia's dependence on the international market has resulted in garlic prices tending to fluctuate. Price fluctuations or spikes tend to follow the amount of production and supply of imports available. Not all provinces in Indonesia can produce garlic because there are some regions in Indonesia that are not suitable for planting garlic. This causes garlic production to be concentrated in some areas. Garlic production centers in Indonesia are Central Java, West Nusa Tenggara, and East Java Provinces, which contribute 40%, 30%, and 7% respectively to national garlic production. Meanwhile, the provinces with the highest levels of garlic consumption in Indonesia are East Java, Central Java, West Java, North Sumatra, whose consumption is 18%, 17%, 14%, and 5% of the total national garlic consumption, respectively. Imported garlic enters Indonesia through three major ports, namely Belawan Port (North Sumatra), Tanjung Priok Port (DKI Jakarta), and Tanjung Perak Port (East Java) and is then distributed to all regions in Indonesia. The condition of Indonesia, which is an archipelagic country, makes the price of garlic have differences in each province. The availability and need for garlic in each province are different as well as fluctuations and disparities in garlic prices between regions are factors driving trade between regions which indicates the market integration of garlic in Indonesia. The purpose of this study is to examine the development of garlic production, consumption, import and price in Indonesia, analyze the integration of international and Indonesian garlic markets, analyze the spatial market integration of garlic in Indonesia, and analyze the determinants of the spatial market integration of garlic in Indonesia. The type of data used is secondary data in the form of an annual time series of national garlic production, consumption, and imports for the 2002-2019 period sourced from the Ministry of Agriculture, monthly time series data on imported garlic prices from China for the January 2014-December 2020 period sourced from UN Comtrade, time series data monthly garlic prices at the consumer level in 33 provinces in Indonesia for the period January 2014-December 2020 sourced from the Central Bureau of Statistics, as well as cross-section data on the amount of garlic consumption by province, gross regional domestic product by province, distance between reference and follower provinces, amount of garlic production by province, number of markets by province, length of paved roads by province in 2020 sourced from the Central Bureau of Statistics and Google Map. The consumer markets analyzed were 33 provinces consisting of 4 reference provinces and other provinces as follower provinces. The analysis methods used are descriptive method, Johansen cointegration test, Granger causality test, Vector Error Correction Model (VECM), and multiple linear regression. The software used is Microsoft Excel and Eviews 12. The results showed that there is a considerable gap between garlic consumption and production in Indonesia. In 2002-2019, the average garlic production was 25,970 tons and the average consumption was 429,314 tons. Garlic imports in Indonesia have an increasing trend. Indonesia experienced a garlic deficit of 403,344 tons (93.95%). The price of garlic fluctuates high. The province with the most volatile garlic prices is DKI Jakarta with a variation coefficient value of 38.76%. The province with the most stable price is West Java with a coefficient of variation value of 19.53%. Based on the cointegration test, there is a long-term integration of International and Indonesian garlic markets, which means that both markets are already efficient. The results of the causality test show that there is no causality relationship between the two markets. There is no short-term integration between the two markets. This shows that the international and Indonesian garlic markets are more integrated in the long run. For the spatial market integration of garlic in Indonesia, there is a comprehensive market integration between the garlic consumer markets in Indonesia in the long term as indicated by the cointegration of all consumer market pairs (125 market pairs). This means that the interprovincial garlic consumer market in Indonesia is already efficient. The results of the causality test show that the East Java consumer market is the leading price (leading). There are 82 garlic consumer market pairs (65.60%) integrated in the short term. This shows that the garlic market in Indonesia is more integrated in the long run. The determining factors for the spatial market integration of consumerlevel garlic in Indonesia are the amount of consumption of the follower province, the gross regional domestic product of the reference province and the follower province, and the distance between the reference province and the follower province.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/116512
Appears in Collections:MT - Economic and Management

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
pendahuluan.pdf
  Restricted Access
Pendahuluan2.5 MBAdobe PDFView/Open
tinjauan pustaka.pdf
  Restricted Access
Tinjauan Pustaka2.55 MBAdobe PDFView/Open
metode penelitian.pdf
  Restricted Access
Metode Penelitian2.78 MBAdobe PDFView/Open
pembahasan.pdf
  Restricted Access
Hasil dan Pembahasan3.29 MBAdobe PDFView/Open
kesimpulan.pdf
  Restricted Access
Simpulan dan Saran2.28 MBAdobe PDFView/Open
abstrak.pdf
  Restricted Access
Abstrak2.28 MBAdobe PDFView/Open
H4503202004_Indah Kartika Sandra.pdf
  Restricted Access
H4503202004_Indah Kartika Sandra5.06 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.